DW-10. Antara jatuh dan cinta

128 13 0
                                    

David pikir, rumah adalah tempat terbaiknya untuk mengistirahatkan pikiran. Namun nyatanya, rumah selalu jauh dari kata damai.

Suara pecahan barang-barang, makian-makian kasar, lalu di susul suara bantingan pintu yang menjadi penutup keributan malam ini. Biang keributannya adalah Mama dan Raja.
Mama yang mudah tersulut emosi, dan Raja yang pandai memanas-manaskan situasi adalah alasan tepat mengapa keduanya kerap kali adu argumen.

David seperti serba salah. Bila membela Mama, maka situasi semakin keruh. Namun jika diam saja, lama-lama David merasa jengah atas segala keributan yang membuat kepalanya seolah di hujani banyak makian. Raja selalu menghakimi Mama sebagai wanita perebut suami orang lain dan wanita tak berperasaan, juga menghardik David dengan mengatakan bahwa ia adalah anak haram. Benarkah itu?

Di hari-hari sebelumnya, David memilih berdamai pada diri sendiri. Ia mencoba melupakan dengan cara mendengarkan lagu, duduk sendirian di atas balkon kamar, atau mungkin tertidur pulas sebagai jalan satu-satunya melupakan masalah meski sebentar.
Tapi ada saatnya dimana keadaan semakin memburuk, hingga untuk mencintai diri sendiri dan berdamai dengan keadaan jadi suatu hal yang sulit ia lakukan.
Contohnya hari ini. Jika biasanya David selalu menolak ajakan Edo untuk mengunjungi kelab malamnya, maka kali ini berbeda.

David telah berdiri di depan bangunan yang di penuhi oleh gemerlap lampu dan hiruk pikuk orang-orang setengah sadar---hingga mengagetkan Edo dan pegawai di kelab malam yang mengenalinya setelah beberapa kali pertemuan singkat. Ia dapat masuk dengan mudah, hingga menempati salah satu stool bersama segelas minuman beralkohol di tangan. Jangan tanya bagaimana caranya ia bisa masuk, people call it privillage.

Setelah beberapa saat hanyut dalam pikiran sendiri, David menenggak vodka di gelasnya hingga tandas. Membiarkan rasa pahit melewati kerongkongan dan sensasi itu seolah membuatnya melupakan sejenak setiap masalah yang ia hadapi.

Tanpa di sadari, sebagian orang menganggap hidup David telah sempurna, tanpa tahu bahwa sebenarnya dia rapuh. Karena selama ini ia hanya pandai menyembunyikan duka.

Semua perdebatan konyol antara Mama dan Raja kembali berputar di kepala. Menjelma jadi putaran film yang semakin lama menambah beban pikirannya.

David menggenggam kuat-kuat gelas di tangannya, menjadikan benda itu sebagai pelampiasan emosi sebelum akhirnya bunyi dering ponsel mengalihkan atensi. Sebuah panggilan telfon dari Mama, dan David buru-buru menolak panggilan tersebut. Muncul perasaan ingin membanting benda pipih itu pada lantai, agar pecah dan dengan begitu emosinya dapat tersalurkan.

Dulu, tiap kali mendapat masalah, David selalu memilih bercerita pada Alicia. Tapi kali ini, sandarannya telah pergi. Alicia bukan siapa-siapa lagi, dan David tidak punya hak untuk menempati ruang kosong di hati gadis itu. Sekarang keadaan berbalik, Raja terlihat sedang membalaskan dendam. Perlahan, ia mulai merebut semua hal yang semula menjadi milik David. Perhatian Papa, juga perhatian Alicia kini telah berpihak pada Raja.

David menyerah, sekarang dia benar-benar sendirian. Hingga kemudian, ponselnya kembali berdering, hal itu sempat membuat David mengumpat kasar sampai berencana untuk menolak panggilan itu lagi, namun urung ia lakukan saat melihat siapa nama penelfonnya.

Dinara. David membacanya dalam hati. Ia sempat berfikir sejenak, haruskah ia mengangkat telfon gadis itu?

"Halo, Dav?" Suara Dinara terdengar dari balik telfon. "Buku catatan ekonomi---loh kok berisik banget sih? Lo dimana sekarang?"

David tak menjawab, ia hanya diam. Efek 60% alkohol dalam minuman tadi sudah benar-benar bekerja di tubuhnya. Perasaan frustasi, alkohol, dan rasa bersalah yang bersarang di hatinya sudah cukup mendorong David pada pertanyaan berikutnya. Pertanyaan yang secara tiba-tiba muncul di otaknya.

︎Dusk WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang