Life ; Lara Jo?

13 1 0
                                    

Setelah kau mencuri hatiku, akan kah kau pergi begitu saja? Meski diriku memohon agar kau tetap tinggal, akan kah kau menuruti segala permohonanku? Dan apakan diriku mencintaimu, akan kah cintaku terbalas?


***


Lara menutup pintu di belakang dan berjalan perlahan memasuki ruang rawat Marcus. Ia menghela napas ketika pria itu belum juga sadarkan diri semenjak semalam. Gadis itu menaruh ranjang buah di atas meja dan kemudian mengisi vas bunga dengan bunga mawar warna peach segar kesukaannya dan menaruhnya di atas meja kaca dekat jendela supaya mendapatkan sinar matahari.

Gadis itu termenung sesaat seraya menatap jalanan raya di bawah sana. Pikirannya melayang pada saat kejadian semalam. Ia mengangkat tangannya dengan pelan. Kedua matanya lagi-lagi berair. Ah, semua ini akibat keteledorannya.

Lara berbalik menghadap ranjang Marcus dan sebersit rasa kecewa. Ia berharap pria itu sudah sadar ketika ia membalikkan badannya ataupun ketika ia datang barusan. Lara berjalan pelan mendekati ranjang Marcus dan menarik kursi di dekatnya. Gadis itu menghela napas.

"Kukira ketika aku datang kau sudah sadar, ternyata ... kau masih betah di alam mimpi? Seberapa cantik bidadari yang kau temui disana?"

Lara tertawa pelan sembari menghapus air matanya, dengan ragu gadis itu meraih tangan Marcus dan mentautkannya dengan erat. Ia menghela napas dan menundukkan wajahnya membiarkan air matanya mengalir dengan bebas.

"Maafkan, aku. Tapi ... kau harus bertahan, Marcus. Kau harus hidup, aku meminta padamu. Meski kita baru saja bertemu tapi rasanya aku begitu nyaman sekali berada di dekatmu. Kau begitu menyebalkan. Sangat menyebalkan hingga aku ingin menampar wajahmu itu, tapi mengapa aku selalu nyaman jika kau mengerjaiku atau kau dengan sifat menyebalkanmu itu?" ujar Lara pelan. Gadis itu semakin mencengkeram erat tangan Marcus dalam tangannya.

"Kalau kau meninggalkanku, siapa yang akan menjagaku seperti kau menjagaku? Siapa yang menjahiliku seperti kau mengerjaiku, Mark? Marcus, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta dan itu hanya kepadamu. Lalu setelah kau mengambil perasaanku, kau membuangku begitu saja dan meninggalkanku? Bisakah kau mendengarku dari alam mimpimu? Meninggalkan bidadari yang jauh lebih cantik dariku. Bisakah kau kembali padaku?"

Lara menyeka air matanya sekali lagi.

"Kenapa kau menyelamatku malam itu, seharusnya lebih baik kau membiarkan tubuhku menabrak mobil itu, bukankah itu lebih baik dibanding kau yang seperti ini? Ini sangat menyakitkan. Apa yang harus aku lakukan?"

Gadis itu menangkupkan wajahnya di atas kedua tangannya dan menangis kencang. Membuat ruangan yang sepi menjadi sedikit 'bersuara' akibat tangisannya. Ia belum pernah seperti ini sebelumnya, menangis hanya karena cinta. Gadis itu mengigit bibir bawahnya, terasa sangat begitu menyakitkan.

"Mana mungkin aku membiarkanmu meninggalkanku, bodoh."

Suara Marcus? Lara pun mengangkat wajahnya dan menyeka air matanya. Marcus tersenyum lembut ke arahnya, dan berusaha menggapai tangannya dan mengenggamnya dengan erat.

"Jangan pernah berkata kalau aku akan membiarkanmu terluka, Lara. Aku tidak akan pernah mau melakukannya," ujar Marcus.

"Ka—kau sudah sadar?"

"Tentu saja, gadis bodoh! Aku hanya terbentur dan bukanlah masalah besar." ujar Marcus tertawa seraya mengacak-acak rambut Lara. "Aku sudah bangun sejak kau datang tadi."

Sontan Lara membelalakkan kedua matanya, melepaskan tangan Marcus, dan memundurkan langkahnya dari ranjang Marcus. Dengan pelan Marcus berusaha bangkit dari baringannya dan duduk di atas ranjang dan sesekali memegang kepalanya yang ditutupi perban itu.

"Ka—kau mendengarnya?"

"Semuanya. Dan—oh! Ku dengar tadi kau memanggilku apa? Mark? Apakah itu panggilan sayang?"

"A!! Andwae!" pekik Lara kencang seraya menutup kedua telinganya dan berlari keluar dari ruangan Marcus dengan kencang.

Marcus mengerutkan keningnya dengan bingung namun sesaat kemudian beranjak dari tempat tidurnya bergegas mengejar gadis itu meski dengan selang infus yang masih setia memberikan cairan pada tubuhnya. Apa yang salah dengannya? Salahkah jika ia mendengarnya? Marcus hanya tersenyum sendiri dan bergegas berlari mengejar gadis itu.

"Lara, larimu cepat sekali! Baru kali ini aku mengejarmu hingga sesulit ini!" gerutunya kesal.

--

Lara memukul-mukul kepalanya dengan gemas dan menghentakkan kakinya dengan kesal. Berulang kali ia berjalan bolak-balik mengecek bahwa Marcus tidak akan menemukannya. Gadis itu menggigit bibirnya ketika membayangkan di saat ia menangis mengakui perasaannya, pria itu justru tersenyum-senyum menyebalkan.

"Aih, bodoh! Seharusnya jangan berkata itu. Memalukan!" rutuknya.

"Mana boleh! Sesuatu yang sudah dikatakan itu tidak boleh ditarik kembali. Bisakah aku mendengarnya sekali lagi?" ujar Marcus di belakangnya. Gadis itu terdiam dan membalikkan badannya ketika dilihatnya pria itu berdiri di belakangnya seraya tersenyum lebar.

"Ani. Ani!" ujarnya berjalan cepat bergegas menjauhi Marcus. Namun dengan gesit pria itu menahan tangannya dan mengcengkeramnya dengan kuat alih-alih menguncinya agar gadis itu bisa lagi berlari darinya.

"Aku mencintaimu, Lara."

Gadis itu terdiam membisu. Marcus hanya menatap punggung gadis itu dengan lirih.

"Itulah alasan yang membuatku ingin selalu mengerjaimu, selalu dekat denganmu, dan tidak ingin kehilanganmu. Alasan yang ingin membuatmu tetap bertahan hidup seberat apapun cara yang harus aku jalani. Mengertikah sekarang? Jangan pernah berlari menjauhiku lagi, araso? Karena seberusaha apapun kau menghindariku, menjauhiku, aku berjanji padamu bahwa aku akan selalu menemukanmu."

"Maaf karena membuatmu menunggu lama dan membuat menyatakan perasaanmu duluan."

Lara membalikkan badannya perlahan, dan menatap Marcus dengan lembut. Sesaat kemudian ia tersenyum dan langsung memeluk pria itu. Marcus terdiam. Namun tidak lama kemudian, ia tersenyum bahagia dan memeluk kembali gadis itu dengan erat lalu mencium puncak kepala Lara dengan lembut.

"Terima kasih, Marcus. Terima kasih, kau membuat perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan," ucap Lara pelan dalam dekapan Marcus.

Marcus tertawa pelan dan memeluk gadis itu semakin erat.

"Tentu saja, Lara Jo," Bisiknya pelan tepat di depan telinga Lara. Sontak gadis itu melepaskan pelukannya dan memandang Marcus dengan bingung. Marcus tertawa dan mengecup bibir Lara dengan lembut, dan memeluknya sekali lagi. "Margamu akan berubah tidak lama lagi, setelah aku menikahimu."

Lara tertawa dan memukul pundak Marcus dengan gemas. Sementara pipinya sudah memanas dan ia yakin wajahnya sudah semerah tomat matang.

"Lara Jo. Eum, nama yang bagus," ujarnya sembariterkekeh kecil.    

***

LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang