Bab 1 - Menginjak Selembar Kertas

5.5K 146 10
                                    

Di siang hari, ditemani teriknya sinar matahari, aku dan kedua sahabatku duduk di taman sebuah kampus ternama di daerah Jakarta sambil meminum sebotol air mineral dingin. Awalnya kami berniat menghabiskan waktu istirahat di kantin, tapi mengingat jarak kelas ke kantin dan waktu yang tersisa akhirnya kita hanya membeli air mineral saja dan memilih taman yang dekat dengan kelas kita untuk duduk.
Tidak lama bel pun berbunyi bertanda waktunya masuk kelas. Kami pun bergegas menuju kelas, tapi aku terhenti karena melihat sampah yang dibuang sembarangan. Aku pun mengambilnya, ternyata kertas itu adalah sebuah brosur lomba ceramah. Tentu saja aku langsung tertarik dan segera berlari kecil menghampiri Fatimah dan Khadijah.
"Wah, kalian lihat deh!" seruku pada mereka.
“Kenapa, Han?” tanya Fatimah penasaran.
“Lihat ini deh! Kita harus ikut! Kebetulan acara ini diadakan saat kita libur kuliah.” seruku bersemangat.
“Oh ya? Kalau begitu tentu kita harus ikut!” jawab Fatimah yang tak kalah bersemangat dan anggukkan dari Khadijah.
“Oke, kalau begitu selesai mata pelajaran hari ini kita langsung saja mendaftar, tempatnya dekat dari kampus kok.” ajak Fatimah dan kedua temannya pun mengiyakan lalu segera memasuki kelas.
Aku sangat senang saat Fatimah dan Khadijah juga bersemangat untuk mengikuti lomba ini. Hal itu membuatku lebih bersemangat mengikuti pelajaran hari ini. Selesai kelas kami bertiga langsung pergi ketempat pendaftaran itu dan ternyata antriannya cukup panjang. Antrian itu memakan waktu yang cukup lama sekitar 40 menit berlalu baru kita bisa mengisi formulir pendaftarannya. Setelah selesai kita pun pulang sambil terus berbincang tentang lomba yang tidak sabar kami ingin ikuti itu.
"Tadi kalian lihat tidak? Banyak sekali yang mendaftar perlombaan itu!" seruku.
“Ya banyak banget pesertanya, mungkin acaranya nanti bakalan besar-besaran atau bisa saja mereka bakalan ngundang qori dan da’i terkenal kali ya!” seru Fatimah.
“Hemmm mungkin, pasti bakalan menarik!” jawab Khadijah dengan kalemnya.
“Ngomong-ngomong acara lomba itu tanggal berapa?” tanya Khadijah lagi.
“Minggu depan pas hari libur, Djah!” jawabku.
“Jadi sebentar lagi, ya?” tanya Khadijah.
“Iya juga ya sebentar lagi!” seru Fatimah.
“Ya udah mulai dari sekarang kita buat teks naskahnya dengan tekun.” saranku.
"Oke, semangat ukhuwah!" jawab mereka dengan bersemangat.
Sesampai di tempat kostan, kita bertiga langsung mandi setelah itu ganti baju sebelum memulai menulis. Sebelum menulis, kami bertiga menentukan isi dan tema yang akan di bawakan nanti. Setelah baru menulis naskah dengan serius, hingga tak terasa sudah larut malam dan akhirnya kami bertiga tertidur di meja belajar.
Keesokan harinya kami tidak sadar bahwa kami bertiga semalaman tidur di meja belajar dan entah kenapa bisa bersamaan. Saat aku menengok jam ternyata jam sudah menujukan pukul 6 pagi. Aku dan sahabatku bangun kesiangan dan sehingga sholat shubuh pun terlewatkan. Aku pun membangunkan kedua sahabatku.
“Bangun-bangun kalian kita bangun kesiangan nih, ayo buruan kita hari ini kuliah!”
Dengan terkejutnya mereka berdua langsung terbangun dan segera menuju ke kamar mandi dengan tergesa-gesa. Tiba-tiba Fatimah terjatuh dan membuatku dan Khadijah tertawa.
Aku pun mengulurkan tangan untuk menolong Fatimah dan aku pun berkata sambil menahan tawa, "makanya hati-hati kalau jalan."
“Bukan gitu Han, kayaknya nih lantai mau balas dendam karena diinjek-injek mulu” kata Fatimah dramatis.
Setelah kejadian dramatis itu, mereka berebut ingin mandi duluan dan akhirnya mereka melakukan suit dengan alasan biar lebih adil katanya.
Setelah semuanya siap kami pun langsung berangkat ke kampus. Kami bertiga menggunakan motor ke kampus. Aku bersama Khadijah dan Fatimah sendiri. Kami sedikit kesal melihat jalanan yang biasa kita lewati sedang macet, dan akhirnya memilih untuk memutar lewat jalan lain. Fatimah yang memang ceroboh dan sekarang sedang tergesa-gesa tiba-tiba ada anak kecil yang menyebrang membuatnya mengarahkan motor ke trotoar untuk menghindari anak tersebut.
"Hati-hati Fatimah!" teriak Khadijah.
Namun, yang namanya musibah memang tidak bisa dihindari. Motor Fatimah menabrak trotoar, sehingga kaki kirinya terjepit. Aku segera menghampiri Fatimah yang menangis kesakitan, sedangkan Khadijah terdiam karena syok. Untung Allah masih sayang sama Fatimah dalam musibah ini hanya kakinya saja yang terjepit. Warga sekitar sadar dan segera menolong dan membawa Fatimah kerumah sakit terdekat.
Tak lama Ambulance yang di panggil warga datang untuk menolong Fatimah datang dan segera mengangkat Fatimah dengan tandu ke dalam ambulance. Melihat kembarannya kesakitan membuat Khadijah terus menangis. Aku hanya bisa mengusap punggungnya dan ikut menangis melihat dirinya menangis.
Sesampainya di Rumah Sakit, aku melihat sekumpulan perawat yang siap siaga untuk membawa Fatimah ke ruang IGD. Aku dan Khadijah mengikuti hanya sampai depan pintu karena suster melarang kita berdua untuk masuk ke dalamnya, sehingga aku dan Khadijah menunggu di luar, sambil menunggu kabar kepastian dari dokter. Sambil menunggu, Khadijah menelepon Mama dan Papanya bahwa Fatimah mengalami kecelakaan. Tak lama kemudian dokter keluar dari ruangan IGD.
“Bagaimana dengan kembaran saya, dok! Apakah dia sudah sadar?” tanya Khadijah dengan rasa cemas.
Dokter menjawab, “Dengan keluarga Nona Fatimah?”
“Ya dok, saya kembarannya!” seru Khadijah.
“Begini, tulang kerig Nona Fatimah sedikit retak dan harus segera di operasi” jelas dokter kepada kami.
“Kalau begitu langsung operasi saja dok! Saya yang urus administrasinya.” kata Papa Fatimah tiba-tiba yang baru saja sampai bersama yang lain.
“Baiklah kalau begitu. Suster, segera siapkan ruang operasinya.”
“Baik dok”
Akhirnya aku dan yang lain menunggu. Operasi pun berjalan selama 3 jam dan kini lampu dirungan operasi mati pertanda operasi telah usai. Dokter keluar dan mengabarkan kepada kami semua bahwa operasinya lancar. Rasa syukur menghiasi wajah kami.
***
Kami semua langsung memasuki ruang tersebut untuk melihat keadaan Fatimah. Kini Fatimah sudah di pindahkan ke ruang rawat.
“Assalamu’alaikum, Fatimah.”
“Wa’alaikumussalaam Hana, Khadijah. Kenapa dengan kakiku?” tanya Fatimah histeris saat melihat kondisi kakinya masih terjerumur kaku.
Kita berdua hanya bisa berdiam diri saat mendengar tutur katanya. Fatimah merasa kaki kanannya sulit untuk digerakkan. Aku dan Khadijah melihatnya sangat sedih dan bingung harus bagaimana dan harus apa?
Walaupun kaki Fatimah sudah di operasi. Namun, ia masih tetap merasakan sakit itu. Orang tuanya pun yang melihatnya berlumur air mata dan penuh kekhawatiran melihat anaknya terbaring lemah.
Fatimah melihat kedua orang tuanya sedang menangis, hanya bisa tersenyum menganggap semuanya baik-baik saja.
Teman-teman dan dosen-dosen dari kampus mampir untuk menjenguk Fatimah.
Keesokan harinya, Fatimah mendapatkan kabar gembira dari perawat bahwa Fatimah di perbolehkan untuk pulang, karena kondisi kesehatannya sudah memulih. Namun, kakinya yang belum sepenuhnya pulih, sehingga sementara Fatimah harus menggunakan kursi roda.
Sesampai di rumah, Fatimah di gendong oleh Papanya untuk duduk di kursi roda. Saat ke dalam Fatimah di dorong oleh Khadijah. Fatimah terus memandangi kakinya yang baru saja kemaren di operasi dengan rasa sedih. Khadijah yang melihatnya merasakan kesedihan apa yang dia rasakan.
***
Sambil menatap langit diluar sana, ada sosok yang sedang aku rindukan timbul di pikiranku. Aku sangat merindukan Michi ialah sahabat masa kecilku yang dulu pernah satu sekolah bersamaku saat SD. Tak lama, pintu kamar terbuka, mama masuk sambil membawakan secangkir susu hangat dan melihat aku yang sedang diam. Mama pun menaruh secangkir air yang ia bawa dan langsung melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Aku terkejut bahwa didepan sudah ada mama.
"Hallo, sayang! Ayo kamu lagi mikirin siapa sampai melamun gitu?"
"Aku gak lagi mikirin siapa-siapa kok!" jawabku terkikik.
"Oh gitu di kirain!" ucap mama sambil ketawa kecil.
"Ayo nak, minum susunya dulu keburu dingin!" ucap mama lagi.
"Iya ma"
Aku meminum secangkir susu hangat yang sudah dibuatkan mama. Namun, mama masih penasaran apa yang aku pikirkan dan mengulang perkataannya lagi kepadaku.
"Hemmm, jujur nak. mama masih penasaran kamu lagi mikirin siapa sih sampai kayak gitu?"
"Serius ma, aku gak mikirin siapa-siapa. Aku tadi hanya mendangin awan aja kok!" jawabku sedikit jengkel.
"Beneran nih? Soalnya pas mama tanya wajahmu berseri-seri dan pipimu memerah!" kata mama sambil menggodaku dan menoel pipiku.
"Masa sih, Ma? Padahal aku biasa saja tadi pas mama ngomong seperti itu!" ucapku
sambil menahan tawa.
"Ayo pasti kamu lagi mikirin cowok ya, jujur saja nak?" ucap Mama lagi.
"Mama mah!" ucapku membuat wajahku kusam saat mendengarkan
omongan mama.
Mama hanya bisa menahan ketawa melihat ekspresi wajahku.
“Ma, nanti siang aku boleh jenguk Fatimah gak? Katanya Fatimah sudah pulang dari rumah sakit?” kataku kepada mama.
“Alhamdulillah syukurlah. Ya udah nak silahkan”
“Alhamdulillah makasih ya Mama cantik deh, hihihih!” kataku sambil memeluk mama.
“Kamu memang anak mama yang pintar merayu, heheheh!” wajah mama memerah saat mendengar rayuanku.
“Ya dong ma, heheheh” jawabku.
***
Di siang hari, aku mengujungi rumah si kembar untuk menjenguk Fatimah yang baru saja pulang dari rumah sakit. Sebelum masuk ternyata aku sudah melihat Khadijah yang sedang bermain di taman sebelah rumahnya. Dia sedang menulis, entah apa yang dia tuliskan. Aku menghampirinya dengan penasaran, saat aku mendekatinya ternyata dia sedang menulis sambil menangis tersedu-sedu. Aku langsung memeluknya dari belakang dan membuat Fatimah terkejut.
“Maa Syaa Allah Han, kamu datang gak bilang-bilang membuat aku terkejut saja!”
“Hihihih maaf. Aku tidak sengaja melihatmu disini, jadi aku samperin kamu diam-diam anggap saja suprise. Dan ngomong-ngomong kamu kenapa nangis?” tanyaku heran.
“Gak kok aku gak kenapa-napa, tadi tiba-tiba ada debu yang masuk ke mataku.” jawab Fatimah seakan dia telah berbohong kepadaku.
Tak lama Khadijah datang, Khadijah tercengang ternyata Fatimah sudah bersamaku.
“Assalamu’alaikum Han, kamu kapan datangnya?”
“Wa’alaikumussalaam, barusan kok. Pas aku mau mengujungi rumah kalian dari luar, aku tak sengaja melihat Fatimah disini, makanya aku menghampirinya saja!”
“Oh gitu! By the way, kamu mau minum apa? Biar aku ambilkan.” tanya Khadijah.
“Gak usah repot-repot, aku kesini cuman mau menjenguk Fatimah kok.”
“Udah gak apa-apa Han, aku ambilin ya”
“Hemmm ya udah aku mau air putih dingin aja.”
“Ok tunggu sebentar”
Aku sambil menunggu Fatimah yang sedang mengambil air minum, tak sengaja ku melihat Fatimah yang sedang menulis sebuah kata-kata di atas kertasnya, kertas itu bertuliskan “Surga Tunggu Aku disana”, saat aku melihatnya membuat hatiku menangis mengapa Fatimah menulis seperti itu.
Tak lama Khadijah datang sambil membawakan air minum pesenanku. Khadijah melihatku sedang menangis.
“Han, kamu kenapa menangis?” tanya Khadijah dengan heran.
“Hemmm, aku gak kenapa-napa kok. Oh ya mana minumanku?” aku memotong omongan Khadijah untuk menyembunyikan kesedihanku.
“Oh ini, Han! Ngomong-ngomong naskah ceramahmu sudah selesai?” tanya Khadijah kepadaku.
“Belum, sebentar lagi selesai? Kalau kalian berdua bagaimana, sudah selesai belum?” kataku sambil meminum air yang sudah di bawakan Khadijah.
“Alhamdulillah naskahku sudah selesai. Aku tidak tahu naskah Fatimah sudah selesai belum. Kemungkinan juga belum selesai karena lusa kemaren dia juga masuk rumah dan tadi pagi baru saja pulang dari rumah sakit!” seru Khadijah.
“Oh gitu, alhamdulillah. Hemmm iya juga ya”
“Tenang kok aku bakalan selesaikan secepatnya hari ini juga”
“Iya Fat, semangat ya”
Kami berbincang begitu luma hingga tak terasa sudah waktunya sholat ashar. Adzan Ashar pun berkumandang bertanda waktunya untuk sholat. Aku bersama sahabatku masuk ke dalam rumah mereka untuk melaksanakan sholat.
***
Di sore hari aku bersama Fatimah dan Khadijah jalan-jalan mengelilingi kompleks. Di perjalanan aku tidak sengaja melihat seorang nenek yang sedang kesulitan membawa barang jualannya. Aku pun menghampiri nenek tersebut.
“Assalamu’alaikum, nek …”
“Wa’alaikumussalaam, ya nak …”
“Maaf nek, bolehkah saya membantu nenek membawa barang jualannya. Kalau
boleh saya tahu nenek mau kemana?”
“Nenek harus jualan lagi dan biasanya nenek pulang larut malam.”
“Maa Syaa Allah nek, memang anak dan suami nenek kemana?”
“Suami nenek sudah meninggal. Anak nenek 2 orang sudah meninggal dan 3 orang lagi kerja di luar kota dan belum kembali lagi sampai sekarang ini!” serunya.
Saat aku mendengarkannya, hatiku langsung miris mengapa anaknya seperti itu tega
meninggalkan Ibunya sendirian.
“Nek, bolehkah saya membeli jualan nenek semua? Dan boleh saya tau satu harganya
berapa?”
“Satunya 2000 nak”
Sebelum membelinya aku mencicipinya terlebih dahulu.
“Maa Syaa Allah, enak nek”
“Alhamdulillah, makasih nak.” terlihat wajah bahagianya saat mendengar ucapanku.
Fatimah dan Khadijah yang hanya melihat daritadi kini menghampiriku yang sedang berada diseberang jalan dan membantuku untuk patungan buat kasih uang ke nenek itu.
“Ini nek kita hanya bisa kasih uang 300.000, semoga uang ini cukup untuk kebutuhan nenek di rumah!”
“Alhamdulillah, makasih ya nak. Semoga amal ibadah kalian diterima oleh Allah.”
“Aamiin Allahumma Aamiin, sini nek saya bantu dan nenek pulang saja ya jangan jualan lagi karena hari sudah sore, matahari juga hampir terbenam dan nenek jangan banyak kecapean. Hemmm, ngomong-ngomong rumah nenek dimana?”
“Dekat dari sini kok, nak!” jawab nenek itu.
Aku dan sahabatku akhirnya memutuskan untuk mengantarkan nenek itu untuk pulang ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, entah kenapa melihatnya sangat miris sekali. Rumahnya hanya terbuat dari kertas kardus dan dilapisi karena karton yang sebenarnya tidak layak di tempati oleh nenek ini. Aku, Fatimah dan Khadijah melihatnya, mengundang air mata ini sampai bercucuran.
“Han, mending bawa nenek ini ke rumah kita saja. Entar kita ganti-gantian jagain dia, bagaimana?” saran Khadijah sambil membisik di daun telingaku.
“Hemmm, iya juga ya pasti senang juga ada teman lagi makin ramai di rumah heheheh.”
Aku menghampiri nenek itu.
“Nek. Bagaimana nenek mau gak tinggal di rumah kami?” tanyaku.
“Tidak usah nak terima kasih. Nenek tidak mau tinggalin rumah ini karena banyak kenangan nenek bersama kakek.”
Subhanallah, hatiku tersentuh. Nenek ini tetap setia, meskipun kekasihnya sudah tiada. Aku, Khadijah dan Fatimah memeluk nenek itu erat-erat.
Hari makin sore, matahari hampir terbenam sebelah timur, bertanda sebentar lagi waktunya adzan maghrib. Aku dan sahabatku berpamitan kepada nenek tersebut untuk pulang ke rumah. Aku pun berpesan kepada nenek itu, “Nek, jaga kesehatan ya. In Syaa Allah kita bertiga akan kembali kesini untuk menjenguk dan memberi sedikit rezeki untuk nenek!”
***
Keesokan hariya saat mengujungi kampus, aku bertemu Khadijah yang sedang mendorong kursi roda yang di tumpangi oleh Fatimah di depan gerbang kampus. Aku pun menyusul mereka.
Kita bertiga berjalan ke kantin. Kantin tampak lenggang. Wajar saja, karena waktu masih terlalu pagi, sehigga belum banyak orang yang pada kesini. Aku pun memesan makanan dan minuman kesukaan Fatimah dan Khadijah. Sambil menunggu pesanan, aku pun mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas.
"Kalian mau melihat naskah ceramahku tidak?" tanyaku sambil menyodorkan kertas tersebut pada mereka.
Khadijah melihatnya sekilas lalu berkata, "Hana, memang tahapan pertama ta'aruf itu harus saling mengenal dulu, ya? Setahu aku tahapan pertama itu harus menghadapi walinya untuk mengetahui keluarga si calon."
Aku menanggapinya dengan tersenyum, "Memang benar, tetapi yang paling pertama kita harus mengenal calonnya terlebih dahulu dengan cara mengirim sebuah biodata dia kepada kita baru berlanjut mengenal keluarganya.”
Khadijah mengangguk mengerti, "Oh begitu, ya. Baiklah aku sudah selesai baca isi naskah ceramahmu selebihnya sudah bagus."
Dengan penasaran, Fatimah merebut kertas itu dari tangan Khadijah dan langsung membacanya dengan cepat, "Tema yang kamu ambil menarik sekali. Pasti banyak yang penasaran dan antusias mendengar tema itu."
"Terima kasih teman-teman atas masukannya. Aku tinggal berlatih membawakannya
saja." ujarku dengan semangat.
Tak lama Pak Jarwo membawakan mie ayam pesanan kita bertiga. Mie ayam buatan Pak Jarwo sudah tidak di ragukan lagi lezatnya. Satu mangkok saja menurut masih kurang untuk di makan, rasanya bikin ketagihan.
"Tararengkyu neng," ucap Pak Jarwo dengan logat sunda yang masih ketara. "awas
ketagihan! Kalau ketagihan gerobak bapak masih ada disana ya." canda Pak Jarwo.
"Ok, Pak. Kalau bisa gerobak bapak saya beli" canda Fatimah terhadap Pak Jarwo sambil ketawa geli.
"Boleh banget neng! Ya sudah bapak kembali kesana ya, silahkan menikmati."
Pak Jarwo pun meninggalkan kita bertiga. Sangking enaknya masakan Pak Jarwo, mereka sambil mengunyah makanannya dengan lama dan Fatimah pun memuji masakan Pak Jarwo.
"Masakan Pak Jarwo enak bingitssss!!!" kata Fatimah.
"Emang enak namanya juga makanan, ada-ada aja hahahah" kata Khadijah dengan sinis dan sambil menahan tawa.
"Hahahah, lucu banget!!!" bales Fatimah dengan ejekkan.
"Sudah-sudah kalian dari tadi ribut mulu deh. Berisik tahu gak dengerinnya. Jadi aku
yang lagi makan dengar kalian jadi gak nafsu deh, hufffft!" saranku sambil mendamaikan mereka dengan suara yang lantang sambil memukul meja dengan gregetan.
"Ampun bosss jangan marahin kami!" kata Fatimah dan Khadijah dengan ledekkan.
"Heheheh ... Kalian grrr banget deh, uhhhh ..." kataku terkikik.
"Iya udah kabur yuk Fatimah tinggalin Hana disini, lagi pula sudah selesai makannya!” seru Khadijah sambil mengajak Fatimah agar meninggalkanku.
"Allahu jahat ya kalian. Aku belum habis makanannya!!!" seruku sambil teriak dengan ekspresi badmood yang menghiasi wajahku.
“Biarin, yuk lah tinggalin Hana!” ledek Khadijah sambil perlahan-lahan mendorong kursi roda yang di tumpangi Fatimah dan meninggalkanku..
Aku pun lari begitu cepat untuk menyusul mereka berdua yang sudah sangat jauh dariku.

Indahnya Persahabatan Menuju Cinta (SEDANG DI REVISI).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang