CHAPTER 11

300 13 0
                                    

"Aku tahu betul, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di sana. Menyelimuti hatiku pelan dan mencoba untuk menghangatkannya.

Attaviya Andhita"

Hampir seluruh murid kelas 12 IPA 8 sudah berjalan menuju lapangan dikarenakan sudah jamnya olahraga. Atta yang setengah berlari dari toilet menuju kelas untuk menyimpan baju seragamnya, merasa bersyukur karena ternyata Deva juga masih berada di kelas.

"Gue kirain lo udah ke lapangan." Atta meletakkan seragamnya begitu saja di atas meja lantas berlari menuju daun pintu. "Buruan, Dev! Kalo telat bisa dihukum, nih!" jelasnya mulai panik karena Pak Anwar--guru olahraganya--tak akan segan-segan memberikan hukuman bagi siswa yang terlambat di jam pelajarannya.

Deva yang tadinya nampak santai melipat celana abu-abunya, langsung melempar seragam itu ke atas meja. Ia pun buru-buru menyusul Atta untuk segera ke lapangan.

Benar saja. Ketika tiba di lapangan, seluruh teman kelasnya sudah berbaris rapi dengan Pak Anwar yang tentunya memimpin di depan. Setelah sampai, Deva langsung masuk ke barisan.

Lima belas menit kemudian seusai pemanasan, Pak Anwar kembali membuka suaranya.

"Kali ini kita bebas, ya. Soalnya materi kelas kalian sudah melampaui yang lainnya. Jadi kita nunggu saja," terangnya yang langsung disambut pekikan senang dari siswi-siswinya.

"Tapi sebelum itu Bapak mau kalian lari satu putaran komplek yang waktu itu. Ketua kelas mana?"

Raihan yang menyandang posisi itu lansung mengangkat tangannya, "saya, Pak!"

"Nah, kamu pimpin teman-temannya. Bapak tunggu di sini," amanatnya pada Raihan. "Dan untuk yang telat, sebagai hukumannya lari dua putaran."

Atta yang baru saja mengatur napasnya yang terasa berat, langsung mendengus keras. Deva yang menyadari itu, hanya tersenyum tipis. Ia tahu, tipikal orang seperti Atta adalah orang yang malas berolahraga. Tentunya kesempatan ini akan Deva gunakan sebaik mungkin untuk menganggu gadis itu.

Mereka mulai berjalan beriringan menuju komplek sebelah. Atta yang merasa kesal lantaran terlambat dan harus menerima hukuman, memilih untuk berjalan di barisan paling belakang. Jelas tergambar sekali dari mukanya bahwa ia benar-benar kesal.

"Mukanya jangan cemberut gitu dong, Mba," goda Deva yang memilih untuk berjalan di sisi Atta.

"Gimana gue gak kesel coba. Asal lo tahu, tuh komplek kagak kecil. Lebih luas lagi dari komplek rumah gue. Ya lo bayangin aja, lari dua putaran di komplek itu. Buat gue, makasih banyak lah, ya," gerutunya panjang lebar.

Deva terkekeh lantas mengalungkan sebelah tangannya di leher Atta. "Lebay lo. Keliatan banget kalau lo jarang olahraga."

"Berat, Dev!" Atta berusaha melepaskan lengan Deva. Namun cowok itu kembali mengalungkannya, membuat Atta kesal seketika. "Lo ngapain, sih?"

"Nyemangatin lo," sahut Deva enteng. Atta memutar bola matanya jengah.

"Nyemangatin caranya gak gini, ogeb. Oh gue tahu," timpal Atta. Deva menolehkan kepalanya serta mengangkat sebelah alisnya.

"Lo mau romantis-romantisan sama gue, kan? Nih kalau mau sekalian." Tangan Atta yang bebas segera ia gunakan untuk merangkul pinggang Deva.

Beautiful DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang