CHAPTER 15

258 9 0
                                    

"Aku sadar di tiap detikku. Ketika ku putuskan untuk mencintaimu, maka aku harus bisa menerima luka yang mungkin akan kau berikan padaku.

Attaviya Andhita"

Awan gelap menutupi hampir seluruh tubuh mentari. Sementara angin kencang mulai berhembus, pertanda sebentar lagi langit akan menjatuhkan muatannya.

Sudah hampir dua jam dua insan itu terduduk di bangku rooftop gedung itu.  Menikmati tiap hembusan angin yang menerpa kulit mereka. Ditambah dengan cuaca yang mendung, semakin membuat mereka enggan untuk meninggalkan tempat itu.

Pikiran Atta melambung jauh, mengingat pesan-pesan singkat yang ditujukan Ratna untuknya. Meskipun pesan itu memintanya untuk pulang, namun Atta yakin. Ibunya tetap tak menginginkannya. Dia hanya kesepian di rumah.

Atta mendengus keras. Jelas sekali terbayang di pikirannya, bagaimana raut wajah Ratna ketika mengetikkan pesan itu. Wanita paruh baya itu pasti setengah mati menahan emosinya yang meluap ke permukaan. Percuma saja memintanya pulang jika dalam hati masih tersisa rasa benci.

Deva yang sedari tadi bersenandung riang sembari melempar tatapan ke hamparan gedung tinggi, berhenti lantas menoleh ketika mendengar dengusan Atta. "Kenapa lo?"

Atta tersenyum miring, apa dia harus memberitahu Deva?

"Nyokap gue sms dari kemaren, cuma gak gue bales." Pada akhirnya ia memilih untuk berterus terang.

"Kenapa? Bukannya bagus, ya?" Deva mememutar tubuhnya ke samping agar lebih leluasa berbicara dengan Atta.

Gadis itu hanya mengangkat bahunya acuh. "Gak tahu. Paling cuma kesepian doang, dan percuma juga gue balik lagi. Toh, sampai kapan pun gue gak bakal dianggep."

"Bisa jadi lo keliru," celetuk Deva asal. Mendengar itu sontak membuat Atta menolehkan kepalanya dan melemparkan tatapan maksud lo?

"Lo bukan Tuhan yang tahu kedepannya bakal gimana, Ta. Semua pikiran lo itu terbentuk cuma karena luka yang tertanam di dada lo," terang Deva yang langsung ditimpal oleh kekehannya.

Atta masih terdiam, mencerna bentuk ucapan Deva. Jelas sekali tergambar di wajahnya, betapa besar keraguan yang menyelimuti dirinya. Apa betul ucapan Deva?

"Pulang, Ta ...." Deva berujar lembut. Sekali lagi Atta menoleh. "Kabur gak bakal nyelesaikan masalah lo. Yang ada cuma nambah beban lo, kan."

Atta mengembuskan napasnya panjang. "Lo gak ngerti, Dev. Susah buat mutusin balik lagi atau enggak." Ia melemparkan pandangannya ke depan lantas menggeleng pelan.

"Gue emang gak bakal bisa ngerti, Ta. Tapi setidaknya gue berusaha buat memahami," sanggah Deva. Kali ini ada sedikit penekanan dalam suaranya.

"Gue masih bimbang, Dev. Gue harus siap dulu baru bisa balik lagi," ujarnya lirih. Suaranya yang pelan berbaur dengan udara sekitar. Terbang ke angkasa dan memecah bersama senyawa lainnya.

Deva hanya memilih bungkam. Walaupun sekarang Atta tengah dilanda ragu, namun ia yakin. Suatu saat Atta akan kembali dan menyelesaikan masalahnya.

Angin bertiup semakin kencang. Guntur mulai terdengar di angkasa, namun dua manusia itu tetap tak beranjak dari sana. Seakan tak masalah jika hujan turun saat itu juga.

Beautiful DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang