Mungkin perpisahan adalah sesuatu yang menyesakkan. Terutama kalau berpisahnya dengan orang yang kita sayang.Dua jam lagi pesawat menuju Jerman akan berangkat, dan ia harus bergegas. Semua barang baru saja tamat dimasukkan ke dalam bagasi. Disitulah ia berbalik menatap Jaewon yang sudah berdiri tak jauh darinya sedang menyimpan kedua tangan dalam saku. Lelaki itu nampak menghela nafas. Aneh rasanya, teman yang dikenalnya dari kecil, atau bahkan sempat mencuri hatinya ini, akan pergi meninggalkannya ke tempat yang cukup jauh.
Ya, mau bagaimana? Sebejad-bejad atau senakal-nakalnya gadis itu menurut orang, dia tetaplah Jennie si gadis yang dikenalnya. Dari dulu memang begitu, gadis itu selalu harus mendapatkan apa yang diinginkannya. Terkesan serakah. Akan tetapi Jaewon sudah terbiasa dengan itu.
Sekarang rasanya berat, tapi masalah ini juga bukan urusannya. Ini 'kan juga salah satu hukuman buat Jennie. Urusan ini dipegang Pak Dirga, ayah Jennie, yang notabenenya sudah pasti tidak bisa diganggu gugat lagi kalau sudah pada titik akhirnya.
"Gotta go," ujar gadis berpakaian sangat manis itu setelah menutup bagasi.
"Secepet ini ya, Jen?"
Gadis cantik itu mendekat ke arah Jaewon. Kemudian merebut pelukan kecil padanya. "Gue bakal kangen banget sama lo. Maafin gue karena berhasil jadi orang jahat di mata lo, Won."
Ia beralih menyerahkan sebuah amplop kelabu yang ditutup rapat dan rapi yang sepertinya memang sudah disiapkan dari tadi untuk diserahkan. Senyuman Jennie tak diragukan lagi saat Jaewon sudah menerima surat tersebut.
"Apa ini?" tanya lelaki itu.
"Kalo itu, tolong kasih buat Kiara," jelas Jennie. "Gue punya banyak kata-kata yang belum tersampaikan ke dia. But, there's no time left."
Hanya anggukan kecil yang diberikan sebagai jawaban. Bersamaan dengan itu, sopir pribadi keluarganya sudah siap untuk berangkat. Sang ayah menelfonnya dari kantor, menyuruhnya untuk segera berangkat.
"Won, gue pergi sekarang."
"Jaga diri lo," ujarnya.
Jennie mengangguk, "Pasti. Lo juga."
Mobil hitam mewah itu pergi meninggalkan rumah, Mbak Inah—pembantu rumah tangga, dan Jaewon sendirian. Makin lama makin berat. Banyak sekali memori yang jadi terputar kembali di kepalanya.
"Baik-baik ya, Jen."
———
One #22
———
Jaewon sedang menunggu kembaliannya di serahkan, tapi cukup lama karena uangnya bernilai besar. Jadi susah untuk mencari kembalian.
Tiba-tiba saja ada Kiara berdiri di sampingnya sambil menyapanya seperti biasa. Begitu juga dirinya yang membalas sapaan itu seperti biasa.
"Kakak nunggu apa?"
"Kembalian," jawabnya singkat.
"Hmm," gumam gadis itu dengan kepala mengangguk-angguk. "Omong-omong makasih, Kak. Bukunya udah kubaca seperempat."
Lagi-lagi hanya dibalas anggukan saja. Gadis itu jadi mengandai-andai. Apa jangan-jangan ini bukan Jaewon, ya? Atau kembarannya saja? Kenapa jadi seperti robot yang tidak bisa bicara?
"Kak—"
"Ini, nak, kembaliannya 99,900 rupiah. Pas ya," sahut ibu dengan kerudung yang sudah berantakan. Pasti karena sibuk dan kewalahan mengurus bilik kantinnya. "Habis kamu ini ada-ada aja, beli permen satu, duitnya segede ngana."
"Maaf, bu. Abis saya gak ada duit kecil," balasnya sambil memasukkan uang kembalian tadi ke dalam dompet. "Duluan, Ki."
"Iya, Kak."
Kiara melamun ketika memandang punggung Jaewon yang menjauh. Belum sempat ia mengatakan hal-hal yang mengganjal tapi sudah ditinggal duluan.
"Dik, mau pesen apa?" tambah ibu ditambah tepukan agak keras yang menggema di gendang telinga karena pertanyaan pertamanya tidak diindahkan, membuat gadis itu terlonjak kaget. Kiara jadi berpikir kalau ibunya galak dengan pelanggan murid perempuan. Buktinya sama Jaewon baik-baik.
"Es teh aja, bu."
—
"Lo mau gak jadi pacar gue?"
"Gak," jawab Jaebum.
"Heh, tar dulu. Gue belum kelar!" amuk Dongho dengan segala kekuatan yang tersisa.
"Aduh kelamaan," sahut Daniel setelah khatam dengan semangkuk baksonya. "Kalo lo yang jawab bakalan kagak ada kelar-kelarnya. Lagian Jaewon butuhnya cara, bukan kata-kata."
"Tar dulu, Bos. Gue 'kan gak ngomong apa-apa," tahan Jaewon karena merasa dirinya yang meminta bantuan padahal tidak sama sekali. Tiba-tiba saja mereka membahas hal itu tanpa asal-usul yang jelas.
"Gue saranin jangan cuma ngomong aja. Harus ada rencananya, dong!" tambah Dongho.
"Nah, setuju ama Dongho."
"Tar dulu, Monkey. Gue aja gak ada bahas ini, kenapa lo pada jadi kaya guru BP pake ngasih saran-saran?" tahan Jaewon.
"Halah, aslinya lo itu butuh tapi gak bilang!" ujar Dongho dengan mengibaskan tangan seperti motivator pro. "Kita berperan jadi temen yang peka, Won. Gak kaya lo, gak ada peka-pekanya."
"Ngajakin berantem nih satu."
"Jadi kapan, Won?" Jaebum agak memelankan suaranya, seperti membicarakan rahasia besar atau sesuatu yang berbau vulgar.
Lelaki yang ditanya itu memutar bola matanya. Pertanyaan itu berbentuk retoris? Kenapa rasanya tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu? Semua orang menganggapnya akan meminta Kiara menjadi miliknya, tapi mereka tidak pernah tau isi kepala Jaewon yang seluas samudera itu. Memangnya siapa yang tahu? Kelihatannya Jaewon tidak ada pikiran untuk melakukan itu.
"Udahlah, Won. Lo tancap gas aja!" paksa Dongho dengan nada agak ngotot. Bikin tambah kesal saja.
"Kalo gak percaya lo tanya Daniel, noh! Jagonya ama cewek 'kan, tuh?"
Kalau dipikir-pikir, mana jagonya Daniel dengan perempuan? Apa itu yang dibilang jago kalau punya banyak mantan dan pacar tapi hubungannya tidak pernah lebih lama dari "bulan". Ada salahnya ketika ia menjadi satu dengan Daniel, Dongho, Jaebum. Ia baru menyadarinya sekarang.
Daniel yang duduk disampingnya segera menepuk pundak Jaewon. "Gue tahu lo lagi ngatain gue 'kan di otak lo? Dasar.!Tapi gue masu kasih tau yang gue pikir tentang lo sama Kiara. Kasihan Dia, lo kasih makan tapi gak lo pelihara, kaya kucing jalanan."
Jaewon terdiam.
"Itu aja yang mau gue bilang," tambahnya sebagai penutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One | [Jung Jaewon]
FanfictionJaewon, dia adalah cowok pertama yang Kiara idam-idamkan. Namun, apakah Kiara harus merubah perasaannya kalau One bilang tidak menyukai sikapnya itu?