SENJA mulai datang menghiasi jagat rayaku, alat penunjuk waktu menandakan pukul 3 sore. Wati berjalan cepat selaras dengan alunan hatinya yang terus berdetak kencang tak karuan. Sedangkan Wulan, dengan santainya dia duduk ditepi taman dengan buku Diary Wati di tangan kanannya.
"Wati, Wati, sebenarnya kamu itu cantik Ti, namun kenapa krcantikan kamu itu kau kubur dalam-dalam dengan penampilan polosmu itu?" Bertanya dalam hati sembari mengagumi wajah wati.
Wulan adalah anak yang bertanggung jawab dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi, dia tidak akan semena-mena membaca buku diary yang memang benar-benar privasi seseorang. Jadi jika Wati mengira Wulan tau segalanya tentang rahasia terbesarnya itu jelas salah.Tidak lama kemudian Wulan dikejutkan seseorang. Namanya saja dikejutkan pastilah mendadak shok kaget, seseorang datang pada Wulan dengan menepuk pundaknya sangat keras dari belakang serta berkata Dor.
"Dor!!!"
"Eh dor, iya dor"
"Wkwkwk dor apaan Lan, emang ada Belanda mau perang peluru, dor, dor, dor."
"Yah. Kamu Wat, ngagetin aja, nanti aku berubah pikiran ngak jadi ngembalikan buku kamu gimana?" (Wulan memang sedikit latah)
" Iya, iya,canda doang, lagian, siapa suruh nglamun sendirian? Cengengesan pula. BTW. Kembalikan dong privasi orang itu tau."
"Iyah aku tau kok Cinta"
"Tau kok kamu baca buku aku?" Aku menaikan nada dua oktaf padanya habisnya aku kesal."Oh itu engga kok, engga semuanya aku baca, itu tadi tidak sengaja jatuh, lalu terbuka dengan sendirinya, jadi saat aku ambil tidak sengaja membacanya."
"Serius?"
"Iya serius, dua rius, tiga rius titik tiga. Sampai bermilyar rius dah. Lagian cuma buku diary, kayak rahasia militer negara aja hehe."
"Emang" (skak mat aku keceplosan lagi, dan lagi-lagi mulutku berhianat denganku.)
"Ya udah sini duduk dulu gih, dari pada ngomel-ngomel mulu, sambil berdiri apa ngak cape Wat?"
"Hehe, iya si, serasa jadi guru BK deh aku."Percakapan dengan bumbu canda tawa itu mencairkan suasana keheningan taman. kekonyolan kami masing-masing ternyata memiliki selera humor yang sama, buku diary aku kembali, dan rasanya sepenggal rasa takut di hatiku mulai hilang.
"Wati, tujuan aku kita bertemu disini satu yaitu untuk mengajakmu gabung bersama komunitas teaterku, mau engga? Aku melihat kamu berbakat dalam bidang teatrikal khususnya dalam bidang penyusunan naskah cerita, aku melihatnya dari susunan kata dalam diarymu."
"Oh teater tentu saja mau, oke siap"
Teater adalah ekstakulikuler yang dibimbing dan diatur oleh Wulan sendiri, sebagai salah satu program kerjanya menjadi seorang ketua Osis yang terpilih dalam masa jabatannya. Acara yang ia siapkan proposalnya berhari-hari sibuk di sekolahan tidak sempat pulang apalagi memikirkan makan. Acara itu adalah pentas seni komunitas teaternya untuk pertunjukan perdananya di sekolah. Tentu saja Wati alias Cinta sangat setuju dengan tawaran Wulan, jiwa teatrikalnya belum sepenuhnya terkubur Wati tetaplah Cinta yang sangat mencintai Seni yang telah lama mendarah daging dengan jiwanya. Merupakan jatidiri sesungguhnya seorang artis dan modeling pun muncul begitu saja.
"Wat, sabtu besok kami bakalan ada rutinitas latihan bareng buat acara pensi kamu ikut yah, di sanggar tari pukul 2 siang oke."
"Siap Pak Ketos" Tertawa ceria aku melupakan semua masalah yang hadir dalam hidupku karenanya, dia yang dapat mencuri separuh hatiku Wulan.
"Sip, bisa aja kamu Wat" Wulan membalas senyumanku, dia memancarkan wajah bahagia, aku tidak tau apakah ini perasaanku saja atau tidak, sepertinya ada yang berbeda dengan cowo ini.
Mentari kian menyemburkan semburat sinar jingga, seketika menciptakan suasana senja yang sempurma Maha Indah Jagat Raya. Wulan berinisiatif untuk mengantarku pulang, kali ini dia seperti biasa membawa sepedanya seperti halnya julukkan dariku untuknya pangeran bersepeda. Aku duduk di depan pedal sepedanya, Mungkin bukan tempat duduk yang nyaman di sana untuk nebeng, namun terasa nyaman bila itu aku lalui bersamanya.
Kami mengambil rute yang lebih jauh dari rute pertama kami datang ke taman, maksudnya Wulan membawaku berputar-putar menjelajahi kota Jogja dari segi suasana alam yang berbeda. Angin menyambut kami dengan hangatnya sinar jingga, bunga ilalang tersebar luas mengelilingi perjalanan kami. Entah kemana dia membawaku, yang jelas rute ini tak pernah aku lalui sebelumnya.
Jauh dari keramaian kota, disana sangat damai, tanpa ada suara kendaraan yang lalu lalang. Bahkan suara burung, bebek di sungai pun terdengar. Sebuah sisi indah dari Jogja yang belum pernah aku ketahui. Seperti halnya memasuki negeri dongeng. Tempat yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya dan aku lihat sebelumnya.
Di desa didikkan Wulan, disana terdapat sekolah yang Wulan dirikan SD Cita-Cita namanya. Selain itu terdapat hamparan perkebunan cokelat milik ayah Wulan yang sangat luas, terdapat pula Rumah sapi perah yang dikelola bunda Wulan. Kami menyelusuri desa binaan tersebut bersama beberapa penggal kisah dari Wulan.
Ayah Wulan, seorang pembisnis yang sukses, kaya raya yang memulai bisnisnya sari nol. bunda Wulan pun sama beliau memiliki toko susu fermentasi menjadi Yogurt yang terkenal di Jogja, mereka sukses karena akhlak pribadi mereka yang budi pekerti luhur sehingga tiga tahun terakhir ini mereka dapat sukses di pulau rantau, bahkan menjadi salah satu keluarga yang bersahabat baik dengan keluarga kesultanan Jogja sendiri.
Wulan mengatakan banyak warga Jogja yang dapat pekerjaan karena bisnis ayah-bundanya. Nah dari sana Wulan memberikan untuk papahku kerja lebih baik. Sungguh Wulan adalah bentuk malaikat tak bersayap yang diturunkan Tuhan untukku.
Hari semakin petang, waktu cukup singgat jika bersamanya. Aku mendapatkan bingkisan buah cokelat matang dan Susu sapi segar. Dia sangat dermawan, dan dia juga sederhana dengan semua yang dia miliki. Itu membuat aku tambah kagum padanya, dia mengantarku sampai rumah. Bertemu dengan papahku, dan menurut papah sudah pernah bertemu dengan Wulan di jalan. Wulan pernah menolong papahku saat pingsan di jalan karena papah belum terbiasa kerja menjadi kuli sapu, dan saat itu pula papahku kelaparan. Wulan mengantarkan papahku ke rumah makan dan mengantar papahku pulang dengan mobilnya. Itu sementara yang aku tau dari papah.
Dan sepertinya Wulan sudah tau kondisi dan masalah yang dihadapi papahku. Mereka berjabat tangan dan saling tersenyum dengan akrabnya. Senja itu sungguh sempurna aku bersama seorang malaikat tak bersayap, namun bersepeda yang menolong kemonokroman hidupku menjadi berwarna bak pelangi. Selekas Wulan pulang Pelangi terpancar terang di hatiku. Karenanya dia, dia, pangeran bersepedaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA UNTUK WATI (365 Days With You)
Fiksi RemajaTerima kasih 365 Days With You telah dibaca lebih dari 27,6 ribu readers dari tahun 2017. Kali ini penulis ingin merombak isi cerita dengan alur yang dikemas lebih menarik setelah memberi perubahan judul baru yaitu: CINTA UNTUK WATI. Semoga kisah re...