thirteen; we

159 23 2
                                    

[Agam]

Kalau boleh disebutkan ciri-ciri orang galau mungkin bisa di deskripsikan dengan satu kata; Agam. Banyak yang sudah mulai menghina gue dari senin minggu itu, saat gue telat masuk kantor dan nggak cuma baju gue yang kusut, tapi muka sama otak ikutan kusut.

"Ini ayam kakinya udah 3, apa gimana?" Athena, yang ini junior baru masuk 5 bulan yang lalu, kebetulan masuk tim gue.  "Hingga tiba hari dimana bos Agam telat masuk kantor--"

"Cuma 5 menit cumi, diem lu."

"5 menit itu berarti, Mas." katanya sambil menirukan gaya bicara gue kalo anak-anak ada yang telat. "Atau mungkin sekarang bajaj rodanya 2? nyaingin ojek online."

"Berisik, Athena."

empunya malah terkekeh lalu duduk di kursi sebrang meja.

Seperti dugaan sementara pagi itu, seharian gue sama sekali nggak fokus kerja. Nggak cuma hari itu, bahkan sampai hari ini juga, sampai beberapa kerjaan harus gue bawa pulang ke rumah karena di kantor gue kebanyakan bengong di banding kerja.

Karena dia dan gue yakin semua orang tau siapa. 

Dengan secangkir kopi dan kerjaan gue di depan mata, mau nggak mau, suka nggak suka, gue harus selesaikan semua, malam ini juga karena deadline nya 2 hari lagi. Dan nggak ada yang bisa tanggung jawab kalo bos besar sudah marah kecuali gue.

Si manusia tolol karena lebih senang menunda pekerjaan demi melamun daripada fokus.

Malam ini sunyi, cuma suara napas dan keyboard gue aja yang bersuara. Satu lagi, ketukan pintu yang tiba-tiba ikut bunyi juga di jam yang hampir tengah malam.

Bingung di campur khawatir, karena ketika gue buka pintu mendapati Dyra yang berdiri di balik pintu. Yang tanpa buang waktu dan basa basi tiba-tiba peluk gue. Tubuhnya gemetar, membuat gue makin khawatir karena terakhir kali gue lihat dia gini waktu dia pertama kali ketemu ibunya dulu, yang berakhir tidak menyenangkan.

Sekali lagi pekerjaan gue harus jadi pajangan dulu, karena perempuan yang tiba-tiba datang ini lebih penting. Selalu begitu.

Kita duduk di sofa, nggak ada suara tangisan sama sekali, hanya tubuhnya masih bergetar entah kenapa. Gue cuma bisa diam sambil menenangkan dia. Memeluknya sedikit lebih erat lagi sambil terus mengelus kepalanya, lalu pundak dan lengannya.

"Aku nggak mau pulang.." Tiba-tiba dia bersuara, setelah setengah jam diam saja, "aku nggak mau sendiri dulu.."

Gue mengangguk lalu mengecup puncak kepalanya. Masih erat memeluk dia seolah takut kalau gue lengah sedikit saja dia akan jatuh gitu aja.

"Pindah ke kamar yuk, kamu jangan tidur disini." Gue akhirnya berbicara, setelah diam dan takut kalau Dyra terlanjur ketiduran di sofa.

Perempuan ini mengangguk, lalu melepaskan pelukannya untuk berdiri dan berjalan masuk ke kamar gue yang masih berantakan akibat kerjaan yang gue bawa pulang.

"Sebentar aku beresin dulu." Segera gue mengambil tumpukan kerjaan dari atas kasur, memindahkannya ke meja sebelah tempat tidur.

"Kamu lagi sibuk ya? Aku ganggu kamu ya?" Katanya seraya masih berdiri di ambang pintu.

"Iya.. sibuk. Tapi nggak ganggu kok, kerjaannya bisa nunggu."

"Nggak, jangan. Aku pulang aja kalau gitu."

Gue langsung berbalik, "Jangan." Dyra menggigit bibir bawahnya, "Kalo kamu pergi aku makin keganggu." sedikit gue menghilangkan jarak antara kita, "Aku nggak akan bisa fokus tau kamu begini sendiri di rumah."

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang