Bab 3 - Kesepakatan

1.7K 103 6
                                    

Aku masih saja termenung dengan perkataan mama tadi siang. Aku berpikiran apakah mungkin mama bermaksud mengundang Michi dan keluarganya di acara makan malam, apa karena Michi ada niat baik untuk mengkhitbahku atau ada maksud lain?
“Duh kenapa aku ini jangan ngarep deh Michi khitbahin aku secepat ini! Baru saja kemaren ketemu, udah langsung main khitbah aja?! Uhhh ... sadar Han, sadar Han, jangan berpikir berlebihan deh!” kataku dalam hati sambil menepuk kedua pipiku bolak-balik.
Waktu sudah maghrib, aku segera mengambil air wudhu dan langsung melaksanakan sholat. Setelah itu aku kembali untuk membantu mama.
Aku keluar dari kamar dan langsung menghampiri mama yang sedang di dapur.
“Ma, masih ada yang bisa aku bantu?” tanyaku pada mama.
“Alhamdulillah sudah selesai nak, untung saja ayah bantu mama jadi cepat deh selesainya!” seru mama.
“Hemmm, gitu. Oh ya ma, aku boleh tanya sesuatu sama mama dan ayah?” tanyaku penasaran.
“Oh tentu saja boleh nak, sini-sini mau tanya apa sama mama dan ayah?!”
“Hemmmm gini. Jujur iya, mama sama ayah mengajak Michi dan keluarganya ikut makan disini maksud apa iya?” tanyaku balik.
“Hemmm, kamu belum tahu ya? Jadi gini nak, Michi dan keluarganya ada niat baik ke kamu, maaf kalau mama dan ayah belum sempat bilang ke kamu!” gumam ayah padaku.
“Niat baik ke kamu nak, Michi ingin mengkhitbahmu secepatnya agar cepat menikahimu!” seru mama.
“Lah, kok mendadak gini sih Ma, Yah? Bukannya kalau khitbah mempelai wanitanya harus tahukan? Bagaimana nanti tuker cincinnya? Emang mereka tahu ukuran cincin aku? Terus nanti mau kasih seserahannya apa?”
“Dengarin perkataan mama dan ayah dulu nak! Ini belum khitbahnya kok, cuman mereka kami ajak kesini untuk makan malam untuk mengomongin acara khitbah dan akad kamu nak, bukan langsung khitbahnya!” seru ayah.
“Oalah gitu ya ayah, dikirain langsung mendadak khitbah gitu heheheh.” gumamku sambil tersipuh malu.
“Sebelumnya kamu dengarin dulu nak, jangan langsung ngoceh dulu!”
“Ya ini anak mama kenapa sih, mau cepat nikah? Ya udah entar mama bilang orang tua Michi besok khitbahnya dan habis itu langsung nikah ya hihihih.” gumam mama sambil tertawa kecil melihat tingkah lakuku yang menggemaskan.
Terdengar suara bel pintu berbunyi. Mama membukakan pintu tersebut. Saat membukakan pintu ternyata yang datang ialah sahabat kembarku. Aku memeluk mereka dengan rasa senang. Sesudah memeluk mereka, aku terkejut melihat dibelakangku sudah ada Michi dan keluarganya.
Mama dan ayah mempersilakan mereka untuk duduk dan menyantapin makanan yang sudah kami siapkan sambil berbincang masalah acara khitbah dan akadku nanti bersama Michi.
“Bagaimana apakah kamu setuju, nak?” tanya ayah padaku.
“Hemmm, aku boleh kasih saran gak?” tanyaku balik.
“Saran apa nak Hana?” tanya ummi Michi padaku.
“Afwan sebelumnya, saya tidak bisa akadnya di cepatkan. Dikarenakan saya masih fokus untuk mengerjakan skripsi. Saya ingin menikahnya sehabis wisuda!” saranku pada mereka.
“Nak, nikah tidak terpatok kamu harus menunggu wisuda baru nikah. Justru misalkan kamu nikah sebelum wisuda dan kamu sedang mengerjakan skripsi sekarang ini kan ada yang bisa bantu kamu kalau ada kesulitan. Michi bisa bantu kamu nanti nak karena Michi suamiku dan pasangan halal kamu juga nak, juga Michi bakalan lindungi kamu dan akan menjaga kamu. Lagipula kalau Allah sudah mengatakan bahwa kamu berjodoh dengan Michi, terima saja nak. Bersyukur penerimaan Allah itu baik!” ucap mama panjang lebar.
“Jadi bagaimana dengan keputusanmu nak Hana?” tanya abi Michi padaku.
Tidak ada kata lagi yang aku sampaikan pada mereka.
“Bismillah, saya mau dan siap menjadi istri Michi!” seruku.
“Alhamdulillah” jawab mereka serentak.
“Jadi keputusannya minggu depan di adakan khitbah. Setelah itu bulan depan acara akadnya, bagaimana Pak,Bu?” tanya abi Michi pada orang tuaku.
“Iya saya setuju” jawab ayahku.
“Sudah kita akhiri makan malam ini, dengan membaca alhamdulillah. Dikarenakan sudah adzan isya dan waktunya untuk sholat. Silakan yang mau sholat, musholahnya ada di belakang dan kamar mandinya ada di sebelah musholah!” ucap mama pada kami semua.
Akhirnya acara ini telah usai dengan lancar.
“Selamat ya Han, semoga lancar sampai hari H nya.” Kata Khadijah padaku.
“Iya Han, selamat juga. Jangan lupa kami berdua jadiin pagar ayunya ya, heheheh.”
“Hihihih, siap. Yuk kita sholat dulu.”
***
Keesokan harinya, saat perjalananku menuju kampus. aku melihati aku ada seorang wanita tua yang berada di seberang sana. Di sebelah Ibu itu ada 2 orang laki-laki yang sangat mencurigakan. Aku melihat 1 laki-laki itu sedang mengorek-ngorek tas Ibu tersebut. Aku menyuruh Pak Rahman untuk berhenti di tempat berdiri Ibu itu berada. Ibu itu sadar ternyata barangnya yang berada di dalam tasnya telah dirampas oleh pencopet tersebut. Pencopet tersebut langsung melarikan diri.
“Tolong-Tolong …” teriak Ibu tersebut.
"Maaf Ibu, apakah Ibu baik-baik saja!" ujarku khawatir.
"Alhamdulillah, ibu gak kenapa-napa kok nak, tapi barang Ibu yang di copet itu barang-barang penting yang harus Ibu anterin ke bank!"
"Alhamdulillah, Maa Syaa Allah ... Ibu gak usah khawatir masalah rezeki itu udah tanggung jawab Allah dan ikhlaskan saja yang tadi. Maaf sebelumnya nama saya Hana. Saya tadi melihat ibu di jalan pas saya menuju kampus untuk kuliah. Saya melihat dari kejauhan tadi, ada dua orang laki-laki disebelah ibu yang mencopet barang ibu. Makanya saya menghampiri ibu disini karena ingin menolong ibu, tapi qadarullah barang ibu sudah di rampas. Hemmm, ngomong-ngomong rumah Ibu dimana, biar saya saja yang menganter Ibu sampai kerumah?"
"Rumah Ibu di Rawamangun nak, gak usah nak makasih Ibu bisa pulang sendiri dan kamu juga bukannya kuliah? Pasti dosennya sedang menunggu kamu di kelas!" seru beliau.
"Udah bu gak apa-apa, saya nanti bisa hubungin dosennya langsung nanti. Yuk  silakan masuk ke dalam mobil saya."
"Makasih iya sayang sudah ngerepotin."
"Iya bu, sama-sama."
Di perjalanan aku begitu asiknya ngobrol dengan Ibu. Terdengar suara telepon berbunyi di dalam tasku.
“Assalamu’alaikum Han, kamu dimana? Ini sudah jam masuk kok kamu belum saja datang, emangnya kamu kemana?” tanya Khadijah penasaran.
“Maaf Djah aku minta izin jam pertama. Aku sedang menolong ibu-ibu yang baru saja kecopetan. Sekarang ini aku sedang mengantar beliau ke rumahnya. Aku titip salam dan izin ya ke kamu sampaikan langsung ke Ibu Fahmi aku tidak bisa datang di jam pelajarannya.”
“Innalillahi, ya udah Han entar aku sampaikan ke Ibu Fahminya iya!” seru Khadijah.
“Iya Djah, terima kasih maaf lho ngerepotin”
“Iya Han, gak apa-apa”
“Udah dulu ya assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalaam, hati-hati ya Han.”
Sesampai rumahnya ternyata ibu ini lumayan kaya dan aku melihat ada seorang laki-laki yang baru saja keluar dari rumah dan menyusul ibu tersebut, mungkin itu anaknya. Anaknya lumayan sunnah sudah kelihatan dari pakaiannya dan juga memeliki jenggot.
“Terima kasih ya nak sudah anterin ibu sampai rumah. Kamu mau mampir dulu tidak?” tanya ibu padaku.
“Hemmm, gak usah bu terima kasih. Saya harus balik ke tempat kuliah, masih ada jam pelajaran selanjutnya yang harus saya masuki.” ucapku.
“Oh gitu ya nak. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih ya nak, hati-hati di jalannya ya”
“Iya bu, saya pamit dulu assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalaam”
Sesampai kuliah aku melihat Michi sedang mengobrol dengan ketua yayasan di kampus ini.
“Hana!!!” teriak Hani dari belakang.
“Wa’alaikumussalaam, hai Hani. Maa Syaa Allah, apa kabar? Sudah lama tidak berjumpa?” aku terkejut ada orang yang memanggil yang tak lain ternyata itu Hani. Dia teman lamaku juga namanya Hanifah Nur Azizah. Dia baru saja balik dari Kairo Mesir. Dia mendapatkan beasiswa Tahfidz Qur’an disana selama 4 bulan.
“Alhamdulillah ana bii khair, kalau kamu sendiri bagaimana kabarnya?” tanya balik Hani padaku.
“Alhamdulillah bii khair juga. Hemmm, kok kamu baru masuk jam segini, emang kamu tadi habis kemana?” tanyaku pada Hani
“Oh itu, tadi aku habis ke bank dan aku sudah izin kok.”
“Oh gitu”
“Kalau kamu sendiri tadi habis kemana sampai baru masuk jam segini?” tanya Hani balik padaku.
“Hemmm, lebih enak ngomongnya nanti di kelas aja. Yuk mari kita kelas!” seruku.
“Heheheh, yuk.”
Sesampai kelas …
“Hana, Hani sini kemari ada kabar baik!”
Aku dan Hani pun menghampiri mereka berdua yang sedang duduk.
“Hemmm, kabar baik apa ya Fat?” tanyaku heran.
“Sini aku bisikin”
Fatimah berbisik ke telingaku. Aku terkejut dengan perkataan Fatimah.
“Eh, kamu gak bohongkan?” tanyaku panik.
“Tampang gue kelihatan bohong gak nih Han?” tanya Fatimah dengan sewotnya.
“Eh Hani, apa kabar sudah lama tidak bertemu?” tanya Khadijah pada Hani.
“Heheheh, alhamdulillah baik. Kalau kalian?” tanya Hani balik pada mereka berdua.
“Ni, bagaimana disana enak gak?” tanya Fatimah pada Hani.
“Alhamdulillah, Maa Syaa Allah daerahnya bagus dan indah.”
“Alhamdulillah, jadi pengen kesana deh heheheh!” seru Fatimah pada Hani.
“Heheheh, Aamiin In Syaa Allah kita kesana bareng-bareng ya” seru Hani pada kami bertiga.
“Aamiin Ya Allah”
Teman-teman sekelasku berkerumunan masuk ke dalam kelas. Aku melihat Michi dan kepala yayasan masuk ke dalam kelas ini.
“Anak-anak harap diam sejenak bapak pengen kenalin dosen baru ini.”
Aku melihat seluruh teman wanitaku sedang memandang Michi dengan terpukau dan membuatku seketika cemburu.
“Perkenalkan, nama bapak ini Abdurahman Michi. Beliau lulusan dari Universitas di daerah Madinah dan Kairo Mesir. Beliau sudah S1 dan S2 dengan waktu hanya 4 tahun saja. dan beliau juga Hafiz Qur’an 30 juz dan beliau adalah calon suaminya dari Hana Nur Hidayah teman sekelas kalian ini. Beliau menggantikan Pak Taufiq untuk mengajar disini”
Teman-teman langsung terkejut dan mereka semua memandangku.
“Eh benar itu Hana?” tanya mereka padaku dengan penasaran.
Aku tidak bisa berkata apa-apa dan badanku terasa kaku begitu saja.
***
Bel pulangpun berbunyi tanda waktu jam pelajaran telah usai. Perlahan-lahan teman-temanku berdatangan ke tempat aku yang sedang duduk.
“Han, benar kamu calon istrinya?” kata Halimah penasaran.
“Hemmm, In Syaa Allah. Minta do’anya saja dari kalian semoga lancar sampai hari H nya.” ucapku.
“Aamiin” jawab mereka serentak.
“Han, kamu beruntung banget sih dapat laki-laki setampan dan seshalih dia!” seru mereka.
“Hihihih, alhamdulillah” jawabku malu.
“Yaiyalah soalnya Si Michi tuh sahabatnya Hana dari kecil lho!” ucap Fatimah.
“Apa???” ujar mereka kaget ketika mendengar ucapan Fatimah tadi.
“Hihihih udah dulu ya bahas iniannya. Aku dan sahabatku pulang duluan ya karena ada urusan penting assalamu’alaikum …” jawabku yang terpaksa bohong pada mereka.
“Wa’alaikumussalaam”
“Han, Djah tunggu aku dong!” teriak Fatimah pada kami berdua yang sudah keluar dari kelas.
Saat di perjalanan menuju gerbang. Aku melihat Michi bersama seorang wanita bercadar dan mengizinkan wanita bercadar itu masuk ke dalam mobilnya. Entah kenapa hatiku sakit dan aku cemburu saat melihat mereka berdua satu mobil. Ku meneteskan air mata saat kedua sahabatku sedang asik mengobrol sambil berjalan sedangkan aku tiba-tiba diam begitu saja.
“Han, lho kenapa?” tanya Fatimah heran.
“Ya Han, kamu tadi ceria-ceria aja, kok malahan sekarang mukanya sedih gitu!” seru Khadijah padaku.
“Aku kenapa-napa kok, beneran deh!” kataku menyembunyikan ekspresi sedihku.
“Lho bohong kan Han, gue tahu lho lagi sedih. Gue tahu mana yang lagi sedih dan mana yang lagi ceria!” ucap Fatimah tegas.
“Ya Han, mending kamu jujur aja, gak usah kamu sembunyikan kalau ada masalah kan kita sahabat yak an Han!” seru Khadijah.
“Bener tuh mending lho cerita aja ada apa ke kita berdua.”
“Mungkin aku salah orang kali ya dikirain tadi tuh Michi heheheh.”
“Hah, salah orang apanya Han? Emang tadi lho lihat Michi di mana?” tanya Fatimah.
“Ya tadi aku melihat orang lain di parkiran mirip Michi, tapi bedanya laki-laki itu bawa wanita cadar masuk ke dalam mobilnya. Mungkin aku salah lihat kali ya heheheh udahlah lupain aja deh.”
“Oh gitu, kalau beneran itu Michi bisa aku hajar sih karena sudah membuat bidadari cantik ini nangis hihihih.” gurau Fatimah dramatis.
“Mulai deh lebaynya” kata Khadijah.
“Ya bukan namanya Fatimah kalau gak punya sikap lebaynya hahahah.” lanjutku sambil meledeknya.
“Udah yuk Han kita tinggalin Fatimah ajalah”
“Yuk Djah heheheh”
“Awas sih kalau beneran aku jitak.” kata Fatimah dengan sewot.
“Kaburrr …” aku dan Khadijah pun kabur meninggalkan Fatimah dan kami bertigapun kejar-kejaran.

Indahnya Persahabatan Menuju Cinta (SEDANG DI REVISI).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang