Kepastian

2.3K 85 0
                                    

"Menurut kamu, keputusanku ini benar atau tidak fat?" Tanyaku setelah kami selesai makan siang di kantin kampus.

Fatima meminum tehnya sebelum akhirnya menjawab, "Insyaallah itu akan menjadi keputusan terbaikmu".

"Tapi aku masih ragu fat. Mm.. bukan ragu sih tapi semacam apa ya, takut gitu"

"Kenapa harus takut mar, yakinkan hatimu! Dia kan tampan, sopan, pendiam, pilihan ibumu dan dia juga santri. Bahkan bukan santri lagi, tapi dia sudah mengajar di ponpes kiai usman, Iya kan? Itu pria idaman kamu sejak dulu, lebih tepatnya, pria idaman kita. Kamu beruntung mar! Jangan sia-siakan itu"

"Entahlah fat, aku tak seantusias dulu. Aku merasa minder aja dan aku heran ya, kenapa dia tiba-tiba memilihku?! Padahal kami hanya dua kali bertemu, itupun tidak sengaja. Banyak kan santriyah-santriyah disana yang lebih segalanya dariku? Dia pasti lebih serasi dengan santriyah, seperti..." seperti? Apa maksud 'seperti'? Dengan  Spontan aku mengatakannya. Entah kenapa segala hal selalu membuatku mengarah padanya. Secara spontan! Padahal tidak ada yang istimewa darinya. Kami hanya berkenalan di bis, dan dia bisa dengan mudahnya membuatku jatuh cinta? Padahal aku bukan tipe wanita yang mudah jatuh cinta, apalagi hanya karena hal kecil.. aku tak mengerti dengan jalan pikiranku sendiri!

Fatima mengayunkan tangannya didepan wajahku, "kenapa melamun? Seperti siapa maksudmu?"

"Eh tidak! Mm.. bagaimana denganmu? Arya Atau rian?" Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ih, kamu mar! Kenapa rian? Aku gak ada apa-apa sama di__"

"Arya ?" Potongku membuat fatima mengerucutkan bibirnya,

"Entahlah mar, untuk yang kesekian juta kalinya kamu bertanya seperti itu, jawabannya tetap sama! bukan karena dia bukan santri, aku tidak masalah dengan itu. Toh aku juga bukan santri kan? Hatiku aja yang tak ada apa-apa sama dia". Fatima menghela nafas panjang, ia merasa bersalah pada arya yang baik dan begitu setia menunggunya walau beberapa kali fatima menjawabnya untuk hanya berteman saja. Cinta tidak bisa dipaksa, kan?

"Hm..gimana kalau aku kenalin sama temannya bilal? Dia pengurus juga, malah lebih senior dari bilal" usulku yang membuat wajah fatima kembali sumringah, ia menatapku antusias,

"Wah? Siapa mar?"

"Namanya faisal, umurnya aku tidak tau, mungkin seumuran kak salman. Tampan sekali, dia juga berjenggot". Fatima semakin antusias mendengar penjelasanku, ia menggeser kursinya lebih mendekat.

"Tapi kak aisha bilang, dia 'dudu', ditinggal wafat oleh istrinya" bisikku, seketika raut wajah fatima berubah, bibirnya manyun, matanya melotot jahat seakan-akan siap menerkamku sebagai makanan penutupnya.

"Kamu mengejekku ya mar?" Protesnya.

"Eh tidak fat, sama sekali tidak! Aku hanya memberi usul. Memangnya kenapa dengan status 'dudu'? Yang penting itu kebaikannya fat" sahutku meyakinkan.

"Iya-iya! Tapi apa kata keluarga besarku nanti kalau tau calon suamiku itu 'dudu'! Hu.. aku tidak dapat membayangkan bagaimana ekspresi mereka, apalagi nenekku, dia kan orangnya heboh banget mar". Aku tertawa geli mendengar gaya bicaranya yang menggemaskan.

Tapi apapun bentuk perkataan itu, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, fatima sedang bergulat dengan perasaan dan pikiran yang tak sejalan. Tentang dia, arya!

14.22

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus tertuju pada kejadian kemarin. Terbayang wajah bilal tersenyum dan berucap alhamdulillah, diam-diam aku tersenyum mengingatnya. Mungkin aku harus mencoba membuka hati, tapi aku tetap ingin tau kenapa dia memilihku. Aku rasa ini tidak adil baginya, dia begitu sempurna, sedangkan aku? Tak tau apa-apa. Terus saja ku pikirkan itu sampai dirumah.

Memburu Cinta Santri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang