Delapan Belas

296 31 3
                                    

Rista melihat sebuah keluarga duduk di meja makan. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuan manis berkepang dua. Mereka makan lahap sekali. Masing-masing sibuk menghadapi piring hingga tidak ada yang bicara. Apalagi anak perempuan itu minta tambah lauk ayam goreng dan tempe bacem. Sepertinya dia sangat kelaparan.

Ayah dan ibu anak perempuan itu selesai makan lebih dulu. Si ibu membereskan sisa makanan sementara ayah mengambil pematik untuk mengisap rokok. Anak perempuan itu masih di meja makan. Belum menghabiskan paha ayam ukuran besar. Kesunyian keluarga itu terganggu oleh dering telepon dari ruang tamu. 'Berisik. Cepat angkat!' perintah ayah terganggu. Ibu buru-buru menyelesaikan cucian piringnya. Beliau lari untuk mengangkat telepon yang deringnya meraung-raung.

Ibu bicara dengan si penelpon di ujung lain. Suaranya mengeras. Ada amarah yang menguasai ubun-ubunnya hingga anak perempuan itu bisa menangkap bayangan serupa asap. Anak perempuan itu masih saja makan saat ibunya membanting telepon, menghampiri ayahnya, dan berteriak-teriak. Mengucapkan serapah marah, dan kata-kata yang sama sekali tidak dia pahami. Kata-kata seperti selingkuh, lonte, hamil, tanggung jawab, dan pergi dari rumah, terus diulang-ulang oleh ibunya.

Anak perempuan itu tetap makan. Berusaha menikmati gurih ayam goreng yang menari-nari di lidahnya. Tak peduli piring, mangkuk, gelas, dan semua benda yang berbahan dari kaca pecah di mana-mana.

Seolah disedot lubang hitam, Rista melompat ke baris lain waktu. Masih dengan anak kecil yang sama.

Anak perempuan itu sedikit lebih kecil dari kejadian di meja makan. Mungkin dua tahun lebih muda. Rista yang menyender pada dinding ruang keluarga mendapati anak perempuan itu baru saja pulang. Dia mengendap pelan-pelan. Takut membangunkan ibunya yang biasanya lelah setelah seharian membersihkan rumah.

Letak kamar anak perempuan itu dekat dengan dapur yang berada di belakang. Dia harus melewati kamar ibunya untuk bisa sampai kamarnya sendiri. Kamar ibunya sedikit terbuka. Mungkin ibu lupa menutup rapat, batinnya. Dia terus saja berjalan mengendap-endap, hingga suatu ketika pendengarannya menangkap suara terengah-engah. Suara itu berasal dari kamar ibunya. Suara yang menarik perhatian anak perempuan itu untuk mendekat. Dia penasaran apa yang terjadi pada ibu.

Melalui celah pintu, anak perempuan itu melihat ibunya tengah bermain kuda-kudaan dengan orang lain yang bukan ayah. Permainan seru sekali. Dia bisa mengetahui dari ibunya yang terengah-engah dan bulir-bulir keringat mengalir dari tubuhnya yang telanjang. Orang lain yang bukan ayahnya itu menggelayut pada ibunya seperti tentakel gurita yang tidak mau lepas. Keduanya seru sekali hingga tidak menyadari anak perempuan itu sejak tadi mengintip.

Pelukan, sentuhan dari kulit ke kulit, membuat anak perempuan kecil itu mengigil.

Rista tidak melakukan apa-apa, tidak mengatakan apa-apa, saat bayangan anak perempuan yang tengah mengintip ibunya itu berganti dengan sebuah kamar gelap.

Rista mengedarkan pandangan. Banyak kertas yang ditempel di dinding. Masing-masing kertas berisi berbagai macam gambar dari krayon. Ada bangunan taman bermain, boneka beruang, istana pasir dengan latar sebuah pantai, petak-petak sawah yang dekat dengan gunung, dan potret sebuah keluarga. Ada ibu, ayah, dan anak perempuan yang saling berpegangan tangan. Gambar yang polos sekali.

Seorang anak perempuan tiba-tiba masuk kamar. Anak perempuan itu sepertinya sedang kesal. Dia melemparkan diri di atas ranjang dengan suara debum yang sengaja terdengar. Anak perempuan itu sepertinya merajuk, entah soal apa. Kemudian ayahnya masuk kamar. Dengan sabar ayah jongkok di pinggir ranjang. Berusaha membujuk anak perempuan itu dengan kata-kata manis yang terasa penuh kebohongan di telinga Rista. Ayah anak perempuan itu mengelus-elus tangannya. Meremasnya dengan lembut. Sentuhan yang dirasa Rista lain. Lebih dalam dan intim. Entah apa yang dikatakannya, ayah anak perempuan itu melepas seluruh baju anaknya. Tak berselang lama, laki-laki itu juga melepas bajunya sendiri.

phobia [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang