Three; doing things.

186 29 10
                                    

[Dyra]

I probably have gone nuts.

Aku tidak mengerti darimana datangnya pertanyaan tersebut, mengapa juga mulutku ini tiba-tiba lancang menawarkannya untuk mampir ke tempat tinggalku. Meskipun niatku ini baik, hanya bermaksud menolong teman lama yang sedang basah kuyup supaya tidak masuk angin karena ini sudah malam. Masa iya aku tega meninggalkannya sendiri di kafe dengan keadaan basah dan masih hujan deras. Aku masih belum setega itu.

Sepanjang perjalanan menuju apartemenku, tidak ada satupun dari kami yang bicara. Aku sibuk fokus pada jalan, ini hujan deras dan membuat pandanganku cukup kabur karena air yang berjatuhan di kaca depan, di tambah lampu mobil yang dinyalakan itu ternyata tidak cukup terang untuk menerangi jalanan. Jadi aku harus ekstra hati-hati jika tidak ingin menghilangkan nyawa manusia di dalam mobil ini.

"Mau aku aja yang nyetir, Dy?" Ia sempat menawarkan bantuannya. Suaranya terdengar ragu-ragu. Maklum, ini pertama kali dia melihatku menyetir mobil, ditambah keadaan yang kurang mendukung.

Aku menggeleng, "nggak usah, aku bisa kok." Lalu tersenyum. Mencoba meyakinkannya kalau memang aku bisa mengatasi situasi ini.

Lalu hening lagi, mungkin ia sedang berdoa supaya aku masih dalam keadaan 100% aware dan dapat membawa kami selamat sampai tujuan.

And here we are, standing in front of my door. Sebelum aku menekan beberapa tombol nomor untuk membuka pintunya, lalu membiarkan kami masuk ke dalam.

"Maaf ya, Dy, jadi ngerepotin."

Aku terkekeh sambil membuka pintu, "Ngerepotin apa sih, Gam. Kamu kebiasaan." Ucapku asal. Iya kebiasaan. Agam selalu jadi orang yang jarang mau menerima bantuan karena takut merepotkan. Sampai terkadang aku harus marah dulu baru dia mau kubantu. Untung malam ini tidak begitu.

"Jelek ya kebiasaan aku?" Ia ikut terkekeh seraya mengikutiku masuk.

"Nggak jelek, cuma nyebelin aja terkadang." Aku mulai menyalakan lampu satu persatu. Meletakkan tas ku dan sibuk mencari handuk untuknya.

"Nyebelin karena kamu hobinya nolongin orang, Dy." Aku menggeleng sambil tersenyum. Iya ya, memang menyebalkan jika bantuan kita di tolak. Apalagi oleh orang yang kita sayang.

Aku mempersilahkannya duduk, lalu berjalan masuk ke kamar untuk mencari baju Ayah yang mungkin tertinggal dan bisa ia kenakan. Lalu keluar lagi dan menemukan Agam masih berdiri di tempat tadi. Belum duduk dan masih sibuk melihat kesekitar.

"Nggak usah diliatin terus, Gam. Ruangannya nggak akan berubah besar." Ia menoleh seraya tersenyum. Tuhan, sudah berapa kali ia tersenyum malam ini? Dan sudah berapa kali juga aku ia buat tersenyum?

"Bukan gitu." Jawabnya, "aku seneng aja liatnya, kamu pintar nyusunnya." Ia menunjuk ke jajaran buku di rak tinggi dekat tivi. Itu buku berbau hukum yang ku simpan sejak semester satu, hingga sekarang sudah jadi jaksa.

Aku berjalan mendekat, lalu memberikan sepasang baju kering dan handuk yang bisa ia kenakan, "mending kamu bersih-bersih dulu. Aku bikinin teh, mau?" Ia mengangguk, lalu diam sebentar sebelum mengambil bajunya dari genggamanku dan berjalan melewatiku.

"Hmm Dy?" Aku menoleh, "kamar mandinya.."

"Oh, disitu." Aku menunjuk ke salah satu pintu di pojok ruangan, lalu ia tersenyum dan lanjut masuk ke dalamnya.

Suara klik bisa terdengar, membuatku menghela nafas panjang. Tanpa sadar dari tadi aku menahan nafasku. Berada dekat dia itu sesulit ini ya ternyata.

Aku mulai masuk ke dapur, mengambil cangkir dan gula untuk selanjutnya ku racik menjadi teh. Tidak lupa air dan teh celupnya ya, kalau tidak ada mereka hanya akan jadi tumpukan gula di dalam cangkir.

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang