CHAPTER 7

390 16 0
                                    

"Aku tak pernah menginginkan menjadi seperti ini.

Attaviya Andhita"

Atta mendorong pintu rumahnya pelan. Ruang tengah begitu gelap. Ia menarik napasnya dalam, menyalakan lampu lantas mengunci pintu. Apakah suasana seperti ini yang harus terus menyapanya?

Atta sungguh tak menginginkannya, berada di antara harapan serta kenyataan yang terus menyeretnya untuk kembali ke realita.

Ia langkahkan kakinya setengah terseret menuju kamarnya. Atta benar-benar lelah setelah cukup lama membantu Deva membersihkan apartemennya. Lebih tepatnya, ia yang lebih banyak bekerja dibandingkan cowok itu.

Deva hanya bekerja di awal, selebihnya ia duduk di depan televisi dan memainkan playstation-nya. Jika tidak Atta lembar dengan kemoceng, mungkin cowok itu tetap akan terduduk di sana.

Suara isakan terdengar sayup di telingat Atta. Ia mengedarkan pandangannya, mencoba mencari sumber suara itu.

Tangisan itu kembali terdengar, dan ia yakin 100%, bahwa suara itu berasal dari dalam kamar ibunya. Maka dari itu ketika langkahnya sudah hampir sampai di depan kamarnya, ia putuskan untuk berbalik menuju kamar ibunya.

Pintu itu tertutup rapat, dan suara itu semakin terdengar jelas di telinga Atta. Ia merapatkan tubuhnya ke sana lantas menempelkan telinganya di daun pintu. Tangisan itu terdengar pilu, menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

Rasa penasaran Atta semakin menjadi. Dengan keberanian yang berhasil ia kumpulkan, akhirnya ia buka pintu itu dengan pelan.

Sosok wanita paruh baya langsung menjadi objek pandangan Atta. Ratna--ibu Atta--duduk di atas kasur, membelakangi pintu sembari memegang sesuatu yang sepertinya bingkai foto. Gadis bertubuh mungil itu mengulum bibirnya, menahan agar suaranya tak keluar. Ia tahu, Ratna pasti sedang menangisi Tita--adik Atta.

Untuk kesekian kalinya, Atta membiarkan luka itu menebas separuh hatinya. Sudah setahun lebih Tita meninggalkan mereka, tetapi Ratna masih tidak terima akan kenyataan itu. Hal itu tentunya membuat Atta semakin tertohok. Karena kepergian Tita lah, Ratna menjadi berubah. Ia menjadi kasar kepada Atta. Bahkan tak jarang ia mendapat kekerasan fisik dari ibunya.

Atta menghela napasnya dalam. Rasa sesak itu langsung memenuhi rongga dadanya. Tak ingin berlama-lama, akhirnya Atta memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Namun saat pintu itu hendak tertutup, Ratna memanggilnya dari dalam sana.

"Atta?"

Yang dipanggil tak menyahut. Ia melepaskan pegangannya dari gagang pintu lantas buru-buru berjalan menjauh. Baru beberapa langkah, suara pintu kembali terdengar disusul dengan munculnya Ratna yang nampaknya ingin menginterogasi Atta kembali.

"Habis dari mana kamu?"

Atta berhenti. Ia enggan membalikkan tubuhnya. Bukan karena malas, melainkan tak ingin kembali beradu mulut dengan Ratna. Wanita itu merasakan amarahnya kembali naik. Ia langkahkan kakinya lebar-lebar dan berhenti tepat di depan gadis itu. Manik matanya menatap tajam Atta.

"Ditanya kenapa diem? Gak punya mulut?" tanya Ratna pedas.

Atta mengepalkan tangannya, menahan agar emosinya tak ikut naik. "Apa urusannya sama Mama?"

Beautiful DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang