Four; frustration.

161 31 7
                                    

[Agam]

Satu lagi hal yang gue nggak suka dari hujan. Setelahnya itu tidak selalu muncul pelangi, namun udara yang lembab menyesakkan, dan lebih menyesakkan lagi di saat-saat seperti ini. Genangan air di jalan juga jadi alasan mengapa hujan itu tidak menyenangkan.

Gue memandang kaki kiri gue yang masih ada di dalam kubangan, menenggelamkan lebih dari setengah sepatu hitam yang biasa gue pakai sehari-hari. Rasanya waktu itu seperti berhenti, dan saat seperti ini kembali menyadarkan gue kalau sekarang yang gue hadapi ini ada di dunia nyata dan bukan mimpi.

"Just tell me to stay, because I always will do."

Gue sama sekali nggak melihat ke arahnya lagi. Tidak ingin melihat bagaimana ekspresinya berubah marah dan mungkin bergidik atas apa yang gue ucapkan.

Tsk. Jangan mimpi dia akan terima lo lagi. Bantu lo yang kebasahan aja sudah jauh di atas ekspektasi, jangan berharap lebih.

Batin gue terus mencela otak gue yang masih terus mengindahkan sebuah kemungkinan masa depan sama-sama. Sama-sama menjalani hidup masing-masing mungkin Gam maksud lo.

Shit.

Perlahan gue mulai berjalan lagi, meninggalkan halaman apartemen dan berjalan keluar, menyusuri trotoar. Berharap bisa cepat sampai di rumah, tapi bagaimana mau cepat kalau sekarang gue masih berjalan santai dan tidak naik kendaraan. Akhirnya gue berhenti. Mencoba mencari taksi yang kebetulan lewat dan bisa mengantar gue pulang lebih cepat.

Kurang lebih 10 menit hingga akhirnya ada taksi yang mau berhenti. Sepuluh menit juga waktu yang gue lewati untuk kembali menelan masa lalu dan menimbulkan emosi. Lihat? Tidak setiap hujan selalu menimbulkan pelangi.

"Ke mana mas?" Si supir bertanya, dan gue jawab dengan alamat singkat. 

"Ke perumahannya? Memang mas nya mau kemana?"

Gue mengernyitkan dahi, "mau pulang, Pak." Jawab gue singkat.

"Loh?" Suaranya terdengar cukup terkejut, "saya pikir mas dari rumah ingin pergi?" Gue menaikkan sebelah alis.

"Maksudnya gimana?"

Bapak ini terkekeh, "tadi saya lihat mas berdiri di depan apartemen, mas nya juga sudah pakai baju tidur. Saya kira mas habis dari rumah."

Gue melihat ke baju gue, memang benar pakaiannya sudah sangat cocok untuk tidur. Cocok kalau gue ada dirumah, jadi nggak heran si bapak ini menyangka gue habis dari rumah.

Gue tersenyum kecil, agak canggung sebenarnya setelah tau penjelasan si bapak, "Bukan rumah saya lagi, Pak." Gue bisa lihat matanya memandang gue dari spion tengah mobilnya.

Gue hanya menatapnya sebentar lalu melihat ke luar jendela. Mengamati jalanan yang masih lembab akibat hujan deras yang sempat membasahi. Sudah tidak terlalu banyak manusia yang lalu lalang malam ini, karena maklum lah, sudah di atas jam tidur bagi para budak gedung pencakar langit. Karena besok masih harus bangun pagi.

"Jangan terlalu lama di sesali mas, kalau memang takdir juga nanti bisa jadi rumah mas lagi." Tiba-tiba si bapak berbicara, "tapi kalau memang bukan jalannya, ya sekarang juga sudah ada rumah lagi."

Gue terkekeh pelan, "iya pak." Dia tersenyum, terlihat dari ujung kaca spionnya.

Tapi sepertinya pak, takdir itu sudah bilang kalau dia sudah bukan lagi punya saya. Bahkan jalannya mungkin sudah ditutup rapat hingga menjadi jalan buntu dan mau tak mau harus putar arah dan mencari jalan yang lain.

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang