Satu

1.7K 63 2
                                    

Rutinitas hari Jum'at Rista selalu sama. Dia akan pergi ke lembaga bimbingan belajar pukul empat sore. Bukan untuk mendapat pelajaran tambahan, melainkan bertemu Mbak Anggra untuk mengisi daftar hadir, memborong setumpuk buku di ruang pengajar, basa-basi dengan Pak Ujang yang merupakan pengajar senior, dan keluar dari sana sepuluh kemudian dengan terburu-buru. Pembicaraan Pak Ujang selalu membuatnya terlambat lima menit untuk sampai di rumah muridnya, membuat Rista sering kena tegur dari wali murid yang merasa sia-sia telah membayarnya.

Puncaknya hari ini; dia diberhentikan tidak manusiawi dengan cara memencet bel pagar berulang kali, telfon tidak diangkat, menunggu lebih dari setengah jam, dan saat sebuah mobil akan masuk rumah, kaca mobil dibuka. Seorang wanita, yang tak lain adalah ibu muridnya, melongokkan kepala dan berkata, "Saya sudah bicara dengan Mbak Anggra untuk mengganti tenaga pengajar." Kemudian kaca mobil ditutup, dan Rista terhenyak di tempatnya dengan memasang muka bodoh.

"SIAAAAAALLLLLL!!!!"

Rista hanya bisa mengumpat. Memaki betapa sialnya ia sudah terburu-buru datang dan mengorbankan separuh lebih uangnya untuk naik ojek online. Rista tidak punya motor sendiri. Dia lebih memilih naik angkot biru muda, khas Bogor, untuk membelah jalanan Dramaga yang macet dan penuh klakson di mana-mana. Hanya satu wali murid itu, Bu Widya namanya, yang sangat cerewet dan tidak toleran terhadap keterlambatan. Padahal tahu sendiri, jalanan Dramaga semacet apa kalau sudah pukul empat sore; bis MGI yang memenuhi setengah jalan, angkot ngetem sesuka hati seolah jalannya sendiri, dan kerumunan motor mahasiswa yang pulang kuliah. Tidak sebanding antara gaji dan perjuangannya untuk sampai tempat ini. Sebuah rumah elit daerah Cimanggu.

Sikap Bu Widya tidak bisa disalahkan juga, mengingat wanita itu yang membayar jasanya. Anak Bu Widya masih SMA. Cowok bernama Vino yang setidaknya butuh seribu tahun untuk membuatnya memahami matematika. Mungkin Bu Widya sibuk bekerja sehingga kurang memahami separah apa anaknya dalam belajar; tidak pernah berkonsentrasi, hobi menggoda Rista dengan meminta sebagai pacarnya, dan terang-terangan berkata sangat membenci matematika. Rista kewalahan menghadapi Vino. Berbagai metode belajar sudah dia terapkan namun tetap hasilnya nol besar. Siapapun pengajarnya, kalau sikap Vino tidak berubah, Rista khawatir Vino tahun ini akan tinggal kelas –lagi.

Usai menghadapi pemutusan kerja secara tidak hormat, Rista memutuskan kembali ke kantor. Dia akan menemui Mbak Anggra dan menuntut tambahan gaji, sebagai kompensasi menunggu di depan rumah, uang saku menipis untuk transportasi, dan belum lagi mood-nya yang berantakan. Hari Jum'at selalu membuatnya sakit kepala.

Mbak Anggra, yang Rista kenal sejak setahun lalu sebagai petugas administrasi kantor, melambaikan tangan begitu Rista setengah membanting pintu masuk. "Hai Rista–"

"Bu Widya tadi ke sini?" potong Rista tanpa membiarkan Mbak Anggra menyelesaikan sapaannya.

Mbak Anggra heran mendapati Rista seperti mau marah-marah. "Tidak. Hanya saja beliau menelfon–"

"Dan memintaku diganti?"

Mbak Anggra mengangguk.

"Siapa yang jadi penggantinya?"

"Mas Beni–"

"Nah mampus!" Rista spontan tertawa puas. Rasa kesalnya mendadak lenyap. Dia memberi jempolnya pada Mbak Anggra yang menatapnya kebingungan.

Siapapun tahu Mas Beni. Laki-laki galak yang siap mengajar dengan gaya spartan; tidak memberi waktu untuk beristirahat pada murid-muridnya. Mas Beni juga bukan tipikal pengajar sabar yang menuntut muridnya memahami materi seperti anak TK, yang harus dijelaskan satu-persatu dengan runut dan lemah lembut. Mas Beni hanya menjelaskan poin-poin pentingnya, kemudian muridnya sendiri yang akan menalar. Kalau sekelas Vino yang mari-katakan-saja-dia-malas-bukan-bodoh, mendapat pengajar Mas Beni sungguh benar-benar cobaan. Bu Widya akan menyesal telah memecatnya.

phobia [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang