DW-8. Welcome to the hell (1)

161 7 7
                                    

                Sepulang sekolah Raja langsung berjalan ke kamarnya untuk mengambil beberapa pakaian. Setelah selesai, ia mendatangi kamar Mama untuk memastikan keadaannya. Raja melangkah masuk, tersenyum menatap wajah damai Mama yang sedang terlelap, kemudian mengecup punggung tangan wanita itu.

Sekian detik Raja memandangi Mama, barulah ia keluar dari ruangan besar itu. Menutup pintu dengan hati-hati dan menemui Bi Iyem di dapur.

"Den Raja mau kemana?" Tanya Bi Iyem.

"Nginap di rumah Papa, Bi. Tolong jagain Mama ya. Nanti setiap pulang sekolah Raja mampir kesini."

Bi Iyem mengangguk patuh, lalu melanjutkan aktivitas memasak makan malam lagi.

Rumah ini memang sepi semenjak perceraian itu terjadi. Dulu, Bi Iyem bisa merasakan kehangatan keluarga majikannya. Suara tawa saat Raja masih kanak-kanak terus membekas di ingatan wanita paruh baya tersebut. Dahulu, setiap pulang bekerja, Raja akan berlari menghampiri Sang Papa untuk memeluknya sekedar mengatakan kalau ia rindu. Lalu majikannya itu akan menggendong sang putra kemudian memberikan sebuah bingkisan berisi miniatur superhero yang hingga kini masih Raja simpan di kamarnya.

Bahkan Bi Iyem masih mengingat jelas kebersamaan orang tua Raja dulu. Selepas sholat magrib, mereka akan duduk bersama sambil menonton televisi---hal lazim yang selalu di lakukan bila sang suami tidak ada jam lembur di kantor.
Di ruang televisi itu kebersamaan mereka di bangun. Raja sibuk dengan mainan barunya, Mama yang menyajikan kue hasil buatannya untuk sang suami dan Papa yang melempar canda tawa menjadikan rumah itu penuh kegembiraan, jauh dari kata sepi.

Tanpa sadar, air mata menetes di pipi wanita berumur lebih dari setengah abad tersebut. Mengingat betapa hancurnya keluarga itu sekarang. Raut wajah marah yang selalu Raja tampilkan, dan gangguan jiwa yang kini di derita Nyonya Besar di rumah itu cukup menggambarkan betapa kehilangannya mereka.

Di satu sisi, selama di perjalanan menuju rumah baru Papa, Raja terus memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan untuk mengundang kekacauan di rumah tersebut. Kalau perlu, Raja akan membuat Tante Andini menangis saking kesalnya.

Raja juga akan membuat onar, bersikap semena-mena hingga David akan ikut tersulut emosi.

***

                 "Bu, tadi di sekolah aku udah buat surat izin untuk besok." Ujar Alicia ketika ia menutup pintu rumah.

Gadis itu berbalik badan, melihat Ibu sedang mengemasi kue-kue buatannya dalam bungkus mika sedangkan Bebski sibuk mengunyah makan malamnya.

Ini sudah pukul tujuh malam, Alicia baru kembali dari rumah setelah selesai berlatih tari untuk persiapan mengisi acara di salah satu pesta pernikahan esok hari tepatnya di gedung mewah kawasan Menteng, Jakarta.

Alicia mengambil satu buah donat gula dan melahapnya.

"Eh, kok di makan? Itu kan kue pesanan orang!" Kata Ibu.

Alicia langsung tersenyum. "Satu aja, Bu. Pelanggan Ibu pasti gak tau kalau donatnya aku ambil satu."

"Mending kamu mandi dulu sana." Perintah Ibu. "Siap siap buat sholat isya."

"Nanti deh, Bu." Alicia masuk ke dalam kamar untuk menaruh tas dan atribut sekolahnya. Setelah selesai, ia kembali ke ruang televisi dan duduk di sofa. "Besok Ibu bangunin aku jam setengah lima ya. Teh Irna bilang harus siap-siap dari pagi."

"Terus kamu ke pergi sanggarnya sama siapa?"

"Sama Citra. Besok pagi dia jemput aku."

"Hati-hati di jalan. Besok pagi Ibu siapkan jaket buat kamu, biar gak kediginan. Apalagi jarak rumah ke sanggar lumayan jauh."

︎Dusk WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang