Pernah tau rasanya berada di ujung kebingungan? Jalan keluar sudah ada di depan mata tapi kamu harus berani melewat jurang dulu untuk bisa sampai ke rumah teduh. Itu yang Jaewon rasakan sejak siang tadi. Entah kenapa satu kalimat Daniel bisa merubah segala persepsi yang ada pada otaknya sebelum saat itu terjadi. Hebat, Jaewon akui Daniel ada orang paling hebat dalam membuat kebimbangan baru dalam diri seseorang yang sebelumnya tak pernah ada. Bahkan telinganya sudah seperti tuli meskipun Bu Evita menyebut namanya berkali-kali. Sampai mejanya dipukul keras dengan penggaris besar baru ia terbangun dari alam lain tersebut.Saat semua orang sudah merasa bahagia untuk meninggalkan kelas karena sudah waktunya kembali ke rumah, berbeda dengan Jaewon yang masih pada bangkunya. Menatap lurus ke depan. Kosong. Sudah ada sebuah amplop di tangannya, tapi entah kenapa masih belum ia berikan sampai sekarang.
"Gak balik?" tanya Daniel yang sudah siap meninggalkan kelas.
"Belom," jawabnya singkat.
Mata lelaki bertubuh lebih tinggi itu tertuju pada sebuah benda terkunci di tangan Jaewon. "Surat buat siapa?"
"Kiara," jawabnya singkat lagi.
"Sejak kapan jadi jaman pake surat-suratan?"
Jaewon mendecak. "Bukan dari gue. Ini dari Jennie. Sebelum dia berangkat dia titip ini buat Kiara."
Sedangkan Daniel hanya bisa ber-oh saja. Sebenarnya ia cukup penasaran tentang isi dalam sepucuk surat berwarna coklat muda tersebut, tapi ditanya juga pasti Jaewon tidak tahu isinya.
"Beneran gak balik?" Setelah dijawab dengan gelengan Jaewon yang sudah diduganya sebelum itu, ia buru-buru pamit karena ada janji dengan pacarnya untuk mengantarnya ke toko bunga langganan.
Disitulah lelaki itu kembali sendirian meratapi masa depan dalam beberapa waktu ke depan. Mungkin memilih diam tidak akan menyelesaikan apa-apa, tapi kakinya masih terlalu kaku, bibirnya masih juga kelu untuk melanjutkan. Sekali lagi ia menghela nafasnya untuk memperkuat tekad. Mata terpejam sekali, terbuka lagi seakan-akan baru saja bangkit untuk kehidupannya yang baru.
———
One #23
———
Kiara baru saja sampai di bangku, tapi sudah melihat sepucuk amplop rapat, rapi, polos tanpa sepatah kata di luarnya itu telah bersandar dengan santainya di atas meja. Lisa yang sudah ada di mejanya sendiri tak berkata apapun.
"Lis, dari siapa?" tunjuknya pada amplop yang ia yakini adalah surat tersebut.
Gadis berponi itu mengendik. "Sejak awal gue sampe udah ada disitu."
Setelah memposisikan dirinya di atas kursi, ia beralih mengambil benda yang membuatnya penasaran tersebut. Di bolak-baliknya, tapi tak ada tanda apapun.
"Buka aja," kata Lisa.
Tak menunggu lama ia segera merobek amplop tersebut di bagian atasnya kemudian mengeluarkan selembar kertas yang ternyata berisi rentetan kata dengan tulisan sangat rapi dan bolpoin tinta hitam tipis tersebut. Sebelum ia baca, melihat ada nama "Jennie" di ujung kiri bawah sempat membuatnya tersedak udara yang dipakainya bernafas. Matanya beralih ke atas lagi. Mulai membacanya.
Halo, Kiara.
Gue kira lo udah tau gue siapa. Pasti dia udah bilang ke lo, kan, ini surat dari siapa?
Kiara menggaruk kepalanya. Memangnya siapa yang memberitahu siapa?
Gue cuma mau sampein permintaan maaf gue melalui surat ini karena udah banyak buat salah sama lo. Gue adalah ujung utama masalah lo sama Chika. Tolong maafin gue. Kalau lo gak bisa, gue bakal minta maaf terus ketika gue sudah balik dari Jerman.
Sekarang gue tahu, Jaewon bukan untuk gue. Dia baikan sama gue biar lo bisa keluar dari masalah. Gue tahu, dia gak ngelakuin itu buat gue, tapi buat lo.
Dari situ gue cuma mau bilang, lo baik-baik sama dia. Gue gak bakal mengharapkan Jaewon lagi. Gue berusaha untuk nggak.
Makasih, Kia. Sekali lagi maaf.
- Jennie
"Damn!" ucap Kiara sebagai kata pertama yang ia berikan untuk respon dari surat singkat yang sangat rapi itu. Lisa yang terbingung-bingung penasaran hanya bisa menahan pertanyaan karena takut menyinggung privasi. Tapi Kiara malah mulai bicara duluan, "Gue gak tahu harus mulai dari mana, Lis."
Lisa mulai merapat, melebarkan telinga. "Gue akan dengerin kalo lo siap cerita."
"Ini surat dari Kak Jennie, dia bilang dia minta maaf. Ternyata dia biang kerok masalah gue sama Chika. Gue bisa lepas dari tuntutan itu karena Jaewon mau baikan sama Jennie, tapi sekarang dia pindah ke Jerman kayanya."
"Hah? Bercanda ya lo?" respon Lisa dengan alis bertaut. "Dan sejak kapan lo panggil dia dengan embel-embel Kak?"
"Sejak barusan. Dia minta maaf ke gue, Lis. Itu yang bikin otak gue berhenti bekerja."
"Gue juga."
Ada keheningan diantara kedua manusia itu dalam beberapa waktu. Lisa dan Kiara sama-sama masih membayangkan apa surat itu memang benar dari Jennie atau apa surat itu hanya buatan para manusia yang ingin mendamaikan pikirannya dari segala hal negatif tentang senior itu? Rasanya seperti sebuah kemustahilan tengah berhasil menghantam sebuah kenyataan.
"Wow," katanya sekali lagi dengan volume pelan.
—
Sekali lagi satu hal menambah beban ketidak biasaannya hari ini. Tidak ada Jaewon bersama dengan Jaebum, Dongho, serta Daniel dalam satu bangku panjang yang terisi penuh rombongan pemakan benda bulat bernama bakwan tersebut. Rupanya dunia sedang tidak berpihak padanya hari itu. Lisa dan Roy memilih ke ruang guru berdua untuk mengurus materi kerja tim, dirinya yang malas memilih berangkat ke kantin sendirian.
Yang ia dapat hanyalah tiga senior yang sedang cekakakan tanpa bisa ia ketahui letak mana yang membuat mereka tertawa. Cukup membosankan. Jadi ia berdiri dan berbalik untuk kembali ke kelas.
"Ki!"
Tiba-tiba saja sosok cantik dengan rambut pendek itu mendekatinya dengan sebuah minuman di tangannya.
"Rambut baru?" tanya gadis itu pada Yuna yang sudah berada di depannya. Lesung pipi terlihat ketika ia melipat bibirnya ke dalam sambil mengangguk. "Cocok banget, Yun."
"Eh, makasih," jawabnya gak salting, terlihat dari bagaimana caranya membenahi rambutnya. "Kok sendirian, Lisa mana?"
"Ke ruang guru ngurus tugas."
"Oh," balasnya. Ia jadi teringat. "Lo berantem sama abang?"
Dahi Kiara berkerut ketika mendengar pertanyaan tersebut. Apa tidak salah kalau pertanyaan itu ditujukan padanya? Rasanya beberapa saat lalu Jaewon masih baik-baik saja. Bahkan hadiah waktu itu menunjukkan ke'baik-baik saja'an yang dimaksudnya, bukan?
"Bukannya gue mau tanya privasi lo lebih dalem, Ki. Soalnya doi gak keluar kamar semalem. Gak biasa aja. Gue kirain dia berantem sama lo."
Pernyataan tersebut di balas gelengan dari Kiara. "Seinget gue, dia kemaren baik-baik aja, kok."
"Gitu, ya?" gumam Yuna sambil mengalihkan arah mata. "Kayanya gara-gara masalah lain, deh!"
Inikah saatnya ia khawatir? Bahkan tidak ada bayangan apapun dalam kepalanya saat itu.
Memangnya apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
The One | [Jung Jaewon]
FanfictionJaewon, dia adalah cowok pertama yang Kiara idam-idamkan. Namun, apakah Kiara harus merubah perasaannya kalau One bilang tidak menyukai sikapnya itu?