12
: b i m b a n g :
Kejadian ini bermula sebulan setelah Aksel kembali dari Lombok.
Malam hari di sebuah garasi, Aksel menatap awas ke arah wajah mobil di hadapannya, kemudian melirik sedikit ke pria di sampingnya. Dia ingin segera pergi dari sini. Namun, dia jelas tak bisa sembrono melakukan itu. Bagaimanapun juga, ini kesalahannya. Mengingat baru hari ini, tepat jam tiga sore ketika dia berkendara, mobil pinjaman yang dia kendarai untuk menarik perhatian seorang perempuan yang dia taksir di sekolah tak sengaja menabrak tiang listrik.
Dan mobil pinjaman itu adalah BMW milik Regen.
"Jadi?" tanya Regen tanpa melirik Aksel. Suaranya datar. Dia menelisik BMW-nya yang penyok sana-sini. "Kamu mau gimana, Sel?"
Aksel mengernyit tak enak. "Uhm... ya lo maunya gimana, Om?" tanyanya balik, masih belum mau mengganti panggilan 'Om' kepada sepupunya yang jauh lebih tua darinya itu.
"Saya nggak mau punya mobil yang rusak kayak begini," ujar Regen santai. Tak terdengar marah, kecewa, ataupun sedih. "Lagian, mungkin ini udah waktunya saya ganti mobil baru."
Aduh, anjir, keluh Aksel dalam hati. Om Re kode minta ganti rugi pakai BMW keluaran terbaru banget, nih?
"Ya sudah, nanti saya bilang ke ayahmu aja." Regen bersandar di pintu mobilnya. Kemudian menyilangkan tangan seraya menatap Aksel yang terlihat kalut. Regen mengangkat telanjuknya. "Kecuali, kalau kamu mau ganti rugi dengan uangmu sendiri. Jadi, saya nggak perlu lapor ke Om Hardana."
Aksel menelan ludah.
Di satu sisi, dia memang tak ingin merepotkan orangtuanya. Ini adalah kesalahannya sendiri. Namun, di sisi lain, bagaimana dia harus ganti rugi? Tidak mungkin tabungannya cukup untuk membeli mobil sekelas BMW.
"Saya punya penawaran," ujar Regen, tenang. "Kamu bisa ganti rugi dengan kerja sama saya tanpa digaji. Tiap pulang sekolah, kamu ke kantor, bantuin saya kerja selama lima bulan. Hari Sabtu, kamu juga tetap kerja. Saya cuma kasih libur hari Minggu. Gimana?"
Aksel spontan membuka mulut. Kerja lima bulan? Apa sepupunya ini sudah gila? "Lima bulan banget, Om?" Aksel protes. "Dua bulan aja juga cukup, kali."
"Cukup dari mana?" Regen mengangkat satu alis. "Dua tahun kamu kerja ke saya tanpa digaji juga belum tentu bisa ganti rugi. Itu mesinnya rusak, Sel. Dan biaya perbaikannya mahal. Mobilnya juga penyok sana-sini. AC rusak, mesin rusak. Bersyukur kamu cuma luka-luka bengkak begitu, nggak sampai harus dioperasi." Regen melanjutkan, "Dan saya mending beli baru daripada mahal-mahal perbaiki mobil ini."
Aksel menelan ludah. Jika dia dalam keadaan tenang dan tanpa paksaan, dia akan berpikir penawaran ini bisa jadi batu loncatan Aksel untuk memahami perusahaan ayahnya. Namun, sekarang posisinya tidaklah berada pada situasi seperti itu. Sehingga tak ada respons yang bisa Aksel beri. Otaknya terlalu sibuk menimang pilihan.
"Jadi?" ulang Regen, tenang. "Gimana? Nggak mau merepotkan orangtuamu, kan?"
"Euh." Aksel menelan ludah. "Ya nggak mau, sih...."
"Ya sudah," ujar Regen, beranjak dari posisi bersandarnya di mobil. "Kamu kerja buat saya setelah luka-lukamu sembuh. Pulang sekolah, kamu ke Bentala, bantu saya bikin presentasi dan kerjaan lain di sana. Anggap ini buat ganti rugi mobil saya yang kamu bikin rusak. Udah tahu di mana ruangan saya, kan? Senin pukul lima sore harus sudah ada di tempat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Deklasifikasi | ✓
Romance[Seri Disiden #3] Sebab banyak yang bilang, seorang eligible bachelor yang suka main perempuan seperti Aksel akan berubah begitu menemukan perempuan yang tepat untuk mereka. Copyright: All Right Reserved 2017 by Crowdstroia