Rizwan pov
Abi (kiai usman) duduk didepan ku, kulihat wajahnya yang bercahaya. Kini beliau sudah renta, rambut dan janggutnya memutih. Aku tidak pernah menyangka guru besarku telah menjadi mertuaku sekarang, aku selalu mengaguminya.
"Kau lihat ini", beliau menunjuk rambut dan janggutnya yang putih. "Ini ciri kalau saya sudah tua" beliau tertawa renyah, aku senang melihatnya, dalam keadaan apapun, beliau selalu berusaha tersenyum. Belum pernah aku melihatnya bersedih walau ketika beliau sedang sakit.
"Berjalan jauh sudah tak kuat, badan mudah pegal dan cape, berdiripun harus dibantu tongkat ini, Allahu rabbi". Beliau menghela nafas panjang, aku masih mendengarkan dengan seksama. Aku merasa ini seperti dulu, saat beliau mengajar dan semua santri termasuk aku khusyu mendengarkan. Tapi kali ini hanya aku sendiri yang mendengarkan, entah apa yang akan beliau sampaikan dan memintaku menemuinya disini, ruangan besar yang penuh dengan kitab milik beliau.
"Semakin hari semakin tua dan semakin lemah, tapi ini bukan alasan. Boleh jadi yang muda sepertimu meninggal dalam keadaan sehat, bukan begitu? Maut tidak mengenal usia, tua muda, sakit, ataupun sehat. Allahu rabbi". Aku mengangguk membenarkan.
"Sebenarnya saya ingin memberikan sebuah pesan, sebuah amanah. Saya sangat percaya padamu dan saya yakin kamu mampu menjalankan amanah ini wan, ini ambilah!". Beliau memberikan berkas yang berisi surat kepemilikan pondok pesantren Al-Falah, "saya percaya padamu".
Aku tak mampu menyentuh berkas itu, "Maksud abi apa? Ini milik abi". Jawabku tanpa menyentuh berkasnya.
Beliau tersenyum, "Saya tau ini milik saya, atas nama saya dan saya mewariskan amanah ini kepadamu. Berjihadlah dijalan-Nya, insyaallah Allah akan mempermudah segala urusanmu jika kamu ikhlas dan sabar. Terimalah!"
"Tapi abi, saya.."
"Saya ingin masa tua saya tenang. Semua anak sudah menikah, pesantren sudah saya wariskan dan saya ingin kamu mempertahankan pesantren ini agar tetap hidup bahkan lebih hidup, saya yakin kamu mau melakukannya. Insyaallah". Tanganku bergetar saat meraih berkas yang beliau berikan, ku tatap wajah teduhnya, beliau tersenyum bahagia, menghela nafas lega. Ini bukan perkara kecil, amanah yang sangat besar tapi aku tidak akan menyerah begitu saja, aku ingin berusaha dan menunjukan pada beliau bahwa saya mampu, insyaallah..
Bismillah ku tekadkan dalam hati, mencari ridho illahi.Aku kembali ke kamar, Kulihat zahra sedang melamun, menatap kosong keluar jendela.
"Kamu sedang apa?" Tanyaku sembari duduk disampingnya.
"Mas, aku ingin kamu menikah lagi". Ucap zahra datar, tanpa menatapku. Aku terkejut, menatapnya penuh tanda tanya.
"Maksud kamu apa?",
Ia menunduk, menutupi air mata yang mulai menetes, "Aku ingin punya anak mas, aku ingin punya anak". Teriaknya sambil terisak, aku memeluknya mencoba menenangkan.
"Istighfar sayang istighfar".
"Aku merasa tak berguna mas, aku tidak bisa memberimu keturunan". Tangisnya pecah dipelukanku.
"Kamu akan sembuh sayang, bukankah kita sedang berusaha?! Pengobatanmu belum selesai, kamu jangan menyerah" tekadku meyakinkannya. Ku tatap senja, pilu sekali rasanya.
Fatima pov
Tiga hari maryam tidak masuk kuliah. Tak ada gairah hidup, semangat hidupku seolah hilang begitu saja. Tanpanya hidupku terasa hampa, tak ada teman curhat, teman bercanda. Hari ini aku putuskan untuk menjenguknya, aku merasa jasi sahabat paling tidak solid sedunia, maryam sudah sakit 3 hari dan aku baru akan menjenguknya? Huh! Maafkan aku ya mar..
KAMU SEDANG MEMBACA
Memburu Cinta Santri
Teen FictionAssalamua'laikum warahmatullah.. ♡ Santri..santri..santri.. Apa yang terlintas jika ada yang bertanya tentang "santri"? Syakir daulay? Alwi assegaf? Alvin faiz? Yups! Lelaki idaman dengan segala macam keistimewaannya. soleh, pintar mengaji, bisa m...