Two; Local bar.

227 36 8
                                    

[Agam]

This is just a bad day, not a bad life.

This is just a bad day, not a bad life.

This is just a bad day, not a bad life.

Or maybe this is a bad luck. Tsk, such a bad life.

Coba tolong beri gue contoh yang lebih bad dari pada mogok di tengah jalan Jakarta, yang sedang di guyur hujan deras, setelah lembur kerja. Mungkin sudah lebih dari 30 menit waktu yang terbuang hanya untuk melihat jajaran mesin dengan lampu remang-remang di bawah hujan, hingga akhirnya gue yang sudah basah ini memilih untuk menyerah dan menutup cap mobil lalu memutuskan untuk menunggu penolong hidup gue datang. Lucu ya, lulusan teknik mesin kok nggak bisa membenahi mobilnya sendiri.

"Aduh, mas, kalo kayak gini harus langsung di bawa ke bengkel aja. Nggak bisa selesai disini, apalagi hujan deras begini." Jelasnya di tengah-tengah bisingnya hujan dan suara kendaraan lalu lalang.

"Yaudah deh, Sep, lo bawa aja nih mobil."

"Lah? Mas Agam nggak ikut aja? Hujan loh mas." Iya, Sep, nggak usah lo bilangin juga gue udah lihat ini hujan. Tapi gue menggeleng dan menolak. Badan gue ini sudah lelah kalau suruh menunggu di bengkel. Pikiran gue sekarang ini sudah tertuju penuh pada secangkir teh panas dan kasur gue. Nggak bisa lah kalau harus dipaksa lihat alat-alat bengkel lagi.

Akhirnya gue dan Asep berpisah disana. Membiarkan dia membawa mobil gue dengan mobil derek yang ia bawa dan meninggalkan gue yang sekarang berjalan menyusuri pertokoan hanya untuk berlindung di atap kecil depan toko-tokonya. Karena disaat seperti ini, justru halte bus adalah hal tersulit untuk ditemukan.

Gue melangkah perlahan, bukan untuk menikmati hujan yang sudah membuat lengkap kesialan gue hari ini, tapi untuk membiarkan sisa-sisa air yang masih menempel di baju gue turun dan membuatnya agak lebih kering. Meskipun gue benci dengan kenyataan sekarang gue berjalan sendiri bersama hujan. Karena gue bukan penyuka hujan, walau gue pernah menjadi salah satu penyukanya.

Gue nggak suka dengan fakta bahwa hujan itu ada, nyata, bisa membuat seluruh tubuh kita itu basah karena yang ia turunkan itu air dan bukan uang. Tapi dulu gue pernah suka hujan, karena meskipun gue basah karenanya, setidaknya ada dia yang membuat gue ingin jadi bagian diantara air air yang jatuh. Karena dia yang bisa gue jadikan tempat berteduh meskipun gue sudah basah.

Gue masih ingat dulu pernah seperti ini juga, bejalan di depan pertokoan untuk berteduh dari hujan. Hanya bedanya, dulu ada dia yang ikut berjalan dengan gue hingga ujung gedung satu pertokoan, lalu berlari ke gedung selanjutnya dan berteduh lagi. Setelah itu taruhan, siapa yang paling banyak basahnya harus membelikan hot chocolate di kafe terakhir yang kita lewati.

Dan gue selalu kalah.

Atau lebih tepatnya mengalah.

Karena lihat dia yang sudah cukup basah dan kedinginan itu tersenyum saja sudah cukup membuat gue hangat. Tanpa sadar seutas senyum telihat jelas. Lucu ya, aku pikir hanya hujan sendiri yang datang malam ini, ternyata dia bawa kamu untuk ikut datang lewat memori.

Gue terkekeh pelan, lalu menghembuskan nafas panjang. Sebenarnya senang karena hujan mengingatkan gue akan dia, tapi nggak bisa bohong juga kalau gue mulai mengumpat setelahnya. Karena ternyata si andai juga ikut datang.

Andai saja hujan malam ini nggak gue nikmati sendirian, pasti akan jauh lebih menyenangkan dan tidak menyedihkan seperti sekarang. Tapi, ya, namanya juda andai, hanya akan jadi bulu yang mengambang di udara dan terus tertiup angin, sampai kita sendiri tidak tahu akan dimana bulu itu akhirnya jatuh dan berlabuh.

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang