CHAPTER 23

240 12 0
                                    

"Ada satu titik di mana seseorang merasa bahwa dialah orang yang paling terluka saat itu. Dan sekarang, aku tengah berada di titik itu. Dimana aku mencintaimu, namun kamu sama sekali tak menginginkan kehadiranku.

Intania Adishree"

Gadis itu melangkahkan kakinya lebar-lebar. Membelah koridor yang lumayan ramai demi mengejar laki-laki yang melaluinya begitu saja di kantin. Ia berteriak memanggil, namun pemilik punggung itu tak kunjung berbalik.

"Deva!" teriak Intan lantang. Beberapa orang di koridor itu menjatuhkan pandangannya pada Intan dengan tatapan penuh tanya. Sedangkan Intan tidak memedulikannya.

Deva semakin memercepat langkahnya. Ia tidak ingin berurusan lagi dengan perempuan blasteran itu. Tidak setelah apa yang terjadi kemarin.

Intan sudah melewati batas, dan itu sudah sangat membuat Deva marah. Bahkan bisa saja kemarahannya ini menimbulkan rasa benci yang mendalam.

"Deva!"

Suara Intan lagi-lagi menggema di sepanjang koridor. Membuat yang dipanggil mengeraskan rahangnya geram. Ia tidak peduli pada tatapan yang selalu menemaninya di koridor itu. Yang ia inginkan hanya menjauh dari semuanya.

"Deva! Lo denger gak, sih?!"

Tiba-tiba saja lengannya tertarik ke belakang. Tubuhnya yang berjalan tegap seketika terhuyung ke belakang. Dan mau tak mau ia harus bertatap muka dengan wajah itu.

Deva mengeraskan rahangnya. Menatap gadis itu dengan tatapan paling dingin yang pernah ia tampilkan. Tanpa bersuara. Dan tanpa melakukan apa-apa kecuali meredam emosinya dalam diam.

"Lo kenapa sih, Dev? Bukannya lo seneng Atta ngejauh?" Intan menatap Deva lurus-lurus dengan napas yang setengah memburu.

Deva mendengus keras. "Gue gak bisa terus diam, Tan. Lo udah diluar batas."

"Itu karena gue cinta sama lo!" pekik Intan tepat di wajah Deva. Laki-laki itu memejamkan matanya geram.

"Denger baik-baik," Deva mengepalkan tangannya kuat-kuat. Mencoba menahan emosinya lebih lama lagi. "Gue gak bakal ngebiarin orang yang gua sayangi tersakiti. Terutama sama lo."

"Lo gak pernah mikirin perasaan gue!" Intan berujar dengan mata yang berair. Tidak, ia tidak boleh menangis sekarang. Dia tidak boleh lemah.

"Lo minta dimengerti tapi lo gak pernah mau ngertiin perasaan gue." Deva menatap tajam Intan. "Lo sendiri yang ngebuat diri lo dibenci. Kalau lo gini terus, dunia gak akan pernah lagi berpihak sama lo."

Intan menahan napasnya. Sesak ini begitu menyiksa, membuatnya seakan kehilangan oksigen. Sementara Deva menatap lama gadis itu sebelum ia membalikkan badannya.

"Sekali lagi gue peringati. Berhenti nyakitin diri lo sendiri karena sampai kapan pun, gue gak akan pernah bisa cinta sama lo."

Setelah itu Deva berjalan menjauh. Berpuluh-puluh tatapan bergantian memandangi Deva dan Intan. Memasang tampang penasaran. Dan mungkin sebentar lagi akan keluar hot news mengenai mereka berdua.

Intan tak dapat lagi membendung sesaknya. Akhirnya di koridor itu, ia jatuh terduduk. Menumpahkan segala tangisannya di sana sembari memandang punggung Deva yang semakin menjauh.

Beautiful DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang