Bab 10 - Ali dan Fatimah?

97 6 0
                                    

Jam baru menunjukkan pukul sembilan malam saat aku telah menyelesaikan tugas skripsiku. Namun, rasa kantuk belum aku rasakan. Ku amati satu per-satu koleksi bukuku yang tersusun rapih di rak sebelah kanan ruangan. Kulihat buku yang berjudul Cinta Dalam Diam Seperti Ali dan Fatimah?!
Aku pun membaca buku yang ku ambil dari rak bukuku. Buku ini mengingatkanku sebelum aku bertemu dengan Michi, walaupun beberapa tahun kami berpisah di beda Negara. Ketika kami berdua bertemu kembali, aku mencintainya dalam diam tanpa harus bilang ke orang lain bahwa aku suka padanya. Takdir Allah itu nyata, baru saja bertemu.. Dia langsung mengajakku ta’aruf. Namun, waktu terasa cepat. Tidak terasa aku dan dirinya akan segera menikah.
Kejadian itu membuatku tersenyum sendiri. Kejadian saat pertama kali bertemu, Michi menatapku dengan tatapan yang hangat dan membuatku malu. Maa Syaa Allah, mengapa tiba-tiba aku merindukan Michi. Padahal sebentar lagi kami berdua akan menjadi suami istri dan tinggal bersama.
Karena waktu sudah larut malam. Aku mengakhiri baca buku ku dan segera ke kamar mandi untuk wudhu, sholat sunnah, membaca surah Al Mulk dan segera tidur.
***
Keesokkan harinya, aku dan lainnya berniat untuk menyebar undangan sesuai dengan list nama yang kita undang.
“Hana, hari ini jadi gak anter undangan?” ujar mama dan tante padaku.
“Ya jadi, tunggu sebentar aku lagi siap-siap”
“Ok, kami semua tunggu di ruang tamu ya nak?”
“Iy
Hari ini aku mengenakan baju serba hitam dan di balut cadar seperti biasa sebagai perhiasan untuk menutup wajahku. Tanpa waktu lama aku segera menyusul mereka dan  langsung berangkat menuju komplek daerahku.
Baru saja aku dan keluargaku keluar dari rumah. Aku bertemu dengan Michi dan keluarganya yang bersamaaan juga menyebar undangan di kompleknya.
Satu per-satu undangan kami kasih dan tetangga mendo’akan pernikahanku dan Michi lancar dan sakinah mawadah warahmah.
Tidak terasa aku dan Michi sebentar lagi menikah dan kami berdua akan segera menjadi suami istri. Sudah terbayang juga rasanya olehku saat di depannya dan di depan orang banyak sebagai pengantin, rasanya malu sekali.
Sehabis dari kamar aku menuju dapur. Aku melihat Nara, Tante Aisyah, mama dan ummi di dapur.
Mereka sedang menyiapkan makan siang untuk kami semua sehabis pulang dari menyebar undangan tadi. Kami semua berkumpul dan mengobrol untuk persiapan pernikahanku dan Michi.
***
Di siang hari aku berniat untuk ke tempat kuliah dan ke rumah si kembar untuk mengantar undangan dan mengumpulkan hasil skripsi. Namun, di rumahku sedang banyak orang berkumpul dan ponakanku yang masih kecil tidak mau di tinggal aku. Mereka menarik terus baju gamisku untuk di ajak main. Sudah beberapa jam aku mengajak main mereka.
“Ummah mau kemana?” ucap mereka serentak.
“Ummah, pengen ke tempat kuliah dulu sebentar ya dek. Mainnya nanti aja habis ummah paling dari tempat kuliah, tidak lama kok”
“Gak boeh! Ummah dicini aja main cama kita aja” seru Fahmi.
“Tapi Ummah udah di tunggu guru Ummah, sayang. Ummah kesana sebentar kok nanti main lagi ya”
“Benar ya Ummah”
“Ya sayangku semua, maafin Ummah ya”
“Ya udah deh”
“Semuanya, aku minta izin ke tempat kuliah untuk mengantar undangan dan mengumpulkan skripsi, sekalian ke rumah temanku”
“Kesananya sama siapa nak?” tanya Ayah.
“Sendiri aja Ayah gak apa-apa kok”
“Michi, Abi minta tolong anterin Hana ke tempat kuliahnya”
“Gak usah Abi, aku bisa kesana sendiri”
“Udah gak apa-apa, kalau ada apa-apa sama kamu Michi bisa melindungimu”
“Teh, Nara ikut ya”
“Hemmm ya udah”
Aku hanya terpaksa mengikuti Abinya Michi. Akhirnya Michi mengantarku ke tempat kuliah. Aku terpiku malu berduaan di depan bersama Michi dan sedangkan Nara di belakangku.
“Cieee pengantin baru berduaan aja”
“Hihihih, terus Nara kapan nyusul kita berdua?”  tanya Michi sambil meledek.
“Secepatnya kak, semoga aku dan V BTS di pertemukan di ikatan yang hal-”
“Terus kakak senior yang pas kamu ketempat kuliah teteh jadi gak?” tanyaku memotong omongan Nara.
“Kalau bisa dua-duanya teh heheheh”
“Misalkan V BTS menikah dulu bagaimana?” tanyaku lagi.
“Ihhh, V BTS mah setia sama aku teh mana mungkin dia mau duain aku. Pastinya dia bakalan tunggu aku sampai lulus kuliah!” seru Nara.
“Keburu tua nanti V BTS nya”
“Walaupun umurnya tua, tapi tetap ganteng kan Naranya juga cantik”
“Iya deh terserah kamu aja dek” gumamku yang mulai menyerah.
“Suka-suka aku lah teh, menghayal siapa tahu kenyataan”
“Afwan, V BTS itu siapa?” tanya Michi heran sambil menahan tawa.
“Calon suami aku kak, do’ain ya”
“V BTS itu boyband korea, Michi!” seruku.
“Maa Syaa Allah, ada-ada aja kamu Nara”
***
Di mobil kami bertiga berbincang sampai Michi tertawa melihat tingkah lucu sepupuku dan aku yang sedang bertengkar kecil. Tidak terasa sudah sampai juga kampus. Aku dan Nara keluar terlebih dahulu dan sedangkan Michi memakirkan mobilnya di parkiran. Aku dan Nara duluan untuk ke ruang kantor tempat dosen-dosen berada.
“Assalamu’alaikum …”
“Wa’alaikumussalaam”
“Afwan pak, bu saya dan Michi membawakan undangan buat kalian semua. Saya dan Michi mohon do’a semoga acara kami di lancarkan”
“Aamiin Allahumma Aamiin” jawab mereka serentak.
“Maaf nak, di sebelahmu siapa?” tanya pak Agus.
“Oh ini sepupu saya masih SMA namanya Nara”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalaam”
“Afwan saya barusan habis parkirkan mobil”
“Ya tidak apa-apa”
“Kami semua ucapkan barakallah fii umrik buat kalian berdua. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah”
“Aamiin Allahumma Aamiin”
Michi langsung milirik pandangannya kepadaku dan aku pun membalas lirikannya dengan malu.
***
Kami bertiga sehabis berbincang di kantor masalah pernikahanku dan Michi. Saat di jalan aku melihat semua gank yang pada saat itu mengancamku. Mereka menatapku dengan wajah sinis dan kusamnya. Nara langsung melirik wajahku yang sedikit menunduk karena ketakutan.
“Kalian berdua mau sarapan?” tanya Michi tiba-tiba.
“Mau kak”
Aku menyenggol tangan Nara sedikit. “Dek, sopan dikit kenapa?”
“Emangnya kenapa sih teh?! Aku mah gak nolak ya kalau ada yang ngajakin aku makan kemana pun”
“Afwan gak usah repot-repot, Michi”
“Apaansih teh kok di tolak?! Mumpung lagi ada kesempatan di jajanin kakak ipar”
“Hihihih, udah gak apa-apa tidak usah di tolak.”
“Horeee, makasih kak”
Aku hanya bisa pasrah melihat kelakuan sepupuku yang membuat orang jengkel. Akhirnya kami bertiga mampir untuk sarapan di kantin sebelum pulang.
“Kalian mau pesan apa?” tanya Michi kepada kita berdua.
“Aku Mie Ayam aja sama Ice Cappucino”
“Kalau Hana?”
“Hemmm, saya ikutin Nara saja”
“Ya udah tunggu sebentar saya kesana dulu”
Sehabis memesan, kami bertiga menunggu pesanan itu datang.
“Punten, pesenannya sudah datang”
Saat aku melirik ternyata Pak Jarwo. Aku sudah menganggap Pak Jarwo ini orang tuaku sendiri.
Aku mencium tangan Pak Jarwo. “Maa Syaa Allah pak, apa kabar?”
“Alhamdulillah bapak sehat aja. Neng Hana sendiri sehat henteu?”
“Alhamdulillah baik juga pak”
“Alhamdulillah. Neng Hana teh sama Mas Michi sebentar lagi nikah ya?” tanya Pak Jarwo lagi.
“In Syaa Allah pak, mohon do’anya”
“Aamiin semoga nikahnya lancar dan semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah”
“Aamiin allahumma aamiin”
“Bapak dan yang lainnya di kantin boleh datang ke acara nikahan kami berdua. Afwan sebelumnya kami berdua lupa bawa undangannya”
“Teu sawios neng. Ya nanti bapak kesana. Oh ya bapak balik kesana dulu ya ada, layanin yang beli dulu”
“Ya pak”
“Mie ayam Pak Jarwo ini tidak kalah enaknya dengan mie ayam lainnya”
Sehabis kami selesai makan, kami pun memutuskan untuk ke rumah si kembar untuk mengantarkan undangan.
***
Perjalanan menuju rumah sikembar tidak terlalu jauh dari kampus, namun Nara tertidur sedari tadi dan aku segera membangunkannya karena kita sudah sampai.
“Nara, bangun yuk. Kita udah sampai rumah kakak kembar nih”
“Eughhh.. udah sampe ya teh? Ya udah ayo keluar”
“Assalamu’alaikum” salam Michi sambil menekan bel rumah si kembar dan tidak lama kemudian seseorang membukakan pintunya.
“Wa’alaikumussalaam, siapa? Eh Michi, Hana ada apa ya?” orang tersebut ialah Khadijah yang keluar dengan celemek yang menempel pada tubuhnya menandakan ia sedang memasak.
“Hemmm, begini Khadijah kita kemari ingin memberikan undangan pernikahan saya dan juga Hana.”
“Oh begitu ya, masuk dulu aja”
“Hemmm, maafkan kami semua, tapi hari sudah sore dan kita harus segera kembali kerumah, jadi kita mau langsung pulang saja”
“Oh begitu ya, ya sudah terima kasih lho sudah mengantarkan undangannya kesini, ramai-ramai lagi hihihih”
“Iya sama-sama, kalau begitu kami permisi, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalaam”
Kami memang disuruh oleh abi dan umminya Michi untuk pulang karena masih banyak hal yang harus dibicarakan. Akhirnya kami kembali ke mobil. Namun, saat hendak membuka pintu mobil Nara memanggilku.
“Teh”
“Kenapa Ra?”
“Itu hemmm, bagaimana ya ngomongnya”
“Apaansih Nar, biasanya juga langsung ngomong”
“Hemmm, Nara pengen main sama temen Nara boleh?”
“Temen dimana? Kamu punya temen di Jakarta?”
“Sebenernya itu temen baru Nara, yang waktu itu bantuin Nara pas nyasar di mall teh”
“Oh, rumahnya deket sini?”
“Gak tahu sih, tapi dia ngajakin ke caffe yang waktu itu teh, boleh gak?”
“Temennya cewek atau cowok?”
“Cewek sama cowok teh”
“Duh bagaimana ya? Teteh takutnya pas pulang kamu nyasar lagi dan akhirnya Raza marah sama teteh dan Michi lagi”
“Gak akan kok teh, Nara udah bilang sama papa dan abang terus nanti pulangnya minta dijemput sama abang aja”
“Beneran udah bilang?”
“Bener nih lihat aja chat aku sama papa dan abang” ucap Nara sambil menujukkan hasil chatannya dia sama papa dan abangnya.
Aku pun melihat chat Nara dengan papa dan abangnya dan ternyata Nara memang sudah minta izin dan diizinkan juga oleh papanya, jadi aku tidak bisa melarang Nara dan akhirnya mengiyakan permintaannya lalu berbicara pada Michi.
“Ya udah deh. Michi nanti kita ke mall dulu ya nganter Nara ketemu temennya”
“Dia punya teman?”
“Katanya sih yang waktu itu nolong dia pas nyasar di mall”
“Oh ya sudah kalau begitu kita antar Nara dulu”
Sampai di mall aku dan Michi ikut bersama Nara sampai ia menemukan temannya itu. Aku melihat ekspresi bahagia diwajah Nara sekarang, membuatku menjadi penasaran seperti apa temannya itu hingga membuatnya bersemangat seperti itu. Sekarang kita bertiga berjalan seperti satu keluarga yang bahagia dengan Nara yang sedang berjalan sambil melompat-lompat sebagai putriku dan Michi.
“Mana sih teh caffenya kok gak ketemu daritadi?”
“Gak tahu deh, teteh juga lupa. Michi masih ingat tidak?”
“Kalau tidak salah caffe yang itu” jawabnya sambil menunjuk kesatu caffe membuatku dan Nara melihat kearah sana.
“Oh iya bener, itu temen Nara. Dadah teteh sama kak Michi” katanya dan langsung berlari kearah dua orang yang sedang berbincang diluar caffe. Saat aku melihat dua orang itu aku terkejut karena penampilan mereka. Satu perempuan yang memakai celana jeans dan atasan tanpa lengan, sedangkan laki-lakinya menggunakan jeans sobek-sobek dengan atasan kaos hitam ditambah dengan anting yang terpasang ditelinga sebelah kanannya.
“Hana, apa benar mereka teman Nara? Kalau memang benar, Nara harus diawasi dan jangan sampai masuk kepergaulan mereka apalagi dia masih remaja dan masih labil juga”
“Benar Michi, aku juga takut Nara terjerumus, tapi kalau sekarang aku melarangnya dan mengajaknya pulang, dia pasti menolak dan akan marah padaku”
“Bagaimana kalau kamu hubungi kakaknya saja yang waktu itu?!”
“Benar juga, sebentar biar aku telepon dulu” aku segera mengambil ponsel di tasku dan segera menelepon Raza
“Assalamu’alaikum Za?”
“Wa’alaikumsalam, ada apa?”
“Kamu bisa susulin Nara ke mall gak?”
“Memangnya kenapa? Dia kan lagi main”
“Teteh rasa teman barunya ini tidak baik untuk pergaulannya”
“Maksudnya?”
“Teman-temannya ini memakai pakaian seperti preman dan terbuka, bagaimana jika Nara ikut terjerumus dalam pergaulan mereka Za?” tanyaku khawatir bercampur kesal karena sedari tadi Raza menjawabku dengan dingin sekali.
“Nara sudah dewasa dan Raza percaya dia bisa membedakan yang baik dan buruk buat dirinya sendiri teh”
“Tapi Za, bagaimana kalau Nara diajakin ketempat yang gak bener?”
“Gak mungkinlah teh, mereka juga tahu Nara tuh pakai hijab. Lagian gak semua orang yang berpakaian kayak preman dan berpakaian seksi itu gak bener lho teh. Jadi kita mikirnya yang positif aja oke?”
“Mungkin kamu benar, teteh terlalu khawatir pada Nara hingga teteh su’udzon begini. Ya sudah teteh sebentar lagi pulang dan kamu jangan lupa nanti jemput Nara ya?”
“Iya siap”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” aku pun menutup teleponnya dan meyakinkan Michi mengenai teman-teman Nara. Namun ia masih saja mengkhawatirkan Nara dan bahkan berencana untuk membuntuti mereka, membuatku melotot dengan rencananya itu.
“Ayo Michi kita pulang saja, ingat tidak ummi dan abimu menyuruh kita untuk cepat-cepat pulang?”
“Astagfirullah, maaf Hana aku terlalu mengkhawatirkan adikmu itu. Kalau begitu ayo kita pulang saja”
Aku dan Michi pun kembali ke parkiran dan menuju mobil. Diperjalanan sangat sepi, tidak ada diantara kami yang membuka obrolan karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai didepan rumah, aku dan Michi segera turun setelah mobil terparkir lalu segera memasuki rumah. Terlihat disana keluargaku dan Michi sedang asik berbincang dimeja makan, mungkin sambil menunggu kedatanganku dengan Michi.
Setelah aku dan Michi bergabung dengan mereka, kami langsung menyantap makan malam dan baru setelah itu kami membicarakan hal-hal mengenai pernikahanku dengan Michi, bahkan mama, ummi dan tante Aisyah juga merencanakan bulan maduku dan Michi, hingga membuatku hanya bisa tertunduk malu didepan mereka.

Indahnya Persahabatan Menuju Cinta (SEDANG DI REVISI).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang