nine; we don't know how.

160 27 15
                                    

[Dyra] 

Dua minggu ini aku habiskan untuk lebih banyak menerima, ketimbang banyak menolak seperti biasanya. Menolak melihatnya, menolak pemberiannya, menolak perhatiannya, menolak apapun itu yang ia berikan untuk si manusia keras kepala. 

Dua minggu juga aku habiskan dengan lebih sedikit rasa lelah dan beban semu yang entah darimana datangnya. Karena satu hal, menerima apa adanya ketimbang berandai-andai harus bagaimana jadinya. 

Aku bukan si pendendam, hanya wanita yang masih membenci dirinya sendiri. Hingga akhirnya aku mulai tersadar, the reason why am I so troubled is myself. Because I can't learn to accept myself. I don't want to and I don't feel like I need to. Itu yang salah. Jadi dari pada terus bertengkar dengan batin sendiri, aku memilih untuk mengalah, membiarkan segalanya masuk lagi dan membuatku bahagia. 

Termasuk Agam. Si pria yang ternyata masih betah menelfoniku setiap makan siang, untuk mengajakku makan bersama.

Terhitung sudah dua minggu aku dan dia selalu bertatap muka. Membicarakan hal baru dan bukan hal lama. Mungkin itu jadi alasan kenapa aku selalu menunggu telfonnya serta ajakan makan siangnya setiap hari. Karena dia punya 1000 cerita untuk di bagi denganku, begitu juga aku. Bahkan sepertinya segelas es durian dan semangkuk soto itu tidak cukup untuk menyelesaikan ceritanya. 

Banyak hal baru yang masuk, tapi tidak bisa bohong juga kebanyakan dari mereka cukup membuatku teringat dengan kenangan-kenangan lama. Banyak juga dari mereka yang akhirnya kembali terulang lagi.

Sama dengan segelas es durian dan semangkuk soto hari itu.

"Aku lebih suka buatan pak Ano." Ujarku jujur dari hati, karena memang sebenarnya begitu.

Aku bisa lihat ia tersenyum sambil melanjutkan makan es duriannya. "Kamu suka es duriannya apa emang kangen sama pak Ano nya?"

"Dua duanya." Kataku, "Kamu nggak kangen?"

"Aku lebih kangen makan disana sama kamu dibanding es duriannya, apalagi pak Ano nya."

Saat itu aku hanya diam sambil menyembunyikan senyuman, sekaligus kalimat aku juga yang aku tahan untuk tidak terlontar. Biar saja dia nggak tahu kalau aku juga sama kangennya, sama rindunya, sama inginnya.

Tapi bedanya hari ini, tidak ada dia yang duduk di seberangku saat makan. Siang ini, yang ada malah satu rangkai bunga mawar putih yang ada di atas mejaku. Awalnya aku bingung, bahkan hampir memberikannya ke front desk atau bahkan satpam penjaga pintu untuk mencari tahu siapa yang kehilangan rangkaian bunga ini. Tapi harus ku urungkan niatku setelah sebuah amplop putih jatuh dari salah satu sisinya, saat aku mengangkatnya.


Aku tau bunganya nggak bisa di makan, tapi setidaknya bisa nemenin kamu makan siang. Maaf aku nggak bisa keluar makan siang hari ini, ada meeting mendadak. See you tomorrow?


Tanpa ada keterangan pengirim pun aku sudah tahu jelas siapa pengirimnya. Tanpa kusadari aku tersenyum cukup lebar, bahkan hampir tertawa saking terkejutnya. Bisa-bisanya ia memberikanku surat dan bunga padahal sudah ada ponsel yang bisa digunakan untuk menelfon atau mengirim pesan singkat.

Dyra:
Makasih bunga nya, enak.

Agam:
Hahah, makan yang banyak, jangan sedih aku nggak ada.

Dyra:
You wish.
Good luck meeting nya. Semoga lancar, kamu juga jangan lupa makan.

Agam:
Iyaa, makasih ya.
have a nice lunch.

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang