[10]

44K 1.4K 3
                                    

Keluarga Wijaya masih berada di Apartemen mahal pemberian Revan, saat ini mereka berada di ruang makan, makanan yang tersaji di meja sangat banyak, sayuran, buah-buahan dan juga daging. Semua itu tadi di antar oleh salah satu petugas layanan jasa antar makanan yang di bayar oleh Revan. Mereka tidak langsung memakannya, mereka hanya menatap semua makanan mahal dan terlihat sangat menggiurkan itu dengan tatapan kosong. Ada yang tertinggal, ada yang terasa ganjal dan ada yang tidak biasa, dan semua itu karena tidak adanya Lala di tengah-tengah mereka.

"Ayah sudah ada rencana buat ngeluarin kakak dari sana?" tanya Erik menatap sendu ke arah Heru, gelengan kepala Heru membuat Erik membuang nafasnya dengan kasar. Mereka saling bungkam, tidak seperti biasanya yang selalu saja ramai memperebutkan makanan.

"Bagaimana ini? Kita tidak ada cara untuk membuat putri kita kembali." lirih Norma, wanita paruh baya itu terlihat sangat sedih, wajahnya serta hidungnya merah dan juga matanya bengkak karena terlalu lama menangis.

"Aku lapar, Ibu, aku mau sup bayam." pinta Erik, Norma menatap ke arah putranya, Heru menganggukan kepalanya, setuju dengan permintaan putranya, mata Norma berkaca-kaca, biasanya semua orang mengeluhkan sup bayam buatannya, dan sekarang apa, semuanya menginginkan sup bayam buatannya.

"Tapi di sini tidak ada bayam." sahut Norma, helaan nafasnya berat kembali terdengar di ruangan sepi itu. "Besok aku mau kembali ke rumah sewaan kita, di sana bayam yang ibu tanam masih banyak. Dan sekarang aku mau tidur saja, makanan ini tidak membuatku selera makan." ucap Erik, bocah laki-laki itu lantas meneguk segelas penuh air mineral lantas bangkit dari duduknya. Ia ingin tidur, bukan di kamar, tapi di lantai. Heru dan Norma juga melakukan hal yang sama, tidak makan malam dan hanya mengisi perut mereka dengan segelas air mineral dan juga tidur di lantai tanpa alas apa pun. Malam itu mereka tidur dengan tidak nyaman, dingin dan juga kelaparan. Mereka bahkan memikirkan bagaimana caranya mengeluarkan Lala dari rumah mafia itu.

•••••••••

Jacob membanting semua benda-benda yang berada di sekitarnya, emosinya meluap, bagaimana tak meluap jika ia saat ini sangat merindukan kekasihnya namun ia tidak tau di mana keberadaannya sekarang. Air mata Jacob menetes, baru kali ini ia merasakan hal seperti ini. Dan itu semua karena Lala, gadis yang baru ia pacara kemarin siang.

"Di mana sih lo La, gue udah nyari lo di kampus, di tempat lo kerja dan juga di rumah lo, apa lo ninggalin gue ? Gue gak berarti buat lo?" Jacob menatap ke cermin besar yang berada di depannya, di sana ia bisa melihat cerminan kondisi dirinya yang sangat kacau. Rambut gondrong yang berantakan, wajah yang memerah padan karena emosi dan juga sungai air mata kecil yang menghiasi wajah tampannya.

Pyar. Dengan keras pria tampan itu memukul cermin yang berada di depannya, cermin itu retak di barengi dengan aliran darah yang mengalir. Tangan Jacob terluka, namun tidak terasa sakit, hatinya jauh lebih sakit saat ini ketimbang luka di tangannya. Rindunya terhadap Lala menyakitinya, sangat, sangat menyakitinya.

••••••••••

Revan dan Lala berjalan berdampingan menuju ke arah Kamar di mana Lala akan tidur, belum ada yang memulai pembicaraan, hanya ada suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai marmer saja yang terdengar.

"Mungkin ini tidak akan adil untukmu. Tapi percayalah, aku tidak akan menyakitimu jika kau menurut padaku. Dan percayalah, aku akan membahagiakanmu." ucap Revan tiba-tiba, Lala menghentikan langkahnya, menatap Revan dengan serius. Revan menghentikan langkahnya, menatap ke arah Lala yang kini tengah menatapnya.

"Ada apa?" tanya Revan lengkap dengan kerutan di dahinya tanda bahwa ia bingung dengan tatapan Lala. "Apa maksud lo ngomong kalo lo bakal bahagiain gue ?" tanya Lala, Revan tersenyum manis lantas mengulurkan tangannya ke wajah Lala, membelai wajah cantik itu dengan lembut. Tidak ada penolakan dari Lala, gadis itu justru menikmatinya, sangat menikmatinya. Lala sangat menyukai sentuhan lembut itu.

"Aku akan menikahimu." jawab Revan dengan tatapan hangat dan juga tulus, entah apa yang membuat Revan jatuh hati pada sesosok Lala yang barusaja ia temui hari ini. Namun hati Revan sudah mantap untuk memilih Lala sebagai istrinya dan juga calon Ibu dari anak-anaknya kelak.

"Gue gak----" belum sempat Lala memprotes ucapan Revan barusan, dengan cepat Revan menaruh jari telunjuknya ke bibir gadis itu, mengisyaratkan Lala agar tidak melanjutkan kalimatnya. "Aku tidak terima penolakan." potong Revan dengan cepat, di rengkuhnya tubuh Lala dalam dekapannya, sebuah kecupan singkat di kening di berikan Revan pada Lala, gadis yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali melihatnya.

"Aku akan menjagamu, aku akan melidungimu dan aku juga akan selalu mencintai hingga akhir hidupku." tegas Revan yang berhasil membuat hati Lala melembut. Ini adalah kali pertama ia mendengar sederetan kalimat itu yang terucap untuknya. Nada bicara yang tegas dan terdengar sangat tulus. Detak jantung mereka bertemu dan saling menggetarkan. Perpaduan detak jantung mereka seolah-olah seperti sebuah alunan music cinta yang sangat indah.

Endy berdiri tak jauh dari mereka, senyumannya terbit di bibir tebalnya, senang rasanya ia bisa melihat putra tunggalnya memilih satu wanita untuk menjaga hati dan juga menemaninya sepanjang hidupnya. Ia sudah tidak sabar menunggu waktu itu datang, menunggu di mana mereka telah sah menjadi pasangan suami-istri baik secara agama dan juga hukum.

Di sisi lain kini keluarga Lala tengah menyusun rencana untuk bisa menjemput Lala kembali agar bersama dengan mereka

"Aku punya ide !" ucap Erik tiba-tiba, tubuh yang awalnya terbaring di lantai kini bangkit dengan ke dua bola mata yang berbinar. Heru dan Norma juga ikutan bangku dari baringnya, menatap ke arah putranya yang katanya memiliki ide untuk mengeluarkan kakaknya dari rumah Revan.

"Apa idenya ?" tanya Norma dengan antusias, Erik menatap ke dua orang tuanya dengan bergantian, lantas mengatakan, "kita menyelinap masuk ke dalam lewat pintu belakang atau semacamnya. Terus kita culik Kakak dari sana dan kita semua, kabur dari kota ini. Gimana?" ide Erik, bocah berusia 15 tahun itu melipat ke dua tangannya di dada, merasa bahwa idenya sangat lah bagus dan cemerlang.

"Kamu pikir di rumah Revan itu tidak di jaga? Di sana itu banyak sekali penjaga, kalo kita menyusup yang ada kita bakal di tembak mati sama mereka. Kamu mau mati muda ? Ayah aja masih pengin hidup." balas Heru, Norma dengan cepat menyentil kening Erik dengan keras, membuat anak baru gede itu mengaduh sakit.

"Pakai ide lain!" saran Norma, Erik menggeleng, ia tidak punya ide lain. Hembusan nafas kasar kembali terdengar, dengan kasar mereka berdua membanting tubuh mereka berbaring di ranjang.

"ADUH!" teriak satu keluarga itu kesakitan saat kepala mereka menghantam lantai keramik putih yang keras, mereka berdua lupa jika saat ini mereka sedang duduk di lantai, bukan di kasur.

Gairah Cinta Sang Mafia (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang