Agoraphobia adalah salah satu gangguan kecemasan pada manusia, di mana penderitanya merasa ketakutan yang berlebih atas tempat atau situasi yang dapat menimbulkan rasa panik, malu, terjebak, atau tidak berdaya. Tempat atau situasi tersebut dapat meliputi tempat terbuka dengan banyak orang, transportasi umum, atau pusat perbelanjaan. Kebanyakan penderita agoraphobia akan menghindari tempat-tempat ramai untuk mengurangi serangan panik.
Rista menemukan penjelasan itu saat mengunjungi internet. Pantas selama ini Gamal seolah anti dengan dunia luar; malas membuka pintu, menutup seluruh jendela dengan tirai, dan yang paling mencolok adalah tidak memiliki teman. Apakah Gamal selama ini tidak merasa kesepian?
Ah, cowok brengsek seperti dia sih, masa bodoh tidak memiliki teman, rutuk Rista yang masih saja kesal.
Kemarin Damar meminta nomor handphonenya setelah mengantar Rista pulang. Berjaga kalau ada keperluan mengenai Gamal. Rista tidak keberatan. Selama ada sesuatu yang bisa dilakukannya dia akan membantu. Damar berkata besok dia akan menemuinya lagi selepas Rista pulang dari laboratorium. Ada sesuatu yang ingin Damar diskusikan.
Siang ini Rista menemui Mbak Anggra. Belum juga menanyakan apakah Bu Hema memecatnya, Mbak Anggra sudah lebih dulu tersenyum sembari melambaikan sebuah amplop cokelat. Rista tersenyum sedikit, lebih kepada prihatin atas nasibnya yang kehilangan pekerjaan lagi. Dia masih tidak percaya Gamal benar-benar melakukannya. Mungkin memang nasibnya dipecat dengan cara tidak terhormat; selalu menunggu di depan gerbang, dengan setengah jam menunggu Bu Widya dan sekarang Gamal memberhentikannya dengan cara yang sama, hanya bedanya dia sempat masuk dan melihat pertengkaran ganjil antara kakak dan adik.
"Kali ini ada apa lagi Ris?" tanya Mbak Anggra sembari mengangsurkan amplop.
Rista mengedikkan bahu. Malas mengingat kejadian kemarin. "Mungkin nasibku sedang sial. Ada tempat baru lagi untuk menambang emas, mbak?"
"Belum ada permintaan baru, Ris. Bagaimana dong?"
"Ya sudah, aku menganggur saja dulu. Mungkin ini teguran Tuhan agar aku fokus sedikit ke skripsi."
"Oh ya bagaimana skripsi? Lancar? Masih pergi ke Sindang Barang buat penyerbukan?"
"Ya begitu lah. Aku makin jadi makhluk nokturnal, selain pagi menuju siang di lab dan siang menuju sore di rumah Bu Hema."
Mbak Anggra tersenyum prihatin. "Maaf ya aku tidak membantu."
"Bantu dana juga boleh kok mbak," Rista mengikik. Mbak Anggra memonyongkan bibir. "Atau kalo mbak bermurah hati, bisa lah traktir makan. Tanggal tua nih dompet menipis."
"Lah ini di amplot kan duit."
"Uang pesangon mana bisa buat jajan sih, mbak." Rista memasang wajah sedih. "Amplop ini pertanda aku nggak punya pekerjaan lagi."
Bersamaan dengan wajah pura-pura sedih Mbak Anggra yang menepuk-nepuk bahu Rista, kantong celananya bergetar. Ada telfon masuk. Rista buru-buru menariknya dari saku celana. Mungkin dari Damar.
Nama Gamal yang berkedip-kedip di layar handphone.
Rista mengerutkan dahi. "Sebentar ya mbak."
Mbak Anggra mengangguk mengerti. Rista menjauh mencari tempat sepi.
"Halo."
"Hai,"
"Ada apa telfon?" Rista memasang suara cuek.
"Kau sudah terima uangnya?"
"Sudah. Barusan."
Jeda sesaat. Hembusan napas Gamal terdengar. "Aku minta maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
phobia [completed]
Romance"Sounds like we are playing, not studying?" Itu pertanyaan Rista pada Mbak Anggra saat mendengar kriteria pengajar yang dibutuhkan oleh seorang wali murid. Didesak kebutuhan mengenyangkan perut, tanpa berpikir panjang Rista menerima tawaran mengajar...