Jihoon membuka matanya dengan perlahan. Mengedipkan matanya beberapa kali, agar penglihatannya yang semula buram menjadi lebih jelas. Kepalanya terasa sangat pusing, dan dia merasa sangat lapar.
Dahinya berjengit saat merasakan sesuatu menancap di tangannya ketika dia hendak berusaha bangun. Sebuah infus. Memangnya dia kenapa?
"Kau sudah bangun?"
Jihoon menatap sosok yang baru saja masuk ke dalam kamarnya dan mengajukan sebuah pertanyaan itu padanya. Lai Guanlin.
Seketika ingatan Jihoon tentang apa yang terjadi padanya kembali muncul di otaknya. Dia menatap Guanlin tidak suka. "Kenapa kau masih ada disini? Bukankah aku bilang untuk pergi?"
Guanlin berjalan mendekati Jihoon, pemuda itu duduk di pinggir ranjang yang Jihoon tiduri, membuat lelaki manis itu sedikit menggeser tubuhnya, tidak ingin bersentuhan dengan lelaki yang dia anggap sebagai penyebab kematian saudara dan ayahnya.
"Aku tidak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini." Guanlin hendak menggenggam tangan Jihoon, namun dia hanya tersenyum kecut ketika Jihoon menepis tangannya.
"Aku baik-baik saja. Jadi lebih baik kau pergi."
"Kau lapar? Ingin aku bawakan sesuatu?" Tanya Guanlin berpura-pura tidak mendengar ucapan Jihoon yang menyuruhnya untuk pergi.
"Aku tidak lapar."
Kruuuurrrkkk
Wajah Jihoon memerah saat perutnya mengeluarkan suara tanda lapar sedetik setelah Jihoon mengatakan kalau dia tidak lapar. Kenapa perutnya tidak bisa diajak kompromi disaat seperti ini?Guanlin tersenyum kecil melihat Jihoon yang begitu menggemaskan dimatanya. "Tunggu sebentar, akan aku bawakan bubur untukmu." Ucap Guanlin kemudian berjalan keluar dari kamar Jihoon untuk mengambil semangkuk bubur yang memang dia beli untuk Jihoon.
Tak sampai lima menit, Guanlin kembali ke kamar Jihoon dengan nampan berisi semangkuk bubur, segelas susu dan air mineral di atasnya. "Duduklah, aku akan menyuapimu."
"Tidak perlu, aku bisa makan sendiri." Bantah Jihoon. Dia merubah posisi tubuhnya menjadi duduk dengan sangat pelan, agar jarum infus ditangannya tidak bergerak dan membuatnya terasa sakit.
"Kau susah menggerakkan tanganmu dengan jarum infus yang tertancap disana. Jadi lebih baik kau diam dan cukup membuka mulut saja, biar aku yang menyuapimu." Ucap Guanlin tak ingin dibantah. "Say aaaaa..." Guanlin mengarahkan sesendok bubur ke depan mulut Jihoon yang masih tertutup rapat. Sepertinya lelaki manis itu masih enggan menuruti perkataan Guanlin.
"Buka mulutmu atau aku akan memasukkan bubur ini lewat ciuman." Ancam Guanlin.
Jihoon terlihat cukup terkejut dengan ancaman Guanlin, dan membuatnya mau tidak mau membuka mulutnya. Lagipula perutnya memang sudah sangat lapar karena sejak kemarin pagi dia tidak makan atau minum sama sekali.
Jihoon menatap Guanlin yang terlihat begitu perhatian padanya. Lelaki itu menyuapi Jihoon dengan perlahan, sesekali mengelap bibir Jihoon yang terkena bubur menggunakan tissue. Astaga, rasanya sudah lama sekali dia tidak merasakan perhatian dari lelaki itu. Jujur saja dia begitu merindukan sosok Guanlin yang penuh perhatian seperti ini, sama seperti saat Guanlin yang begitu perhatian ketika dia hamil dulu.
Tanpa Jihoon sadari setetes air mata mengalir dari mata indahnya ketika dia merenungi betapa banyaknya halangan bagi dirinya dan Guanlin untuk saling memiliki.
"Kau kenapa sayang? Apa ada yang sakit?" Tanya Guanlin khawatir melihat Jihoon yang tiba-tiba menangis, hingga tanpa sadar dia memanggil Jihoon dengan sebutan sayang, panggilannya saat mereka masih bersama dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR [[ Panwink / Guanhoon ]]
Fanfiction"Tolong berpura-puralah menjadi istri Guanlin." "Kami akan memberikan bayaran senilai lima ratus juta won untukmu bila kau mau membantu kami berpura-pura menjadi istri Guanlin." [chapter 3, 6 dan 11 aku private] ☺️ Ranking : 431 IN FANFICTION (22/10...