Siapa Lintang?

613 25 3
                                    

JIKA aku adalah Lintang, maka mengapa akta dan semua data namaku adalah Cinta Dinara Wati bukan Lintang. Dan apakah Kasih benar adikku? Mengapa kami terpisah hingga sepuluh tahun, dan apa arti semua ini? Sungguh kebenaran adalah hal yang membingungkan, Cinta masih bertanya dengan dirinya sendiri dengan menatap ruang kosong tanpa fokus, sesekali memandang papah yang masih larut dalam tidur panjangnya. Aku berharap papah dapat segera sadar dari komanya sehingga dapat menemaniku saat ini yang sangat membutuhkan papah.

Besok masih ada jadwal ujian bahkan masih ada ujian susulan yang menantiku, apa yang akan tercetak dalam nilai ujianku, entah baik ataupun sebaliknya. Akhir-akhir ini justru aku tak memikirkan sediki tpun tentang masa depan paling terrumit yang aku hadapi. Memikirkan semua itu sangat menguras energiku, aku memutuskan istirahat setelah lelah tak sanggup lagi memikirkan semua masalah hidupku dari masalah masa kini, masa lalu bahkan masa depan.

Malam semakin larut membawa hening dan tenang dalam rambatan berkas cahaya bulan dari jendela kamar rumah sakit, beberapa kali aku terbangun dari tidur dan kemudian menatap ruang, bayangan masa lalu yang sekian tahun menghilang tiba-tiba muncul menghantui pikiranku.

"Liiiiinnnnnntaaaaaaang," gelombang suara itu merambat akhirnya sampai di gendang telingaku, suaranya samar memangil dan sepertinya aku mengenali suara itu.

"Ichi? Dimana kamu? Muncullah katanya kamu akan membantu aku untuk mengingat semua masalalu ku? Mana buktinya?"

"Hai Tang?" Boneka itu seketika muncul di samping kursi yang aku gunakan untuk istirahat. " kenapa kamu kaget ? bukankah kamu yang mengundangku datang, hehe bersabarlah di waktu yang tepat semua akan kamu ketahui."

Tapi kapan Ci? kapan? belum genap aku bertanya dia kembali menghilang. Namun ada secarik kertas yang ia tinggalkan kepadaku dalam bentuk lipatan hati. Aku membuka lipatan kertas itu dan memeriksa tulisan apa yang ada di dalamnya.

Terasing

Waktu tak dapat dibatas, begitu pula dengan langkah kaki yang kian menjauh.

Terkadang sampai singgah di beberapa tempat asing. Jauh terasing sehingga menyendiri merupakan jawaban akhir. Sekian jauh mencoba akan semakin dalam hingga larut dalam sekat waktu.

Berkali-kali aku mencoba memaknai kalimatnya namun nihil tetap saja aku tak mengerti arti dari semua rangkaian kata dari secarik kertas dari Ichi. Walaupun aku pintar dalam hal sastra indonesia, namun entah diksi apa yang di tuliskan dalam kertas Ichi aku tak paham, sedikit pun. Sampai aku kembali terlelap dalam waktu sepertiga malam menuju pagi.

Hawa dingin malam terganti hangatnya mentari pagi yang mulai merekah dari ufuk timir. Semburat sinar cerahnya membawa keceriaan yang terlahir kembali.

Kasih masih sibuk menyiapkan makan pagi untuk kami sekeluarga termasuk papah, semenjak dia datang dari Sumatra, dia selalu menyiapkan makanan untuk papah. Walau dia tahu kenyataanya makan itu sering kali ia makan sendiri, seperti buah-buahan yang ia kupas dan semangkuk bubur.

Ia melakukannya karena dengan harapan bahwa nanti sewaktu papah sadar, papah tidak akan kelaparan dan akan Kasih suapi dengan makan yang telah ia siapkan. Kasih kini memiliki kebiasaan baru dari pondok om yaitu bangun pagi sebelum waktu Subuh, beda sekali dengan dahulu yang selalu dibangunkan mamah untuk bersiap ke sekolah. Kasih justru kini lebih dewasa dan mandiri dari sebelumnya.

Aku yang asik mengagumi perubahan yang dialami Kasih sambil melamun akhirnya ketahuan adikku. "Apa'an si kak, senyum-senyum liatin aku, entar Kakak naksir aku gimana hayo." Apa yang harusku katakan nyatanya beberapa minggu di pondok merubah banyak kebiasaan buruk adikku menjadi lebih baik. Tanpa aku jawab gurauan adikku dengan kalimat, cukup dengan senyuman dia pun mengerti apa maksudku.

"Kakak bersiap ke sekolah sana, katanya mau ujiankan? Oiya tadi ada pesan dari kak Sasa dan Berta kata mereka, akan menjemput kakak 10 menit lagi."

"Oiya de hehe Kakak lupa, Kakak kira bakalan ada Wulan yang njemput kakak. Tolong kamu kabarin Wulan yah de, kalau nanti Kakak berangkat bareng Berta juga Sasa."

"Siap Boskuh." Kasih memang mempunyai ponsel, mungkin harta kami yang tersisa yah ponsel Kasih. Karena ponsel Papah dan aku sudah masuk penggadaian untuk makan sehari-hari.

Aku segera bersiap untuk berangkat ujian, tanpa belajar sedikit pun. Kali ini jadwalnya adalah Bahasa Inggris. Kalaupun belajar atau tidak sama saja bagiku, sama-sama tidak bisa dan berakhir jurus jitu logika Matematika dan mengarang bebas.

Tepat 10 menit setelah dibacakan pesan oleh Kasih mereka datang dan kami bertiga berangkat bersama. Untuk soal kertas berlipat hati itu menghilang setelah aku terbangun dari tidur, entah menghilang atau dibereskan oleh Kasih. Kalau pun hilang aku tidak terkejut lagi karena apa pun yang berhubungan dengan boneka merah jambu itu ANEH dan akan selalu aneh seperti boneka yang menyebut dirinya Ichi itu.

Selama perjalanan aku memilih untuk diam dan tidak masuk ke dalam obrolan Sasa dan Berta, karena obrolan mereka tak begitu penting bagiku. Samar-samar aku dengar mereka banyak menyebut nama Rasya, entah ada masalah apa mereka bertiga sepertinya akhir-akhir ini merenggang hubungan persahabatannya.

Kami sampai tepat waktu sebelum ujian di laksanakan, tepat di ujung lorong menuju ruangan ujian Wulan berdiri menghadangku. Dia bermain kode mata yang berarti bertanya mengapa aku berangkat bersama Berta dan Sasa, aku hanya menjawab kode itu dengan mengangkat kedua bahuku menandakan sesuatu ungkapan yang berati entahlah dan bodo amat alias tidak perduli.

Wulan kesal dengan respon jawaban dari kodenya akhirnya dia menyeret tanganku dan membawa aku menjauh dari keramaian lorong menuju ruang ujian. Dengan melihat gerak-geriknya seperti ada sesuatu yang sangat penting dia bicarakan padaku sehingga tidak mau ada orang lain yang mengetahuinya selain kita berdua.

"Apa'an si Lan, lepasin, sakit tau!" aku berusaha melepaskan genggamannya pada tanganku. " Cinta, kenapa mereka mendekatimu? Jangan-jangan Rasya punya rencana jahat untuk kamu lewat mereka berdua."

Muka Wulan kelihatan serius dan juga menghawatirkan aku, aku hanya menatapnya kembali dan mengelengkan kepalaku. Setelah itu aku meninggalkan Wulan dan beranjak memasuki ruang ujian. Aku sedang malas untuk memperdebatkan tentang Rasya jadi aku tinggalkan Wulan.

"Wat! aku belum selesai ngomong! " kata Wulan dengan nada kesal dan meniru suara lantang khas toa masjid Cinta.

Tanpa menghiraukan perkataan Wulan, Cinta tetap melanjutkan langkahnya meski mendengar dengan jelas omelan sahabatnya yang setengah kesal padanya. Hari ini sungguh Cinta malas membahas semua hal tentang Rasya bahkan untuk mendengar namanya Cinta pun senggan.

Ujian berjalan lancar seperti biasanya, tidak ada kenala yang muncul seperti sistem yang mati mendadak atau pun mati listrik yang ditakutkan kebayakan siswa tidak terjadi.

Setelah sifat ketidak pedulian Cinta menimbulkan kekesalan pada Wulan. Wulan yang sedari tadi menunggu Cinta sendirian tanpa adanya Berta dan Sasa. Saat itu tiba, Cinta izin meninggalkan mereka saat duduk ngobrol makan di kantin. Cinta menuju ke WC, dibuntutilah Cinta oleh Wulan. Cinta yang merasakan ada seseorang yang mengikutinya sadar langsung bergerak semakin cepat. Melihat semua itu Wulan justru semakin cepat bahkan dia hingga berlari mengejar Cinta.

"Cinta, kamu kenapa si ? hari ini aneh banget?" kata Wulan setelah sampai di depan Cinta, ia menghadang dan meminta penjelasan akan sikap acuh tak acuh Cinta. " Engga Lan, semuanya baik-baik saja." kalimat yang simple yang bukan merupakan jawaban yang di harapkan Wulan, jelas-jelas Cinta berubah hari ini menjadi Cinta yang tidak perduli pada Wulan. Wulan yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi pada Cinta yang mengganggu pemikirannya sehingga dia bersikap seperti itu.

CINTA UNTUK WATI (365 Days With You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang