Jadwal Rista mengajar seminggu sekali untuk setiap murid, namun kali ini berbeda. Keesokan harinya Bu Hema menghubungi Mbak Anggra, meminta Rista mengisi les privat anaknya menjadi seminggu tiga kali, tanpa mempermasalahkan berapa biaya yang harus beliau keluarkan. Mbak Anggra sangat gembira saat mengabarkan berita ini, yang tentu saja menambah pendapatan kantor. Berkebalikan dengan Rista yang semakin terheran-heran. Mengapa Bu Hema susah-susah mengeluarkan banyak uang hanya untuk mengajar anaknya? Which is, sama sekali tidak membutuhkan matematika, fisika, biologi, dan kimia seperti anak-anak umumnya.
Rista segera ke kantor usai bubar kuliah. Mendatangi Mbak Anggra yang sedang sibuk mengangkat telepon. Beliau melambaikan tangan menyuruh Rista menunggu.
"Sepertinya Bu Hema sangat cocok denganmu ya," ucap Mbak Anggra setelah menutup telepon. "Kemarin memang hari keberuntunganmu."
"Tunggu deh, mbak. Boleh diulang nggak kemarin syarat Bu Hema apa?" tanya Rista penasaran.
"Kalau tidak salah ingat, beliau minta tipikal pengajar yang cerewet, menyenangkan diajak bertukar pikiran, santai, humoris, dan tidak kaku dengan pelajaran konvensional."
"Tidak kaku dengan pelajaran konvesional, itu bisa dijelaskan bagaimana rincinya, Mbak Anggra?"
Mbak Anggra meringis. "Kemarin ada kejadian janggal, ya?"
Rista mendengus. "Banyak."
"Kemarin mbak bicara belum beres sudah dipotong sih," kilah Mbak Anggra tak mau disalahkan. "Tapi bukankah lebih mudah kalau materinya tidak berkutat soal eksakta saja? Lagipula kau kan cerdas, kupikir itu bukan masalah besar."
"Memang sih. Aku tidak perlu belajar materi-materi itu sebelum berangkat," Rista terdiam sesaat. "Tapi ini terasa seperti permainan, dengan aku yang menjadi badutnya. Tapi kalau kupikir lagi, mustakhil ini main-main kalau Bu Hema saja memintaku mengajar tiga kali seminggu, tanpa mempermasalahkan bayaran. Biayanya besar loh."
"Mungkin ibunya sangat kaya?"
Rista menggeleng. "Untuk ukuran orang-orang kaya di perumahan itu, ibunya biasa saja."
"Aneh," Mbak Anggra ikut termenung. "Aku jadi ingat satu syarat tambahan."
Rista spontan menegakkan bahu. Menunggu Mbak Anggra melanjutkan ucapannya.
"Juga jangan banyak bertanya," Mbak Anggra menatap Rista lekat-lekat. "Begitu permintaan Bu Hema."
Keduanya saling tatap, dan saling bergidik membayangkan apa saja yang mungkin terjadi. Mbak Anggra tidak siap mental menghadapi berita asusila atau apapun yang menyangkut pengajar yang satu ini.
"Begini saja, kalau kau merasa dirimu terancam, segera hubungi kantor. Mbak akan membatalkan kontrak dengan alasan pengajar merasa terancam bahaya."
"Sepertinya, sebelum kantor bertindak, aku sudah kenapa-kenapa deh."
"Ya sudah kubatalkan saja sekarang?"
"Eh jangan," Rista buru-buru menahan Mbak Anggra yang sudah mengangkat gagang telepon. "Bayarannya lumayan. Kapan lagi aku mengajar privat dengan harga setinggi ini, kan? Hanya perlu mengajar seorang pula. Kurasa aku akan mencobanya dulu."
"Kau yakin?"
Rista mengangguk. "Kalau sudah menyangkut urusan perut, mau bagaimana lagi?"
Urusan perut adalah segala-galanya buat Rista. Uang beasiswa hanya cukup membayar uang kuliah, sementara untuk makan sehari-hari ia butuh tambahan penghasilan. Sebelum ini Rista pernah mencoba peruntungan apa saja. Mulai menjadi asisten pratikum, pelayan kafe, sampai distributor buah sekitar kampus. Rista tipikal tidak ingin merepotkan orang tua. Selama tujuh semester kuliah, Rista tidak pernah meminta kiriman dari rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
phobia [completed]
Romance"Sounds like we are playing, not studying?" Itu pertanyaan Rista pada Mbak Anggra saat mendengar kriteria pengajar yang dibutuhkan oleh seorang wali murid. Didesak kebutuhan mengenyangkan perut, tanpa berpikir panjang Rista menerima tawaran mengajar...