Life ; Isn't Easy As You Think

10 1 0
                                    

Sulit.

Semuanya terasa sulit.

Semuanya terasa tak nyata.

Begini kah akhir dari segala cerita ini?

Tidak, aku tidak ingin berakhir seperti ini.


***


Aiden menarik napas panjang seraya mencari tempat yang bisa didudukinya di halte bus tidak jauh dari kampus. Sekali lagi ia menarik napas panjang, bus hijau itu sudah tiba di halte ketika ia baru saja duduk di bangku halte namun untuk kali ini ia membiarkannya. Ia ingin mengulur waktu selama mungkin.

Apakah waktu itu benar-benar dapat mengubah pribadi seseorang?

Jika memang benar, kalau begitu waktu begitu kejam. Sebab waktu lah, sahabatnya—sosok yang sangat ia sayangi menjadi begitu sangat berubah. Begitu berbeda dengan sosok yang sangat ia kenal, bahkan ia mengenal gadis itu jauh lebih lama dibandingkan dengan waktu yang memisahkannya dengan gadis itu.

"Jane, aku kira setelah datang ke Seoul dan bertemu denganmu kita bisa bersama seperti dulu. Menghabiskan waktu bersama, bercerita tentang waktu yang selama ini kita lewatkan bersama-sama. Aku kira segalanya akan berjalan sesuai dengan harapanku—harapan yang membawaku kemari. Harapan yang membawaku ke arahmu," desah Aiden panjang.

Pria itu memejamkan kedua matanya untuk sekedar menikmati angin sore yang menggelitik lehernya ketika angin menyibakkan rambut menjadi sedikit berantakan. Ketika ia membuka matanya daun-daun yang berwarna kecoklatan bertebaran ketika angin membawa mereka membuat jalanan Seoul menjadi kotor karena daun-daun yang lepas dari dahannya seiring dengan bergulirnya musim dingin yang tidak lama lagi.

Mengisi waktu kosongnya sejenak ia membuka tasnya dan merogoh ponselnya. Aiden tersenyum geli ketika melihat kontak Lara memenuhi panggilan tidak terjawab. Ia mengedikkan bahu dan kemudian memencet tombol hijau bergambar telepon itu dan kemudian menaruh ponselnya di pinggir telinganya. Tidak lama sambungan pun tersambung.

"Yeboseyo, ah, Aiden!" Suara Lara memekik dari seberang telepon membuatnya sedikit menjauhkan ponselnya dan kemudian mendekatkannya lagi. "Aiden, a—"

TUUUUUUT ...

Belum sempat Aiden menjawab telepon Lara, tiba-tiba saja sambungan terputus dan ketika ia menelepon gadis itu sekali lagi hasilnya nihil. Tidak aktif. Apa yang terjadi?

"Lara bersama Marcus, 'kan?" gumamnya pelan.

"Oh, baiklah mungkin kalau sudah sampai di flat akan ketelepon lagi. Huh, dasar pria pengecut kalau suka ya kenapa ngga bilang secara langsung saja."

Aiden pun memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas seraya menghembuskan napas kasar. Ia bosan. Namun tiba-tiba ia teringat sesuatu, meski itu hanya sebuah plester tapi baginya nilainya sebuah plester itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan ... seseorang yang memberikannya plester. Ia tersenyum kecut.

"Kau harus tahu Aiden, itu urusanmu mau dekat dengan siapapun. Biarkan aku hidup dengan caraku karena aku bukan Jane Kim. Aku berbeda dengan Jane Kim jadi kau tidak perlu mengurusi urusan ku lagi karena sekarang kita berbeda."

Aiden memejamkan kedua matanya. Rasanya perih. Ada sesuatu yang menghujam dadanya begitu tajam, meninggalkan sebuah luka yang begitu besar tapi anehnya luka sebesar itu tidak terlihat—kasat mata.

"Jane, kau memang benar. Kita sudah memiliki kehidupan masing-masing sekarang. Aku dan kau sekarang sudah bukan anak kecil yang memiliki pemikiran konservatif, kita sudah dewasa dapat menentukan pilihan kita sendiri—menilai pilihan yang baik dan juga salah. Pilihan yang buruk dan benar."

LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang