Bab 13 - Menggapai Surga Bersamamu

141 8 0
                                    

Keesokan harinya, hari yang di nanti-nantikan telah tiba. Hari yang dimana aku dan dia bersatu, hari dimana aku dan dia melepas lanjang, dan hari dimana ayah, mama, ummi dan abi melepasku dan dia juga. Terasa waktu sangatlah cepat. Hingga tak terasa pernikahan yang telah di tunggu-tunggu sudah di depan mata.
Jam masih menunjukan pukul 04.00 pagi. Aku beranjak bangun dari tempat tidur dan langsung ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku sempatkan untuk sholat tahajud dan meminta kepada Allah, agar Allah memudahkan acara ini dengan lancar. Sehabis sholat tahajud aku ngaji sebentar sambil menunggu waktunya sholat shubuh.
“Sayang sudah bangun”
Aku mengakhiri baca Al Qur’anku. “Shodaqallahul ‘adzim” sambil menengok seseorang yang berada di depan pintu yang tak lain mama.
“Ya ma, alhamdulillah sudah daritadi”
“Alhamdulillah syukurlah. Sehabis sholat shubuh nanti kamu kedepan ya untuk di make up sama penata riasnya”
“Ya ma”
Adzan pun shubuh berkumandang. Setelah adzan aku segera melaksanakan sholat. Sesudah sholat aku membangunkan Nara dan saudaraku lainnya untuk sholat dan segera mandi karena mereka juga bakalan di make up.
***
Kini, aku duduk didepan meja rias. Menatap pantulan wajahku yang sudah berbalut dengan make up dan cadar yang menghiasi wajahku. Aku melamun sambil membayangkan aku berada di depan dia, rasanya malu sekali.
Mama masuk ke kamar perias bersama tante yang membawa Nara untuk di dandan. Mama menatapku dengan senyuman dan memelukku antara senang dan sedih melihat putrinya kini akan menjadi seorang seorang ibu untuk anak-anaknya nanti dan akan menjadi seorang istri untuk suaminya juga.
“Semoga kamu selalu dalam lindungan Allah, sayang. Semoga kamu menjadi istri yang shalihah buat Michi dan menjadi ibu yang baik untuk anakmu juga ya nak” pesan mama padaku.
Aku hanya bisa terdiam dan menangis terseduh di pelukan mama. Aku bingung karena yang ku rasakan kini bercampur baur antara bahagia atau tidak.
Terdengar suara ketukan pintu di luar. Masuklah Fatimah dan Khadijah yang sedang membawa barang ke dalam kamar.
“Assalamu’alaikum Hana”
“Wa’alaikumussalaam”
“Maa Syaa Allah, Hana cantik banget” gumam Fatimah
“Hihihih kalian bisa aja”
“Barakallahumma fii khair ya Han. Semoga kamu dan Michi bisa menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah”
“Aamiin allahumma aamiin”
“Terus kapan kalian nyusul aku hihihih?” lanjutku.
“In Syaa Allah habis ini Khadijah nyusul kamu nikah Han” ucap Fatimah sambil meledek kembarannya.
“Apaansih Fat? Kamu dulu aja deh jangan aku”
“Aamiinin aja deh heheheh”
“Udah-udah kan kita gak tahu siapa yang bakalan duluan nikah atau kematian yang bakalan datang”
“Hemmm iya ya, kok aku jadi sedih ya”
“Permisi” seseorang masuk kekamar perias, “akad nikah akan segera di mulai, mempelai wanita berserta keluarga di segerekan naik ke dalam mobil”
“Eh?! Terus Nara dan tante bagaimana?” tanyaku.
“Nara sama tante mah gampang entar kesana bareng Raza”
“Terus Fatimah, Khadijah mau bareng sama aku dan yang lainnya kesana?” tanyaku pada mereka.
“Gak usah Han, nanti kami kesana bareng mama dan papah”
“Hemmm gitu, ya udah aku dan lainnya duluan ya assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalaam”
Kami semua naik ke mobil dan segera berangkat menuju gedung yang tak jauh dari rumahku.
Sesampainya di gedung, dari dalam mobil aku langsung terperangah dengan hiasan yang serba putih dibaluti dengan karpet hijau atas pernikahan Hana dan Michi juga bertera di depan halaman gedung, memberikan kesan yang indah seperti di dalam surga.
Pintu mobil dibuka. Ayah segera keluar dan tangannya sudah tergerai siap untuk melayaniku dari luar. Aku pun memegang tangannya yang begitu lembut saat aku pegang dan aku langsung keluar dari mobil di temanin oleh ayah dan mama. Terlihat wajah yang berseri-seri tampak jelas oleh ayah dan mama.
“Jangan gugup ya sayang, ucapkan bismillah dan sebut nama Allah saat berjalan ke dalam gedung dan saat kamu sudah berada di samping Michi,” saran mama yang kubalas dengan anggukan kepala dan senyuman.
Aku bersama ayah dan mama yang sudah berada di samping kanan dan kiriku beriringan menuju ke dalam gedung. Sepanjang perjalanan menuju ke dalam gedung mulutku terucap menyebut nama Allah. Meskipun rasanya kakiku tidak kuat lagi untuk berjalan karena bergetar dan terasa lemas, juga dengan jantungku berdebar kencang dan hatiku juga bersimpuh malu. Aku menghela nafasku karena kegugupanku yang menyerpa pada diriku.
Kusapu ruangan gedung yang cukup megah itu dengan perasaan tak menentu, mataku melirik puluhan tamu undangan yang sedang duduk dengan rapih di atas karpet gedung. Kedatanganku disambut dengan ucapan hamdallah dari semua orang yang membuatku tersenyum tipis di balik cadarku.
Hatiku bercampur baur dengan rasa gugup, cemas, khawatir dan deg-degan. Aku masih tidak menyangka, sahabat masa kecilku kini akan menjadi imamku. Dia akan menjagaku, membimbingku dan bersamaku sampai ke surga.
Salah satu keluarga Michi menyampaikan sambutan. Setelah sambutan, acara akad pun di mulai.
“Bismillahirrahmanirrahim,” suara lantang ayah kudengar. Pandanganku kini beralih kepadanya yang sedang menjabat tangan Michi.
“Saya nikahkan dan kawinkan, Abdurahman Michi bin Yusuf Takeshi dengan putri saya, Hana Nur Hidayah binti Firdaus Attallah dengan mas kawin seperangkat surah Ar Rahman dan cincin emas, di bayar tunai”
“Saya terima nikah dan kawinnya, Hana Nur Hidayah binti Firdaus Attallah dengan mas kawin disebut di bayar tunai” ucap Michi dengan mantap.
“Bagaimana para saksi?”
“SAH!”
“Tidak SAH” terdengar suara seseorang yang beramai-ramai di depan pintu gedung menuju kedalam gedung. Aku melihat Rio bersama Syifa dan ganknya.
“Ya Allah kenapa mereka datang” ucapku dalam hati dan membuat hatiku gelisah.
Tak lama Raza datang dan yang lainnya untuk mengusir mereka semua. Namun, hasilnya nihil dan membuat emosi Raza tak terkendali. Raza menghajar mereka semua. Aku dan lainnya menghampiri Raza untuk mengheningkan suasana yang terjadi.
“Raza sabar nak!” seru tante Aisyah untuk menenangkan suasananya.
“Bagimana gak sabar, mereka ingin hancurin acara pernikahan tetehku jelas aku marah”
“Ya ma, aku tahu kok rencana mereka semua jauh hari untuk menghancuri acara teteh” lanjut Nara.
“Ya sudah-sudah kalian bisakan jangan ribut lagi” lanjut om Juna dengan suara lantang kepada mereka semua.
Tante Aisyah pun membawa Raza ke dalam gedung. Namun, Om Juna dan Satpam membawa mereka ke kantor polisi. Hati kami yang tadinya hancur kini sudah kembali legah. Ucap ijab qabul yang tadinya gagal pun di ulang kembali.
“Bagaimana para saksi?”
“SAH!”
“SAH!” seru kami semua serentak.
“Alhamdulillah” ucap semua orang.
Kemudian ayah membacakan do’a setelahnya. Dan kini aku dan Michi resmi menjadi suami istri. Aku di temani mama menuju depan tepat Michi ijab qabul.
Kini acara menukar cincin. Michi mengambil satu cincin yang berada di tangan umminya untuk memasangkan cincin itu ketanganku. Ketika Michi ingin memasangkan cincin itu kepadaku, aku bersipuh malu sambil menundukan pandanganku. Tanganku terasa kaku. Selama hidupku aku belum sama sekali memegang seseorang yang bukan mahramku mungkin penyebabnya dari sini, sehingga memegang tangan Michi saja aku tak berani yang sudah jelas dia sudah halal bagiku. Michi pun tersipuh malu melihatku juga malu.
“Bismillah” ucapku dalam hati. Kedua kalinya tetap saja aku masih tidak berani menyentuh tangannya.
“Ya Allah mudahkan semua ini” ucapku lagi dalam hati.
Seisi tamu diruangan ini ikut tertawa melihat reaksiku dan Michi yang sama-sama malu. Aku dan Michi memberanikan diri dengan mengucapkan ‘Bismillah’ dan Alhamdulillah berhasil. Kini aku yang memasang cincin ke tangan suamiku dengan malu-malu aku sambil melirik sedikit padanganku ke Michi. Aku melihat Michi tersenyum manis. Aku usahakan untuk memberanikan diri untuk memakaikan cincin ini ke tangannya.
Alhamdulillah semua telah usai. Kini Michi memegang kepalaku dan berdo’a. Setelah berdo’a Michi langsung mencium keningku penuh dengan kehangatan.
***
Acara ini sangat meriah dengan banyak orang-orang yang para berdatangan ke acara pernikahanku dan Michi ini. Hingga tak terasa hari sudah malam. Seusai acara ini selesai aku, Michi dan yang lain memutuskan untuk pulang buat istirahat. Aku melepas baju pengantinku dan segera ke kamar mandi untuk membasuh mukaku yang masih berbalut make up.
Hari ini cukup melelahkan bagiku dan Michi rasanya kepala kami terasa pusing. Kini kami berdua sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Sebelum tidur kami semua berbincang sebentar masalah tempat tinggal aku dan Michi.
“Alhamdulillah acara hari ini lancar walaupun ada kendala sedikit masalah yang tadi” ucap Abi.
“Alhamdulillah”
“Ngomong-ngomong untuk tempat tinggal, Hana dan Michi sementara tinggal di rumah ini dulu”
“Afwan masalah tempat tinggal saya sudah mencarinya. Dan kami berdua secepatnya akan pindah kesana”
“Alhamdulillah kalau sudah ada. Kapan kalian tinggal disana dan tempatnya dimana?” tanya ayahku kepada Michi.
“Tempatnya tidak jauh dari sini kok Ayah”
“Syukurlah. Hemmm ya udah lebih baik kita istirahat” gumam mama.
Akhirnya kami semua masuk ke kamar untuk istirahat. Namun, kini terasa beda. Yang biasanya aku tidur selalu bersama Nara, kini aku sekarang tidur satu ranjang dengan Michi.
Rasa kantukku sudah terasa. Namun, aku tak ingin tidur karena masih malu-malu dengan Michi yang padahal ia sudah menjadi suami SAH ku dengan cara aku mengatur jarakku dengannya dan mengalihkan pandanganku didepannya.
Pikiranku campur raduk tak menentu. Tiba-tiba ada seseorang yang mendekatiku dan langsung memelukku dari belakang.
“Astagfirullahal’adzim, jangan sentuh aku,” teriakku kencang.
“Kamu kenapa sayang?” tanya Michi sambil tertawa melihat tingkah laku ku yang lucu.
“Eh?! Kok sayang” tanyaku kaget.
“Maunya apa panggilnya? Ummi atau humairah?” tanya Michi lagi sambil tersenyum.
“Hemmm”
“Kamu dari dulu belum berubah ya masih terlihat lucu.”
“Hana, kini kamu sudah menjadi milikku. Kamu juga sudah menjadi bidadariku. Jadi kamu gak usah khawatir dan takut kalau suamimu ini memelukmu dan menciummu karena kita sudah SAH menjadi suami istri” tambah Michi lagi.
“Hemmm”
“Ya udah pasti kamu kecapean ya sayang, lebih baik kamu istirahat. Aku temanin kamu sampai tidur”
Aku menuruti omongan Michi dan segera beranjak ke ranjang tidur untuk istirahat. Michi yang terlihat kecapean juga membela dirinya untuk tidak tidur sebelum istrinya tidur pulas.
***
Terdengar suara seseorang yang berbisik di telingaku. “Sayang, ayo bangun kita sholat tahajud yuk”
Aku melihat Michi yang sudah bersiap untuk sholat tahajud. Aku pun beranjak dari tempat tidurku dan segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Kami berdua melaksanakan sholat tahajud berjama’ah. Yang biasanya aku sholat tahajud sendiri, kini aku bisa sholat berjama’ah yang di pimpin oleh imam yang begitu shalih yang aku harapkan dari dulu yang kini menjadi pendamping hidupku.
Seusai sholat aku mencium tangan suamiku dan suamiku mencium keningku. Sambil menunggu sholat shubuh Michi ingin sekali tahu aku membaca Al Qur’an, aku pun membacanya. Banyak kesalahan pada diriku saat membaca Al Qur’an. Namun, Michi sabar mengajariku.
Aku sangat bersyukur bisa memiliki suami yang penyabar seperti dia. Teman masa kecil yang kini menjadi suamiku, aku berharap bisa bersamanya sampai surga. Inilah namanya Persahabatan Menuju Cinta yang berunjung pernikahan yang engkau ridhoi tanpa hubungan yang engkau tidak ridhoi.

= TAMAT =

Indahnya Persahabatan Menuju Cinta (SEDANG DI REVISI).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang