CHAPTER 10

313 17 0
                                    

"Aku tidak tahu. Mengapa setiap kamu menceritakan tentangnya, sebagian dari dalam diriku ini meronta, meraung kesakitan hingga menyisakan sesak yang mendalam.

Attaviya Andhita"

Atmosfer ruangan itu berubah seketika saat Atta meninggalkan ruangan itu beberapa menit yang lalu. Apartemen yang tadinya ribut, kini berubah menjadi hening bagai tak berpenghuni. Entah apa yang membuatnya begitu, yang jelas Deva tak mengetahuinya.

Lisna dan Deva masih bertahan di posisinya, duduk di sofa yang saling berseberangan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Banyak pertanyaan yang ingin Deva keluarkan saat dirinya sampai di apartemennya dan menemukan Lisna di sana.

Jika boleh jujur, kedatangan Lisna sangatlah mengejutkan bagi Deva. Namun karena kerinduannya lah, rasa keterkejutannya itu berhasil tertutupi. Akhirnya sebelum kepalanya benar-benar meledak lantaran banyak sekali pertanyaan yang beterbangan di kepalanya, ia pun membuka suara.

"Kapan Mama sampai di sini?" Dan pertanyaan itulah yang akhirnya meluncur dari bibirnya.

Lisna mengalihkan pandangannya sejenak dari ponsel yang ia mainkan, memandang anaknya sekilas lantas memusatkan perhatiannya kembali pada benda kecil itu. "Gak lama sebelum kamu pulang sekolah."

"Bukannya Tasya lagi sakit? Makanya Mama gak bisa dateng ke sini." Deva tersenyum miring. Mengingat percakapannya dengan Lisna beberapa hari yang lalu di telepon.

Lisna terdiam. Dimatikan ponsel yang sedari tadi ia mainkan dan memusatkan dirinya pada Deva.

"Ada yang perlu Mama bicarakan," ujarnya dengan nada rendah. Deva mengangkat sebelah alisnya. Apa lagi?

Wanita paruh baya itu berdehem pelan sebelum memulai percakapannya. "Mungkin untuk beberapa bulan ke depan, Mama gak bakal bisa ke sini--"

"Loh, kenapa?" potong Deva cepat. Rasa penasarannya kembali muncul ke permukaan.

"Mama mau fokus ke Tasya dulu. Takutnya dia sakit lagi dan--"

"Tasya, Tasya, dan Tasya. Kenapa harus dia yang jadi prioritas Mama?" untuk yang kedua kalinya Deva menyela ucapan Lisna.

"Dia juga anak Mama, Deva." Mata yang sayu itu memandang anak laki-lakinya dengan tatapan lurus. Seakan meminta pengertian pada Deva.

"Aku ini anak Mama juga, bukan cuma dia. Seharusnya Mama juga peduli sama aku!" Deva kepalkan tangannya kuat. Setengah mati ia tahan agar emosinya tidak meledak. Ia benci ketika posisinya tersingkirkan oleh Tasya, yang notabenya adik tirinya.

"Oh, aku lupa. Semenjak cerai sama Papa, Mama pelan-pelan nyingkirin aku. Anak hasil pernikahan Mama dengan Papa." Tawa Deva meledak, membaur di udara yang kini terasa menyesakkan baginya.

"Jangan pernah sebut Papa lagi," ancam Lisna dengan suara dingin. Suaranya bergetar menahan marah.

"Kenapa? Apa aku salah?" tanya Deva sarkas. Ia memajukan tubuhnya ke depan. "Setiap hari aku selalu datang ke rumah kita yang lama. Bongkar semua kenangan itu hanya untuk ngobatin rindu. Apa aku salah?"

"Deva, Mama bilang--"

"Sampai saat ini, aku masih berharap Papa hadir di antara kita dan perbaiki semuanya. Aku tau, Papa--"

Beautiful DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang