Tak Rela Jika Dia Pergi

1K 88 14
                                    

"Sal, makan ya?"bujuk Iqbaal dengan memelas. Di tangan kirinya sudah ada semangkuk bubur, sedang tangan kanannya mengenggam tangan Salsha.

Salsha menunduk, "Nggak bisa."

"Please? Sesuap aja?"rayu Iqbaal belum mau menyerah.

Salsha tetap menggelengkan kepalanya. Bukan maksudnya untuk merepotkan, hanya saja nafsu makannya benar benar menghilang sekarang.

"Biarin gue minum obatnya langsung aja ya?"Kini giliran Salsha yang tawar menawar.

Refleks Iqbaal menggeleng dan menjauhkan baki obat. Dahinya mengkerut tanda tak setuju.

"Nggak. Maag lo nggak akan kuat nahan obat sekeras ini kalau lo nggak makan,"tolak Iqbaal.

Salsha menghela napasnya lesu. Raut wajahnya semakin kusut dan wajah cantiknya juga pucat. Meski begitu, kecantikan masih melekat padanya.

Gadis itu menatap ke arah jendela luar. Tatapannya kosong. Iqbaal meletakkan mangkuk bubur diatas nakas dan meraih tangan Salsha yang dingin.

"Sal...,"panggil Iqbaal lembut.

Salsha menolehkan pandangannya ke arah Iqbaal. Ditatapnya pemuda yang tengah menggenggam tangannya itu.

"Gue tahu, lo masih mikirin soal toples surat itu,"ucap Iqbaal sambil menatap ke bawah.

"Gue minta maaf ya, Sal. Belum bisa nemuin toples surat itu. Padahal gue udah janji sama lo,"lanjut Iqbaal sedih.

Melihat tingkah Iqbaal yang seperti itu, Salsha tak kuasa tetap diam. Pemuda ini, sudah terlalu banyak dilukai olehnya.

Kenapa sih Baal, gue nggak bisa jatuh cinta sama lo aja?Batin Salsha merasa bersalah.

"Baal, lo nggak salah. Lagipula, kalau emang udah waktunya ada yang tahu perasaan gue selain lo sama Shena, gue juga nggak bisa ngapa ngapain. Jadi lo jangan mikir kalau lo yang salah,"ujar Salsha panjang lebar.

Iqbaal masih menunduk, tatapannya melekat ke punggung tangan Salsha. Pemuda itu menelan ludahnya sendiri.

Maafin gue Sal. Gue udah tahu sebenarnya toples itu dimana, cuman gue nggak sanggup ngasih tahu lo,Batin Iqbaal.

******

Ditatapnya bangunan rumah minimalis yang dihadapannya. Sudah sekian lama sejak terakhir kali ia menginjakkan kakinya disini. Entah mengapa, semua terasa asing bagi Iqbaal.

Padahal dulu, rumah ini sudah seperti rumah keduanya.

Iqbaal menarik napasnya, "Permisi."

Tak lama setelah sapaannya, muncullah seorang wanita paruh baya cantik dari dalam. Wajahnya langsung berseri melihat Iqbaal.

"Wah! Iqbaal, udah lama Tante nggak liat kamu main!"sapa Melina gembira.

"Iya, Tante. Tante apa kabar?"tanya Iqbaal berbasa basi.

"Baik, baik banget. Kamu sama Mama gimana? Mama lancar butiknya?"tanya Melina bertubi tubi.

Iqbaal mengangguk, "Untungnya lancar semuanya, Tan. Em...,Aldinya ada?"

"Oh ada, ada. ALDIIIIII!!!"panggil Melina dengan suara menggelegar.

Tak lama berselang, Aldi muncul di ujung tangga dengan wajah sewot.

"Apa sih, Ma? Teriak ter—"Ucapannya tercekat begitu melihat sosok Iqbaal.

"Ini loh, Iqbaal dateng. Emang kamu nggak tahu Iqbaal bakal dateng?"tanya Melina.

 Love Letters [AM X SA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang