Six; these times are hard.

193 28 6
                                    

[Agam]

Sekali lagi gue menarik nafas, mencoba menyelaraskan detak jantung gue dengan dentuman musik halus yang mengalir perlahan. Tapi nyatanya tetap tidak bisa. Gue menggenggam stir mobil, mengistirahatkan kepala gue diatasnya. Kembali berargumen dengan diri gue sendiri padahal sudah bertengkar sejak seminggu yang lalu.

It's okay, Gam. Cuma balikin baju. Gak lebih.

Hembusan nafas yang cukup keras tanpa sadar keluar. Gue mulai mematikan mesin mobil, mendengar kuncinya yang terbuka. Baru saja akan gue tarik gagang pembukanya, tapi harus berhenti ketika seseorang keluar dari mobil yang terparkir tepat di depan gue. Itu Dyra. Gue pikir tuhan sedang memberi gue kemudahan untuk mengembalikan baju ayahnya dengan mempertemukan kita di basement, tapi gue harus mengurunkan niat untuk turun setelah tak lama seorang laki-laki keluar dari pintu kemudi.

Ia berlari kecil ke arah Dyra yang sudah hampir masuk ke bagian dalam gedung. Sambil membawa bungkusan bertuliskan toko kue yang cukup terkenal dan tidak asing buat gue. Gue yang sudah siap turun ini akhirnya masih harus duduk di dalam sini, memperhatikan keduanya bertukar kata dari balik kaca mobil yang untungnya tidak terlalu kasat mata.

Gue bisa lihat aura hangat yang keduanya tunjukkan. Dilihat dari bagaimana tangan lelaki ini naik ke puncak kepala Dyra dengan entengnya. Lalu senyumnya dia yang kecil namun masih dan akan selalu manis di mata gue.

Ah. Ternyata kamu sudah punya hidup yang baru?

Kenapa, Gam? Kaget? Sudah hampir 2 tahun kenapa masih kaget? Bukannya seharusnya ini sudah dapat di prediksi? Lagipula kenapa kaget? Dia bukan tanggung jawabmu lagi. Sudah terserah dia ingin berjalan bersama siapa, membangun apa dengan siapa.

Seketika perasaan panas muncul. Gue pikir awalnya karena mesin mobil gue yang sudah mati, otomatis pendinginnya juga mati. Tapi rasanya jadi lebih panas ketika adegan itu dipertunjukkan di depan mata gue. Adegan Dyra dan lelaki ini.

Entah apa yang gue rasakan. Tapi kalau bahasa lazimnya, cemburu sangat mendeskripsikan. Meskipun gue nggak tahu kenapa gue bisa cemburu.

Karena sayang, lah. Bodoh.

Gue teringat, dulu gue dan dia pernah bertengkar karena si cemburu ini. Ketika gue yang sibuk jadi mahasiswa kebanggaan mesin yang berbakti pada dosen. Maaf ya, kalau kalian berfikir anak mesin itu brutal, semua itu nggak berlaku sama gue. Gue tetap ikut organisasi, hanya saja untuk masalah yang brutal-brutal itu gue nggak ikut. Berbeda sama cinta gue dulu, dia akan perjuangkan apapun yang menurutnya benar, hingga jika demo itu benar, dia akan jadi wanita di barisan paling depan hanya untuk membela kebenaran. Sudah paham kenapa gue kasih dia nama sendiri?

Oke, balik lagi ke masa kita sempat bertengkar. Gue masih ingat di depan gedung kos-kosannya. Karena saat itu gue kepergok nganter pulang salah satu mahasiswi, alasannya, karena ini sudah malam. Dia perempuan dan sama-sama jadi budak dosen juga saat itu. Kita di dapuk jadi pengoreksi dan penilai hasil kerja mahasiswa teknik semester satu. Karena kebetulan searah, di tambah dia juga satu kos dengan cinta gue, kenapa nggak?

Tapi mungkin itu yang salah.

"Nggak usah jadi pahlawan kemaleman, aku nggak suka." Ucap mahasiswi hukum yang juteknya bukan main. Padahal dia nggak pernah sekalipun cemburu, ya fakta bahwa dia jutek saja sudah cukup menjelaskan ya kenapa dia nggak pernah cemburu. Tapi malam itu, rasanya tubuh gue ini terbakar habis akibat tatapan tajam dan ucapan dinginnya dia.

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang