Bab 5 - Cantikmu Terlihat Pada Akhlakmu.

1K 51 9
                                    

Suasana hening di sebuah kelas, aku bersama kedua sahabatku sambil mengerjakan tugas skripsi yang masih kita kejar. Kelas yang masih sepi, karena masih menunjukan jam 7 pagi dan kita masuk jam 9 pagi. Terdengar suara langkah yang sedang menuju kelas, namun langkah kaki ini terlalu berisik dan membuat kita yang sedang mengerjakan tugas terganggu.
“Eh, kalian tahu namanya Hana, Hana itu lho. Dia ada gak disini?” tanya seorang
wanita yang tiba-tiba masuk tanpa mengucap salam dan menyebut namaku.
“Hemmm, wa’alaikumussalaam. Maaf, saya sendiri dan anda siapa ya? Dan ada apa?”
“Nama gue Asifa. Oh iya, ngomong-ngomong lho lagi dekat ya sama si Michi. Btw, gua gak suka aja lho dekat sama dia.”
Fatimah yang mendengar perkataan wanita itu mulai kesal. Amarahnya mulai melontar sambil menempuk tangannya di atas meja dengan sangat keras.
“Eh, maksud lho apa hah? Datang-datang udah ajak ribut. Di tambah lho gak ucapin salam dulu mau masuk ruangan ini.  Bisakan lho sebelum kesini ucapin salam dulu, jangan langsung grasak grusuk kayak gini, gak punya etika amat!!!”
“Pokoknya gua gak usah Hana dekat sama Michi titik dan Michi itu milik gue!”
Dalam hati berbicara, “Mungkin wanita ini suka sama Michi makanya seperti ini!”
“Hana bukannya dekat lagi, tapi Hana sebentar lagi menikah sama Michi dan Hana itu calon istrinya Michi, puas lho!”
“Apa? Gak mungkin! Pokoknya batalin acaranya!” seru Asifa kaget dan histeris saat Fatimah menjelaskan hubungan Michi denganku.
“Eh gak bisa, Hana udah milik Michi, enak aja lho bilang batalin aja. Gak usah atur urusan orang lho. Kalau lho kesini cuman mau ajak ribut, sinilah ribut sama gue!!! ucap Fatimah yang masih dalam keadaan marah
“Lihat aja nanti, gue bakalan hancurin pernikahan lho Hana. Yuk lah gank kita pergi dari sini!”
Aku dan Khadijah membujuk Fatimah yang masih dalam keadaan marah dangan nafasnya yang masih terengah-engah.
“Sudah Fatimah, istighfar. Ingatkan hadist ini, ‘Janganlah kau marah bagimu surga.’ Allah menyukai orang yang sabar. Tolong, tahan amarahmu, Fat!”
“Gila tuh orang, maunya apasih!!!”
“Udah gak apa-apa Fat” bujukku sambil tersenyum.
“Ya Han, astagfirullah, maaf. Makasih ya Han, Djah!”
“Ya sama-sama. Yuk kita jalan-jalan dulu cari udara biar nanti kerjain tugas gak pusing” bujuk Khadijah.
Kami pun keluar dari ruangan kelas dan mencari tempat untuk mencari udara segar, sekaligus melegahkan hati Fatimah dulu. Kami memilih kantin sebagai tempatnya, sekaligus memesan minuman. Aku mengeluarkan laptopku dari tas dan melanjutkan tugas yang belum kelar sambil menunggu minuman itu datang.
Minuman yang kita pesan ialah bikinan Ibu Aminah, yang rasanya begitu enak dan segar dan Ibu Aminah ini orangnya ramah dan baik. Ibu Aminah berjalan menuju tempat kita duduk, sambil membawa minuman kita.
“Ini sayang, minumannya sudah datang. Ngomong-ngomong kalian sedang apa?” tanya Ibu Amaniah sambil tersenyum ramah.
“Kami lagi kerjain tugas skripsi nih, bu!”
“Wahhh, rajin banget kesayangan Ibu. Semangat ya nak! Dan gak kerasa, sebentar lagi kalian serjana. Semoga kalian bisa mendapat nilai yang memuaskan ya.” menghiburnya dengan penuh kehangatan. Ibu Aminah ini, sudah menganggap kami bertiga sebagai anaknya sendiri.
“Aamiin Allahumma Aamiin, makasih ya bu.” sorak kami bertiga.
“Sama-sama sayang. Ibu tinggal dulu ya.”
“Iya bu.”
Kami mengerjakan tugas sambil menikmati minuman segar sebagai cara untuk mentenangkan hati, agar tidak terburu-buru saat mengerjakannya.
Tangan dan badan pun mulai pegel tak beraturan. Aku mengulurkan tanganku untuk melihat jam, yang ternyata sudah pukul 08.30. Tidak terasa sudah jam segitu. Kami akhiri tugas kami dan menaruh leptop ini ke dalam tas. Kami berdiri dan langsung berjalan menuju ruang kelas. Di tengah perjalanan, aku dan kedua sahabatku bertemu dengan Michi. Raut wajah Fatimah dengan tawa kecil seakan ia ingin meledekku.
“Assalamu’alaikum …” ucap salam Michi.
“Wa’alaikumussalaam” jawab salam kita bertiga.
“Kalian mau kemana?” tanya Michi sambil tersenyum.
“Kita bertiga mau balik ke kelas dan sebentar lagi mau masuk.” jawab Fatimah.
“Oh ya sudah, kalian masuk duluan. Kemungkinan saya nanti masuk sedikit lebih cepat bukan jam 9, soalnya nanti saya ada keperluan dan kemungkinan saya pulang cepat. Nanti saya masuk ingin kasih pengumuman kepada kalian saja.”
“Ya pak, kita bertiga permisi dulu, assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalaam”
***
Pada jam kuliah, Michi membicarakan pengumuman yang ternyata pengumuman ini menjelaskan ‘terakhir menyelesaikan skripsi awal bulan’. Waktu yang semakin sedikit untuk mengerjakan tugas skripsi, membuat seisi ruangan syok berat. Aku dan Khadijah yang sebentar lagi selesai, namun tidak dengan Fatimah dan yang lainnya mereka masih banyak untuk mengerjakan skripsi ini.
“Han, bagaimana ini!” keluh Fatimah gelisah kepadaku.
“Tenang, pasti kamu bisa selesai dengan waktu yang pas!”
“Tapi bagaimana caranya?”
“Kita berdua pasti bantu kamu kok, bismillah”
“Makasih ya”
“Ya sama-sama, nanti pas pulang kita mampir ke perpustakaan yuk sambil kerjain tugas skripsi!”
“Yuk”
Tidak lama Michi keluar dari kelas bertanda jam kuliah sudah selesai. Aku dan sahabatku ke perpustakaan untuk mencari bahan materi untuk skripsi.
Setelah memilih beberapa buku, kita bertiga segera duduk dan mulai membaca buku-buku itu dengan serius hingga tak terasa jam menunjukkan pukul 1 siang. Kami akhiri dan kami langsung pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat dzuhur. Di jalan kami sambil  berbincang untuk menuju masjid.
“Han, tanggal pernikahan kamu jadinya kapan?” tanya Khadijah kepadaku.
“Tanggal 25 bulan ini, Djah!”
“Wah gak terasa ya sekarang diantara kita udah yang gak jomblo lagi” ucap Fatimah seperti biasa berniat menggodaku
“Persahabatan kita juga tidak terasa sudah hampir 7 tahun”
“Masa sih? Perasaan baru kemaren aku kenalan sama kalian” gumam Fatimah.
“Perasaan baru kemaren kita ngobrol malu-malu dan sekarang ngobrolnya gak tahu malu.” tambah Fatimah lagi.
“Iya ya, namun di antara kita yang mau nikah tuh kamu, Han!” seru Khadijah.
“Terus kalian kapan nyusul aku nikah hihihih?” gurauku.
“In Syaa Allah secepatnya, do’ain aja.” jawab Khadijah.
“Do’ain aja, semoga dia peka sama aku dan langsung menghadap orang tuaku!” canda Fatimah.
“Aamiin, boleh kali Fatimah aku geret ke KUA besok?” ledekku ke Fatimah.
“Ya boleh kok, sekalian bawa si dia!”
“Ya, kalau dianya mau! Kalau gak bagaimana?” guruku.
“Udah dulu ngobrolnya, udah sampai masjid yuk kita wudhu!”
“Semoga persahabatan kita ini tetap abadi sampai ke syurga.”
“Aamiin Allahumma Aamiin”
***
Seusai sholat dzuhur, kita bertiga jalan-jalan menyelusuri taman daerah kampus, kami bertiga bertemu dengan ikhwan jurusan ekonomi syariah, di antara mereka satu orangnya itu yang di sukai Fatimah.
“Han, ada dia aku malu nih!”
“Lah kenapa malu? Bukankah Fatimah orangnya gak tahu malu, hahahah” ledekku pada Fatimah.
“Apaansih, Han?”
“Bercanda Fat, tumben ngambek!”
“Terserah kamu ajalah, Han!”
Kita melewati ikhwan-ikhwan tersebut perlahan-lahan, namun di antara mereka hanya 3 orang saja yang menggoda kita bertiga.
“Hey, cewek cantik mau kemana!”
“Afwan permisi gak! Atau kita teriak!” seruku kepada ikhwan tersebut.
“Silahkan saja teriak!”
Fatimah yang daritadi diam saja untuk menahan malunya, kini pun menujukkan aksinya.
“Permisi gak atau gak sini lawan gue!”
Ikhwan-ikhwan ini pun tidak mau minggir, sehingga Fatimah menghajar mereka sampai babak belur.
“Rasain tuh, makanya jangan berani sama gue. Di kirain kalian cewek itu lemah, hah?!”
Ikhwan yang tadi merayu kita akhirnya kabur terbirit-birit. Fatimah melirik laki-laki itu yang ternyata ia melihat kejadian itu. Pipi Fatimah langsung memerah dan tiba-tiba Fatimah kabur meninggalkan kami berdua.
“Tunggu, Fat!” teriak kita berdua dan segera menyusul Fatimah.
Fatimah pun berhenti seakan sudah tidak kuat lagi untuk lari sambil mengeluarkan air mata.
“Fat, kamu kenapa?” tanya Khadijah.
“Gak apa-apa kok!” jawab Fatimah.
“Serius, Fat!”
“Aku malu!”
“Malu kenapa?” tanyaku khawatir.
“Aku malu, kenapa aku seperti ini! Aku bukan wanita lembut, melainkan wanita tomboy. Aku ingin seperti kalian berdua yang lemah lembut! Aku percuma saja memakai pakaian syar’i ini, kalau sikapku seperti ini!”
“Fat, aku takjub sama kamu! Aku dan Khadijah merasa berterima kasih, berkat kamu kita berdua selamat! Ingat tidak kisah shohabiyyah dulu! Mereka juga pemberani seperti kamu yang bisa menjaga diri dengan bela diri! Masalah akhlak, kamu menolong kita pun termasuk sikap terpuji, terima kasih ya!” saranku sambil tersenyum.
“Ya sama-sama, tapi aku malu tadi ada dia pasti dia melihatnya!”
“Misalkan dia melihat, siapa tahu dia bisa berpikir positif sama kamu. Mungkin reaksi kamu itu buat tolongin kita berdua, yakan Han!” seru Khadijah juga sambil tersenyum kepada sahabatnya.
“Jodoh gak bakal kemana Fat, asalkan kamu berdo’a terus semoga dia menjadi pasanganmu yang baik dan bisa membimbingmu dengan iman dan taqwa.” seruku.
“Aamiin allahumma aamiin, makasih ya teman-teman! Kalian adalah sahabat terbaikku.”
“Ya sama-sama, sudah jangan sedih lagi. Yuk kita pulang!”
Di perjalanan tak sengaja aku melihat seorang anak kecil yang ingin menyebrang, namun terlihat ada satu kendaraan mobil yang sedang berlanjur kencang dan hampir berpapasan dengan anak kecil itu. Aku pun berlari kencang untuk menyelamatkan anak kecil itu. Namun, apa yang terjadi padaku! Aku kecelakaan membuat kepalaku terbentur aspal dan berdarah, sehingga aku tak sadarkan diri, tapi alhamdulillah anak itu selamat dari maut ketika aku menolongnya. Yang menabrakku tidak bertanggung jawab, sehingga orang itu langsung pergi begitu saja.
“Hana!!!” teriak histeris Fatimah dan Khadijah melihatku yang sudah tergeletak di aspal dan mereka pun menghampiriku.
Jalanan mengalami kemacetan, karena kecelakaan yang terjadi padaku. Ambulance yang di pesan oleh warga mengangkatku ke dalam mobil dan sahabatku menemaniku masuk juga ke dalam mobil. Fatimah menghubungi orang tuaku bahwa aku mengalami kecelakaan.
****
Aku membuka mataku perlahan sambil mengejapkan mataku karena melihat cahaya. Setelahnya aku melihat sekeliling ruangan.
“Dimana aku? Kemana Fatimah dan yang lainnya?” pikirku dalam hati.
Aku mencoba untuk berbicara, tapi rasanya sangat sulit untuk sekedar mengeluarkan suara. Akhirnya aku mencoba untuk bangun, tapi hasilnya nihil. Kepalaku sangat pusing dan tubuhku juga lemas, lalu ada yang membuka pintu dan itu mama. Mama segera menghampiriku.
“Sayang, kamu sudah sadar?” tanya mama kepadaku.
“(senyum)” jawabku.
Aku memegang kepala dan terasa ada perban yang melilit di kepalaku. Terdengar suara pintu di luar sana. Aku melihat Fatimah dan Khadijah berserta orang tuanya ramai mengujungiku.
“Hana, kamu sudah sadar!” teriak mereka yang tiba-tiba langsung memelukku.
“Hemmm, alhamduliillah”
“Syukurlah. Ini ada buah-buahan buat kamu dari kita semua!”
“Makasih semuanya”
“Ya sama-sama”
“Sayang, makan dulu ya pasti kamu laparkan?” kata mama sambil menyondorkan makanan kedalam mulutku.
“Oh ya Han, Michi belum datang kemari?” tanya Fatimah.
“(menggeleng)” jawabku seakan tidak tahu.
“Michi dan keluarganya sudah kemari tadi shubuh dan Michi mengirim sepucuk surat buat kamu, nak! Michi berpesan katanya terima kasih sudah menolong ponakannya!” seru mama sambil mengasih sebuah surat dari Michi kepadaku.
Aku membacanya. Surat itu berisi, “Syafakillah, calon bidadariku. Maaf saya mulai membuat surat padamu. Semoga pahalamu berlimpah dan dosamu terampunkan sudah menolong anak kecil yang tak lain ialah ponakanku. Ponakanku menceritakan semua kejadian itu kepadaku.”
Ketikaku sudah membaca, aku terkejut dan ternyata anak itu ialah ponakan Michi. Dalam hatiku tersenyum sendiri ketika Michi menyebutku, “Calon bidadariku …” hanya saja belum menyebutku, “Wahai bidadariku …” aku berharap itu akan terjadi saat aku sudah halal bersamanya.
***
Di sore hari di sebuah taman penuh dengan bunga di pojok rumah sakit, aku menghirup udara terbayang surga berada di depanku. Di taman aku di temani oleh mama.
“Kakak!!!” terdengar suara anak kecil yang teriak kepadaku. Aku pun menengok ternyata anak kecil yang pada saat itu aku tolongin bersama Michi dan keluarganya.
Anak kecil itu langsung memelukku secara tiba-tiba.
“Kakak makasih ya pas itu udah tolong aku. Maafin aku juga gara-gara aku kakak jadi sakit!”
“Hihihih, ya sayang gak apa-apa kok.” kataku tersenyum kepada anak kecil itu.
“Kakak baik banget. Boleh gak aku manggil kakak sebutan ibu peri?” tanya anak kecil itu sambil manja kepadaku.
“Hihihih, bisa aja kamu dek. Boleh banget silahkan sayang!” jawabku sambil tersenyum dan memeluknya.
“Oh ya nak, mama sama keluarga Michi pengen pergi sebentar. Kamu sama Michi dan ponakannya disini dulu ya!”
“Ya Ma!”
“Ibu peri, om sini main bareng” ajak anak kecil itu.
“Ya dek, nanti om sama kak Hana nyusul. Hati-hati ya mainnya.” kata Michi.
Entah kenapa aku membayangkan anak kecil itu seperti anakku sendiri ketika bersama Michi, dalam hati kecil terasa ingin secepatnya mempunyai anak sendiri.
“Assalamu’alaikum ...”
“Wa-wa’alaikumussalaam”
“Apa kabar? Bagaimana keadaanmu saat ini?” tanya Michi kepadaku.
“Alhamdulillah sudah membaik”
“Alhamdulillah, syukurlah. Sekali lagi saya berterima kasih, karena kamu sudah menolong ponakan saya.”
“Hemmm, ya sama-sama itu sudah kewajibanku menolong sesama manusia.”
“Ngomong-ngomong, kita jarangkan bisa ngobrol berdua seperti ini?” tanya Michi tiba-tiba membuatku berpikir.
“Eh iya juga ya”
“Saya penasaran akan satu hal tentang kamu, boleh saya betanya?”
“Hah? Tanya apa?” jawabku salah tingkah
“Apa alasan kamu menerima saya waktu itu?”
Deg … Aku sangat bingung akan memberi jawaban apa padanya, namun saat aku membuka mulutku untuk menjawab pertanyaannya, mataku terpaku pada ponakan Michi yang terjatuh saat berlari menghampiriku dan Michi. Reflek aku bangun dari kursi roda untuk menolongnya, tetapi tubuhku masih sangat lemah sehingga aku terjatuh dan Michi menahan tubuhku. Aku terkejut, setelah itu tatapan kita berdua saling bertemu beberapa detik sebelum akhirnya ada yang berteriak.
“Astagfirullah, aduh maaf ganggu ya!!” teriak Ummi yang langsung pergi menjauh setelah menolong keponakan Michi.
Michi yang juga terkejut segera kembali mendudukkanku dikursi roda dan kita berdua pun sama-sama salah tingkah. Dan akhirnya Michi pun membawaku ke dalam rumah sakit tanpa berbicara apapun.

Indahnya Persahabatan Menuju Cinta (SEDANG DI REVISI).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang