14
: m a k a n :
2006
Lokasi tempat makan yang dijanjikan berada di dalam sebuah pusat perbelanjaan.
Sepulang ekstrakurikuler di SMP-nya, Virga berganti baju di sekolah untuk pergi ke tempat makan yang dituju. Namun, kali itu Aksel berkata akan menjemputnya di sekolah. Virga merasa jantungnya berdebar jika mengingat hal itu.
Kini, dia memerhatikan penampilannya di kaca. Tujuannya hanya di pusat perbelanjaan yang tidak terlalu mewah, jadi Virga hanya mengenakan jeans dan baju sepanjang siku, serta sebuah tas selempang Rambutnya dibiarkan tergerai. Dia menjepit poninya, kemudian melepasnya lagi. Menjepitnya, lalu melepaskannya kembali. Terus dia lakukan hal itu berulang-ulang hingga lelah sendiri.
Pakai aja, deh, nanti kalau nggak nyaman tinggal lepas, pikir Virga, lalu mengenakan jepitan berbandul bunga matahari untuk poninya. Seiring dengan itu, ponselnya bergetar. Virga membuka isi pesan dari pengirimnya.
Kuah Muncrat
Cil, gue udh di dpn.
Virga spontan menarik napas. Jantungnya bergemuruh. Pipinya mulai memanas dan dia merasa seisi perutnya seperti digelitik kepakan kupu-kupu. Dia tidak tahu harus bereaksi apa. Ingin keluar dan menemui Aksel saja bisa membuatnya malu bukan main. Bagaimana kalau Aksel tak menyukai penampilannya? Apakah sebaiknya dia membatalkan janji ini saja?
Namun, logikanya mulai muncul. Untuk apa dia membatalkan janji ini? Aksel hanya mengajaknya makan siang bersama, demi Tuhan. Ini sama saja seperti saat dulu Aksel pernah mengajaknya makan bersama saat di Lombok. Dia seharusnya tak perlu sepanik ini. Biasa saja.
Virga akhirnya menarik napas, mengeluarkannya perlahan, dan melakukan hal itu beberapa kali sebelum keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah gerbang sekolah. Anak-anak lain yang sudah selesai ekstrakurikuler mulai pulang, sebagian sedang di depan gerbang mengobrol dengan teman masing-masing. Dan di seberang gerbang sekolah, di situlah Virga melihat Aksel.
Aksel bersandar di motor Ninja merahnya, mengenakan jaket kulit ala pengendara bermotor dan jeans hitam. Virga bisa merasakan semua mata perempuan di sana memerhatikan Aksel baik itu secara diam-diam maupun terang-terangan.
Ketika melihat Virga keluar, Aksel mengangkat alis dan tersenyum. Dia berbalik sejenak untuk mengambil helm di dalam jok motornya, kemudian menyerahkannya kepada Virga setelah Virga mendekatinya. "Abang gue ntar ikut, nggak apa-apa kan, ya?"
Virga mengenakan helm itu. "Nggak apa-apa, dong. Ada lagi yang mau ikut?"
"Hng... Abang doang, sih. Katanya ntar balik dari kampus, langsung ke sana."
"Kok, cepat? Kuliah emang cepat gitu, ya, Kak?"
"Enggak juga, sih. Tergantung dosen sama jadwal. Jadwal kuliah itu nggak melulu sama tiap harinya. Kadang masuk siang, kadang malam, kadang full, kadang cuma satu mata kuliah." Aksel menaiki motornya, menyalakannya, lalu memakai helmnya. "Naik, Cil. Kaki lo nyampe, nggak?"
Virga terdiam, mengira-ngira tinggi jok penumpang dengan panjang kakinya. "Hng... susah, Kak."
Aksel memiringkan motornya agar Virga lebih bisa menaiki motor. "Kaki lo di pedal, tangan lo taruh di pundak gue aja buat pegangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Deklasifikasi | ✓
Romance[Seri Disiden #3] Sebab banyak yang bilang, seorang eligible bachelor yang suka main perempuan seperti Aksel akan berubah begitu menemukan perempuan yang tepat untuk mereka. Copyright: All Right Reserved 2017 by Crowdstroia