CHAPTER 24

275 12 0
                                    

"Jika melepaskan sanggup menerbangkan ribuan luka. Entah itu bagimu atau bagiku, maka akan aku lakukan. Meskipun aku yakin bahwa aku benar-benar tak mampu melepaskanmu.

Mahatva Ramadeva"

Sekali lagi Atta melemparkan pandangannya pada bangku kosong di sebelah Raden. Lantas ketika sadar bahwa sosok itu memang benar-benar tidak datang, Atta mengembuskan napasnya panjang.

Ini sudah hari ketiga Deva tidak masuk, tanpa kabar pula. Hal itu menimbulkan sedikit rasa cemas bagi Atta. Meskipun ia terluka karena laki-laki itu, tapi masih ada sebersit rasa peduli padanya.

Letih, akhirnya Atta kembali memfokuskan pandangannya pada buku kosong yang ia coret sejak beberapa menit yang lalu. Tak memedulikan sesisi kelas yang ribut lantaran free class.

Dan dari ujung sana, perlahan Raden bangkit dan berjalan menuju meja Atta. Cowok berkulit kecokelatan itu lantas menarik kursi yang ada kemudian menempatkannya tepat di samping meja Atta.

Atta menoleh, menaikan sedikit alisnya. "Kenapa lo?"

"Bosen gue, gak ada temen ngobrol," sahut Raden enteng yang langsung mendapat tolehan dari Dimas.

"Halah, biasanya juga lo nge-stalk mantan lo itu. Siapa tuh? Desi?" Dimas melemparkan senyum miringnya.

Cowok yang menjadi lawan bicaranya itu mendesis sembari merengut. "Kagak usah diumbar juga kali, Nyet!"

"Desi yang anak paskib itu? Boleh juga, Den. Selera lo boleh juga ...." Atta ikut-ikutan berceloteh, membuat Raden semakin gondok.

"Sialan lo pada. Ntar gue gamon, mau tanggung jawab lo, Ta?"  bela Raden sembari mendengus ke arah Atta.

Atta yang mendengarnya hanya berdecih. "Kalau lo setara sama Cameron Dallas sih gue mau."

"Salah ngomong lo, Ta." Tiba-tiba Ican yang tadinya sibuk dengan game online-nya, membalikkan tubuhnya dengan senyum miringnya.

"Kenapa?" tanya Atta bingung.

"Besok tuh kunyuk langsung sok-sokan jadi si siapa, tuh? Kemrong?" Dimas mengangkat sebelah alisnya. Mendengar pengucapan Dimas yang salah, Atta sontak tertawa.

"Cameron, pe'a." Ia lalu melanjutkan aktivitas coret-coretnya tadi. "Lagian Raden paling maksimal yah, segitu doang mukanya. Gak bisa berubah lagi."

"Enak aja lo," semprot Raden pada akhirnya. Geram, akhirnya ia meraih paksa pulpen beserta buku milik Atta lantas menuliskan tanda tangannya di sana.

"Eh, ngapain lo?!"

Raden tidak menjawab. Dan setelah guratannya selesai, ia menyerahkan kembali buku beserta pulpen milik Atta. "Nih, sebelum gue terkenal gue kasi tanda tangan dulu. Spesial buat lo."

"Najis," tolak Atta sembari menutup bukunya.

Melihat itu membuat Ican dan Dimas tertawa lantaran ekspresi Raden yang benar-benar tertohok.

Sementara yang menjadi bahan tertawaan merengut kesal. Namun ketika ingat tujuan awalnya ke mari, ia lantas memajukan tubuhnya beberapa senti ke arah Atta. Membuat Ican heboh seketika.

Beautiful DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang