DW-2. Bittersweet

251 16 0
                                    

              Alicia duduk sendirian di halte bus sambil melamun. Tangan kanannya menggenggam satu cup es krim yang mulai mencair karena terlalu lama di diamkan.

Sekarang pukul setengah lima sore. Alicia tak berniat segera pulang ke rumah---atau mungkin pergi latihan menari di Sanggar Tari Irna Gupta milik keponakan mendiang sang ayah. Harusnya Alicia kesana. Latihan sejenak untuk memenuhi panggilan job di salah satu pesta pernikahan yang akan di gelar minggu depan. Lumayan, dari sana Alicia bisa mendapatkan amplop berisi 50 sampai 100 ribu rupiah. Bisalah ia gunakan untuk beli kuota bulanan atau beli skincare lagi.

Sejak kecil Alicia memang gemar menari. Bukan tari tradisional, melainkan menirukan gerakan dance girlband asal Korea Selatan saat usianya menginjak 10 tahun. Diam-diam, Ibu memperhatikan putrinya, lalu seminggu setelahnya beliau mendaftarkan Alicia untuk berlatih tari di Sanggar Tari Irna Gupta. Awalnya Alicia menolak, namun seminggu setelahnya ia mulai nyaman dan terbiasa. Kebiasaan itu terus berlanjut, sampai usianya menginjak 17 tahun.

Biasanya, jika hari Senin selepas pulang sekolah, David yang mengantar Alicia ke Sanggar Tari. Terkadang bila pemuda itu tidak sibuk, ia bersedia mengantar Alicia berlatih di hari Sabtu dan Minggu. Malah, sering kali ia menunggu pacarnya hingga selesai latihan.

Alicia mengayunkan kakinya, tatapan matanya kosong di tambah lagi rasa bosan mulai melanda. Namun, ia enggan pulang ke rumah untuk sekarang. Nanti saja, bila sang mentari telah kembali ke peraduan---mungkin moodnya sudah membaik.
Kalau ia pergi ke Sanggar Tari, pasti sudah telat. Lagi pula, Alicia paling malas latihan saat moodnya sedang buruk, nanti jadi tidak fokus dan di omeli Teh Irna karena latihannya terkesan ogah-ogahan.

Ah ya, Teh Irna merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta bidang seni tari. Beliau juga sosok yang menginspirasi Alicia untuk melanjutkan pendidikan di ISI dalam bidang yang sama. Namun, cita-cita tersebut harus terhalang karena restu orang tua. Mendiang sang ayah hanya mau Alicia melanjutkan perguruan tinggi di jurusan Kedokteran dari universitas ternama. Ia sempat menolak. Masalahnya, Alicia tidak suka di paksa---lagi pula dia bukan titisan Einsten yang punya otak cerdas dan cemerlang.
Selain itu, kuliah kedokteran butuh banyak uang. Sedangkan Ibunya hanya bekerja sebagai penjahit baju dan pembuat kue tradisional untuk acara-acara tertentu.

Lalu, Alicia harus mengharapkan apa? Untuk bayar SPP perbulan saja sulit, apalagi untuk biaya kuliah kedokteran?
Jika berharap mendapat jalur undangan atau beasiswa full sepertinya hanya angan belaka. Otak Alicia tidak secerdas Almarhumah Kak Miranda, yang telah pergi karena kecelakaan pesawat dua tahun lalu.

Beliau memang cerdas, berhasil mendapatkan beasiswa full di Universitas Negeri terkenal dalam jurusan Kedokteran. Bahkan saat wisuda pun, sang kakak berhasil menjadi lulusan terbaik dan mendapat predikat Cumlaude. Hebat kan? Pantas saja Ayah sangat menyayangi Kak Miranda dan selalu membanding-bandingkan dengan Alicia yang punya nilai pas-pasan.

Hingga waktu itu tiba. Saat Kak Miranda hendak melanjutkan study S2 di Belanda, pesawat yang beliau tumpangi mengalami kecelakaan---kemudian berita tersebar kalau seluruh penumpang tidak ada yang selamat. Waktu itu Ayah adalah orang yang paling terpukul atas kepergian Kak Miranda. Beliau nampak frustasi dan berubah jadi sosok tempramental. Tak sampai disitu saja, Ayah jadi sering mengkonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang hingga harus mengidap sirosis hati. Lalu, selang beberapa bulan, Ayah pergi. Menyusul sang kakak di sisi Tuhan.

Mengingat kejadian tersebut membuat hatinya di selimuti perasaan pilu. Tanpa sadar, air mata mulai menetes membasahi pipi tirusnya. Alicia mulai terisak, mengingat kembali kalau dia telah kehilangan sosok ayah, kakak perempuannya dan sekarang pacarnya.

Jika Tuhan mengizinkan, Alicia ingin sekali kembali pada masa lalu. Dimana ia bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya. Seperti menari di bawah hujan bersama Kak Miranda juga jalan-jalan sore bersama Ayah---menikmati senja di atas motor sembari tertawa.

︎Dusk WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang