3
: g e m e r l a p :
2003
Bara dan teman-temannya adalah orang baik, Aksel akui.
Hanya saja, mereka hidup dalam dunia orang-orang baik dan tidak menginginkan akses untuk masuk ke dalam dunia kelam yang gemerlap. Ketika Aksel pertama kali menginjakkan kaki di kelab malam bersama Ramon, detik itu juga Aksel tahu bahwa dia tidak menginginkan hal ini.
Salah satu hal yang selalu dia sukai dan pelajari dari abangnya adalah bagaimana Bara jika tidak menyukai atau tidak yakin akan sesuatu, maka dia tak akan segan-segan keluar. Maka, hal itulah yang ingin Aksel lakukan sekarang; keluar dari kelab malam, mencari taksi untuk kembali pulang ke rumah. Namun, Ramon segera merangkulnya dan membawa Aksel ke bagian lebih dalam bangunan.
Dentam-dentum suara musik dari DJ dan berbagai manusia yang bergoyang di lantai dansa diiringi lampu redup pun Aksel lewati. Banyak sekali wanita berpakaian minim di sini. Pantes aja si Ramon betah, pikir Aksel. Namun, Aksel tahu ada yang salah. Dia tidak suka suara berisik ini. Dia tidak mengerti untuk apa dia ada di sini. Apa yang sebenarnya dia cari dengan mendatangi kelab malam? Minum alkohol? Aksel lebih baik minum jus alpukat buatan sang ibu, sebab itu jelas lebih enak daripada alkohol. Dia pun juga tidak mencari perempuan untuk ditiduri. Abangnya — yang astaga, demi Tuhan, punya logika yang bisa menjelaskan berbagai hal secara masuk akal — sudah pernah menjelaskan tentang berbagai penyakit menular seksual. Aksel tidak kenal siapa gadis-gadis di sini. Kalaupun kenal, siapa yang bisa menjamin bahwa gadis itu tak berpenyakitan? Otak Aksel seketika memutar kembali pada ingatan foto-foto alat kelamin lelaki yang berkutil dan terlihat seperti brokoli, atau yang busuk, yang seketika membuatnya muntah di saat Bara sedang menjelaskan tentang penyakit menular seksual itu. Dan mendadak, Aksel merasa mual. Dia segera berbalik menuju pintu keluar. Rasa-rasanya, mualnya akan makin menjadi jika dia di sini lebih lama.
"Sel! Mau ngapain lo?" tanya Ramon yang mencegat Aksel. "Lo mau pulang?"
Aksel berdeham. "Iya. Badan gue nggak enak, Kak."
"Ya elah, cemen amat. Kalau nggak enak badan ya, dienakin aja di sini. Tuh, banyak cewek. Lo gaet salah satunya, terus lo ajak ke hotel dekat sini," ujar Ramon, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan menyerahkannya kepada Aksel. "Nih, gue kasih duit buat bayar hotelnya."
Aksel mengangkat alis. Lah, baik amat ini orang. "Terus? Kalau udah di hotel, ngapain?"
Ramon menghela napas. "Lo emang masih ijo banget, ya." Dia pun menunjuk ke arah kerumunan perempuan di salah satu sudut. "Itu, habis lo gaet salah satu cewek—yah, kalau lo bisa lebih dari satu juga terserah, sih. Terus, lo bawa ke hotel, habis itu ajak ML. Elo senang, si cewek juga senang. Gampang, kan?"
"Kalau gue kena penyakit kelamin, gimana?"
"Ya pakai kondomlah! Lo bego amat sih, jadi cowok. Biar si cewek kagak bunting, biar kita nggak kena penyakit, biar sama-sama enak, ya tinggal pakai kondom aja. Safe sex, man."
Aksel teringat Bara yang sudah pernah menjelaskan tentang kondom. Memang efektif mencegah HIV, tetapi.... "Kalau kondomnya sampai bocor?"
"Ya lo cek dululah kondomnya. Bocor apa kagak? Kalau bocor, ganti yang lain."
Aksel terdiam. Dia masih menggenggam uang pemberian Ramon dengan erat. "Gue takut, Ram."
"Ngapain takut?" tanya Ramon, heran. "Sel, gini ya. Nggak usah cemen. Cowok itu mau perjaka, mau kagak, sama aja. Nggak ada segelnya kayak cewek. Kalau lo udah nggak perjaka dan lo nikah sama perawan, si perawan nggak bakal ngerasa kenapa-kenapa kalau ML sama lo. Nggak ada segel yang ketahuan 'kebuka' karena kita emang nggak punya segel."
"Lah, kok, nggak adil?"
"Nggak adil buat cewek?" tanya Ramon, mendengus. "Entahlah. Tanya aja sama Tuhan. Orang Dia yang menciptakan kita kayak gini. Kalau gue sih, nikmatin aja apa yang udah Dia kasih."
Aksel mendesah. Yaelah. Harusnya gue nggak nanya ginian ke Ramon. Harusnya nanya ke Abang. "Oke," Aksel tersenyum puas. "Gue ke toilet dulu, ya."
Ramon mengangguk, lalu pergi meninggalkan Aksel.
Tak perlu ada yang tahu bahwa malam itu, Aksel tidak pergi ke toilet, melainkan keluar dari kelab malam, kemudian mencari taksi lalu membeli beberapa makanan-makanan enak untuk dia dan abangnya di rumah, dan terakhir pulang lantas nonton film bersama Bara sambil memakan makanan yang dia beli tadi. Semua dibayar dengan uang pemberian Ramon yang harusnya untuk menyewa kamar hotel. Ramon tak perlu tahu bahwa uang itu dia gunakan untuk hal-hal yang menurut Aksel lebih menyenangan dibanding ML di hotel dengan gadis asing. Yang perlu Ramon tahu, Aksel bersenang-senang tadi malam, dan menggunakan uang Ramon dengan baik. Kalaupun suatu saat Ramon meminta Aksel mengembalikan uangnya, Aksel masih mampu mengganti. Walau Aksel sangsi Ramon akan meminta uangnya dikembalikan, mengingat betapa kaya rayanya orangtua Ramon.
Hampir tengah malam, ketika dia sudah selesai menonton film bersama Bara dan orangtuanya sedang tidak ada di rumah karena menghadiri pernikahan teman mereka, Aksel mendapatkan SMS dari salah satu teman sekelasnya.
Oi, Sel.
Gue liat cewek lo kissing
sama si Ramon.
Lo berdua udh putus?Saat itu, Aksel memang merasa sakit hati. Namun, dia lebih merasa penasaran.
Apa yang membuat pacarnya itu mau berselingkuh dengan bad boy seperti Ramon?
[ ].
KAMU SEDANG MEMBACA
Deklasifikasi | ✓
Romance[Seri Disiden #3] Sebab banyak yang bilang, seorang eligible bachelor yang suka main perempuan seperti Aksel akan berubah begitu menemukan perempuan yang tepat untuk mereka. Copyright: All Right Reserved 2017 by Crowdstroia