ten; doing our best.

191 27 10
                                    

[Agam]

 "Kita mau kemana?" Satu pertanyaan yang terus keluar dari sejak beberapa hari yang lalu, saat gue memberanikan diri untuk mengajak Dyra pergi keluar. Tapi kali ini momennya bukan makan siang, tapi memang sengaja jalan-jalan malam.

"Nanti kalo udah sampe juga kamu tau."

"Ya kalo udah sampe mah ngapain aku nanya, Gam." Balasnya yang akhirnya menyerah dan memilih diam di bangku penumpang.

Gue nggak mau geer, tapi nggak salah juga kalau gue bilang hubungan gue dan Dyra sudah jauh lebih membaik. Dengan dia yang setuju untuk jalan, atau pergi nge-date, sama gue mungkin jadi satu bukti bahwa kami sudah jauh lebih baik.

Masih ingat bagaimana gue sempat memaki-maki dalam hati setelah nggak sengaja mencium pipinya malam itu. Mungkin efek 'harus cepat tidur' di tambah, ya sebut saja cemburu, setelah tau kalau dia dan lelaki itu ternyata sering lembur bareng. Sebutlah gue berlebihan karena mereka partner kerja, tapi laki-laki itu juga manusia dan kelihatannya dia masih belum punya pasangan.

but Dyra seems to handle it pretty calm. Dia nggak nampar gue atau mengabaikan telfon gue setelahnya. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

"Kamu nggak mau marah sama aku?"

"Marah kenapa?" Tanyanya lewat sambungan telfon malam itu, saat gue sudah sepenuhnya sadar dan malah jadi nggak ngantuk lagi.

"Tadi.. aku nggak maksud cium kamu, cuma.. ya gitu, maaf ya."

"Kamu cemburu." Gue diam sebentar, sebenarnya sudah mengangguk cuma dia nggak bisa lihat. "Ya udah, nggak apa apa."

"Hah?"

"Kan kamu juga yang bilang, aku kenal kamu nggak baru sebulan dua bulan, Agam." Damn it.

"Aku kaget, tapi bukan berarti aku marah." jelasnya, "Tapi besok aku masih harus lembur lagi, sidangnya belum selesai, jadi aku masih harus bantu lengkapin berkasnya."

"hmm." Gue hanya bergumam tanpa sadar.

"Kalo kamu mau ke kantor lagi besok, nggak apa-apa."

"hm?"

"Iya, kalo besok kamu mau pulang malem lagi, nungguin di ruang tunggu lagi, nggak apa-apa." 

Was that a sign? Mungkin iya, mungkin juga bukan. Gue masih menolak untuk percaya bahwa semuanya berjalan dengan sangat lancar. Selancar,

"Malem minggu nanti pergi sama aku yuk?"

"Kemana?"

"Kemana.. nanti kamu juga tau sendiri."

Gue pikir awalnya Dyra akan jawab, "Males ah kalo rahasia-rahasiaan." seperti biasanya, tapi malam itu, tepat di depan pintu kamarnya sepulang gue menjemput dia yang habis lembur lagi. Dia mengangguk, "Tapi nggak aneh-aneh ya tempatnya." Ujarnya. Membuat gue senang bukan main.

Bahkan kayaknya udah siap loncat dari gedung, karena kalau loncat di tempat terlalu mainstream jadi loncat gedung aja biar nggak biasa.

Sebenarnya waktu gue bertanya pada Dyra untuk pergi keluar malam minggu itu gue juga nggak tahu kita harus kemana. Yang pasti hindari jalan besar karena Jakarta macetnya bikin mau sewa helikopter biar bisa sampe mall dengan cepat, cuma sayangnya gue belum muntah duit jadi belum mampu.

Setelah merenung berhari-hari, akhirnya gue memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu pernah kita datangi. Bedanya, dulu dia yang ngajak gue kesini. Tapi hari ini, gue yang akan bawa dia kembali lagi kesini.

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang