"Apakah kau ada waktu pagi ini? Kalau mau, ayo main basket di Sempur. Akan kujemput setelah ini."
Sekarang hari Rabu, dan sms Damar di pagi buta membuyarkan fantasi Rista untuk menarik selimut lagi. Sudah berminggu-minggu dia tidak bermain basket. Semua ototnya sudah kaku dan butuh peregangan. Tawaran yang menyegarkan di saat Rista butuh hiburan. Tanpa ragu Rista menerima ajakan Damar. Hitung-hitung sekalian menanyakan soal Gamal.
"Oke tunggu ya. Berdoa saja semoga tidak macet. Omong-omong, dimana alamat kosmu? Bisakah kau membagi mapnya? atau kita bertemu di kampus?"
Saran yang bagus, pikir Rista setuju. Damar tak harus mengetahui dimana kosannya. Mereka akhirnya membuat janji bertemu di pertigaan ujung Bara, dekat jalan utama yang melewati kampus IPB.
Damar datang satu jam kemudian dengan membawa mobil. Dia mengeluh jalanan mulai macet, dan menyesal mengapa tidak membawa motor saja. Akan lebih cepat sampai tanpa resiko terjebak macet. Rista yang empat tahun berada di Dramaga menyarankan Damar lewat jalur belakang kampus. Palingan hanya penuh mahasiswa yang berangkat kuliah --jauh lebih baik daripada macet jalan raya Dramaga yang bikin sakit kepala.
"Gamal tahu kak Damar pergi denganku?"
"Tentu saja tidak," jawab Damar mantap sembari terkekeh. "Ada untungnya dia tidak peduli denganku. Tidak mungkin dia mengurusi kemana aku pergi."
"Dan untung saja dia fobia keramaian, jadi dia tidak akan menemukan kita main basket berdua," imbuh Rista.
"Benar sekali--"
"Kita seperti bermain petak umpet saja, dan rasanya aku seperti penjahat yang sedang mengkhianati kepercayaan seseorang," keluh Rista geleng-geleng kepala.
"Hay jangan merasa bersalah. Toh kita tidak sedang merencakan konspirasi yang akan membunuhnya, kan?"
"Benarkah?" Rista menyelidik Damar yang sedang menyetir dengan curiga. "Kakak tidak akan melakukan apapun padanya? Aku masih ingat kak Damar pernah berkata ingin memperbaiki sesuatu yang sudah rusak. Bagaimana kakak bisa dengan santai menyamakan Gamal dengan, selintas saja, seperti suatu barang?"
"Ya ampun kau curiga aku akan mencelakai adikku sendiri?" Damar tak menyangka Rista akan berpikiran buruk mengenai ucapannya. "Sebaiknya kita berdua harus sering-sering main agar kau lebih mengenal isi kepalaku. Gamal sudah sakit. Buat apa aku ingin menghancurkannya lagi?"
"Dia berpikir seperti itu..."
"Apa?"
"Gamal tidak mengatakannya secara langsung, tapi aku bisa membaca matanya."
"Aku heran mengapa dia membenciku sebanyak itu. Memang salah ya dilahirkan ganteng, pintar, berkharisma--"
Sebelum Damar selesai memuji dirinya sendiri Rista sudah geleng kepala sembari tertawa terbahak-bahak. Damar yang menyetir mobil ikut tertawa. "Loh, nggak salah, kan? Itu fakta."
"Itu kepedean," koreksi Rista tak terima. "Baru ini aku menemukan satu spesies manusia yang suka memuji diri sendiri."
"Aku tidak kepedean Rista. Kau belum tahu saja. Pesonaku ini membahayakan loh," ujar Damar terkekeh. "Jangan sampai kau naksir ya!"
Sontak Rista tertawa terbahak-bahak. Lama sekali. "Tenang saja itu tidak akan terjadi!" sergahnya sembari menahan tawa hingga perutnya terasa sakit.
Akhirnya mereka sampai di Sempur. Sebuah tempat olahraga untuk masyarakat Bogor yang terdiri dari lapangan bola, jogging track, lapangan basket, lintasan sketboard, dan beberapa warung penjaja makanan. Damar memarkir mobil di bawah pohon Menteng. Rista turun dari mobil, kemudian menunggu Damar yang mengambil bola di kursi belakang. Mereka berjalan beriringan menuju lapangan basket yang hari ini tumben kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
phobia [completed]
Romance"Sounds like we are playing, not studying?" Itu pertanyaan Rista pada Mbak Anggra saat mendengar kriteria pengajar yang dibutuhkan oleh seorang wali murid. Didesak kebutuhan mengenyangkan perut, tanpa berpikir panjang Rista menerima tawaran mengajar...