CHAPTER 16

283 13 0
                                    

"Bisakah aku berharap hari ini tiada ada ujungnya? Karena aku takut, jika hari esok datang dan kamu justru tak bersamaku lagi.

Mahatva Ramadeva"

Malam itu kafe penuh. Banyak sekali orang yang datang. Membuat ruangan kafe itu menjadi ribut, seakan-akan sedang mengadakan konser.

Atta mulai merasa kewalahan melayani setiap pelanggan. Nampak jelas dari keringat yang yang membasahi keningnya serta napasnya yang terasa memburu. Padahal suhu ruangan ini sebenarnya sejuk, hanya saja jumlah orang yang melebihi kapasitas yang membuat ruangan ini menjadi sedikit pengap.

Hingga hari semakin malam dan kafe mulai lengang, barulah ia bisa menetralkan napasnya. Tali tambang yang seakan mengikat tubuhnya, perlahan mengendur. Membuat dirinya sedikit bernapas lega.

"Sumpah, baru kali ini gue liat kafe seramai itu." Atta menyandarkan tubuhnya di dinding, menoleh ke arah Astrid--partner kerjanya--lantas mengembuskan napas panjang.

Astrid terkekeh, "udah biasa itu, mah. Entar kalo udah sebulan di sini lo pasti terbiasa."

"Gak perlu sebulan, seminggu pun gue yakin." Ia terkekeh pelan, dan Astrid hanya tersenyum mendengarnya. "Btw gue gak sopan banget, ya. Lo lebih tua dari gue, tapi ngomongnya berasa sepantaran."

"Gak apa lagi," tandas Astrid. Ia tertawa hingga matanya membentuk bulan sabit. "Kayak gini lebih seru daripada lo manggil gue Kak atau Mbak. Tua banget kesannya."

"Emang lo udah tua, kan. Jangan menutupi umur, Mba," gurau Atta yang langsung dihadiahi tepukan pelan dari Astrid.

"Jangan gitu, ah!"

Percakapan itu terus mengalir, mengisi waktu lengang mereka. Untuk sementara suasa kafe masih bertahan seperti beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang datang, dan belum ada yang beranjak pergi dari tempatnya.

Hingga tiba-tiba pintu kafe dibuka dari luar dan langsung memunculkan sosok laki-laki bertubuh jangkung. Sontak percakapan itu dihentikan sepihak oleh Astrid.

"Eh, Ta. Itu ada pelanggan dateng. Buruan sana."

"Oh, iya." Setelah mengambil buku menu dari rak khusus, Atta bergegas menuju meja ujung. Meja yang ditempati pelanggan itu.

Pria itu mengenakan masker yang menutupi mulutnya saja serta kacamata yang bertengger manis di pangkal hidungnya. Atta mengerutkan dahinya. Lagi sakit?

"Silakan, Mas," ucap Atta selembut mungkin demi menjaga kesopanan. lantas ia menyodorkan buku menu itu.

Pria itu menarik buku menunya mendekat lantas membukanya. Membolak-balik buku itu hingga hampir 5 menit tanpa membuka suara sedikitpun. Membuat Atta yang sedari tadi berdiri di sisinya mulai merasa jengah.

Ternyata begini rasanya menunggu pelanggan yang terlalu lama. Capek, jengah, namun tak bisa berkata apa-apa.

Lantaran memorinya terputar kembali ketika ia dan Deva makan di Ayam Kremes Pak Bejo.

Kasian juga Mas-masnya.

"Pesan apa, Mas?" tanya Atta menginterupsi kegiatan pria itu. Sementara yang merasa ditanya mendonggak lantas melemparkan tatapan jengkelnya.

Beautiful DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang