One; a broken heart.

345 37 5
                                    

[Dyra]

Pernah dengar ada penelitian yang mengatakan bahwa seorang wanita dapat berbicara lebih dari 20 ribu kata sedangkan pria hanya 7 ribu kata saja dalam satu hari? Bisa bayangkan bagaimana lelahnya menjadi seorang wanita yang menggerakan mulutnya untuk waktu yang lebih lama di banding pria setiap harinya? Setidaknya, fakta bahwa aku seorang wanita saja sudah sangat melelahkan, belum lagi di tambah dengan pekerjaanku yang membuatnya jauh lebih melelahkan dari fakta pertama.

Semuanya jauh lebih melelahkan jika di tambah dengan keharusan mempelajari berkas-berkas kasus yang akan berbeda setiap harinya. Mencari celah kebenaran dan letak kesalahan dari seseorang itu tidaklah mudah. Kadang, di saat-saat seperti ini aku sering berdoa untuk mendapat kawan macam doraemon, biar bisa baca fikiran kriminal orang-orang yang duduk di seberang meja dengan si pembela di sebelahnya.

Aku menggigit pulpen yang sedari tadi ku pegang, sebelum menarik rambutku ke belakang, mengikatnya sedemikian rupa hingga tidak terjatuh menghalangi pandangan mata. Berharap mataku ini punya kekuatan tembus pandang atau sekalian bisa lihat reka ulang kejadian yang hingga sekarang masih terbatas barang bukti yang belum lengkap setengah, apalagi bisa lengkap sepenuhnya.

"Sidang ditunda hingga satu minggu kedepan."

Tok tok tok

"Ahh." Aku menjatuhkan kepalaku ke atas meja, cukup keras hingga menimbulkan bunyi yang membuat seluru orang di kafe tersebut menoleh ke arahku. Tapi aku tidak peduli, bahkan rasa sakitnya masih belum seberapa dibandingkan banyaknya kemungkinan di dalam kepala.

"Kapan selesai." Rengekku pelan sebelum mengangkat kepalaku. Menoleh ke arah tembok-tembok kaca hanya untuk melihat rintikan hujan yang turun semakin deras.

Dulu, ini dulu sekali, aku pernah jadi seorang pengagum hujan. Jika ia turun, aku bisa jadi orang pertama yang keluar dari lindungan atap hanya untuk berlari keluar, merasakan mereka menghantam seluruh tubuhku tanpa halangan. Menikmati satu persatu dari mereka memijat pelan kulitku, hingga pria itu datang sambil membawa payung hijaunya ke tengah jalan, meletakkannya di atas kepalaku untuk menghambat lebih banyak air yang membasahi tubuhku.

Meskipun sebenarnya percuma, karena aku sudah sepenuhnya basah dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa ada satu spot kering yang tersisa. Setelahnya, aku akan berlari menjauh dari naungan payungnya, berakhir dengan dia yang ikut lari dengan payung di tangannya. Meskipun akhirnya ia menyerah dan ikut basah denganku di tengah hujan karena harus membuang payungnya dan berganti menggendongku ke tempat teduh karena aku yang sudah tidak mempan untuk di gandeng atau di tarik paksa.

"Gam ih!!" Masih ingat suara teriakanku setiap kali hal ini ternjadi, dan tentu saja suara tertawanya setelah berhasil membuatku naik ke punggungnya.

"Basah, Dy." Teriaknya sambil berlari menuju tempat yang aman dari serangan hujan.

"Namanya juga hujan, ya basah." Balasku, dia hanya terkekeh sambil terus berlari ke tepi. "Ah kamu nggak asik!" Cetusku setelah ia menurunkanku dari punggungnya.

Dia masih tersenyum sambil terkekeh renyah, "kalau kamu sakit, nanti hidup ini jadi lebih nggak asik, Dyra." Aku diam sambil tersenyum, bisa tersipu juga ternyata.

Sama seperti sekarang, aku bisa tersenyum hanya dengan membayangkan kenangan lalu yang terkadang aku pertanyakan, sebenarnya benar tidak ya aku mengalami hal itu. Apa hanya sekedar mimpi panjang yang masih aku ingat dan sebenarnya tidak ikut ku bawa bangun.

Hebat ya kamu, bisa buat kepalaku yang pening akibat kasus pembunuhan ini seketika jadi empuk kembali karena kenangan kamu.

Aku kembali memfokuskan pandanganku pada jajaran kalimat berjudul barang bukti. Mencoba memerhatikan lebih lanjut barang apa saja yang tersisa di tempat kejadian. Membacanya terus menerus, menyambungkan pikiran dan daya khayal yang tinggi tentang apa yang seharusnya ada di sana. Lalu mencoba mereka ulang dan memikirkan motif kejahatan si pelaku, atas dasar apa ia melakukannya dan reka ulang adegan dan.. dan..

Aku menutup wajahku sempurna, benar-benar buyar sudah pikiranku ini. Baru satu menit teringat dia kenapa juga harus jadi merusak jalan pikiranku? Bahkan sepertinya belum sampai satu menit mengingat dia di bawah hujan, masih sebegini besarnya ya efek dia buat kamu, Dy?

Ini kenapa aku bilang dulu aku suka hujan. Karena nyatanya sekarang aku sudah tidak terlalu menyukainya. Bahkan seringkali aku berharap bahwa hujan itu tidak akan turun lagi ketika aku bisa melihat mereka. Karena hanya dengan benda basah yang jatuh dari langit itu, dia datang lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan-

"Dyra?" Lagi.

Aku menoleh ke sumber suara, menemukan seseorang berpostur tegak dengan kemeja biru dan dasi hitam yang sudah longgar melingkar di kerah bajunya. Begitu juga dengan lengan baju yang sudah terlipat sempurna dan jas hitam di lengan kirinya. Tidak lupa cangkir putih, yang kuyakini panas, bertengger manis di antara jari-jari tangan kanannya.

"Hai? It's been a long time." Katanya lengkap dengan senyuman lebar yang aku pikir sudah hilang di makan harimau di hutan, "ada orang?" Ia menjunjuk bangku di seberangku, aku menggeleng singkat sebelum membiarkannya duduk di sana.

"Nggak nyangka bakal ketemu kamu disini." Iya, sama, aku juga nggak nyangka. Aku pikir kamu sudah jadi warga negara di atlanta.

Aku mengangguk, sambil mencoba tersenyum. Rasanya sekarang tubuhku mulai memanas, mungkin sama panasnya dengan minuman yang ada di gelas miliknya, karena milikku sudah tinggal setengah dan tidak sepanas ketika pertama kali aku mengambilnya di konter sana.

"Sibuk apa kamu sekarang, Dy?"

Aku mengangkat pandanganku dari gelasnya, melihatnya memandangku sambil tersenyum canggung. "Masih sibuk membela kebenaran?" Aku mengangguk sambil terkekeh. Lelucon lama yang selalu kamu lontarkan setiap kali aku sibuk dan meninggalkan kamu sendirian. Dan saat itulah aku sadar, ia basah dari ujung kepala hingga ujung kakinya.

One of the things you hate the most ya, got soaked by the rain.

Lalu hening, seperti aku yang sibuk berperang dengan pikiranku sendiri tentang kata apa yang harus aku lontarkan setelah ini. Haruskah aku bertanya kenapa ia basah begini.

"Dyra." Panggilnya sebelum aku sempat memanggil namanya, "aku pikir kamu bukan penggemar kopi?"

Aku menggeleng sambil tersenyum, setuju dengan pernyataannya. "Tapi aku butuh." Jawabku singkat. Mencoba se sopan mungkin untuk menjawab.

"Aku juga pikir kamu udah berhenti bicara."

"Gimana bisa berhenti kalau justru dengan bicara aku bisa kerja?" Aku terkekeh.

"Syukur deh." Balasnya, "Karena aku suka kamu yang banyak bicara." Tandasnya. Membuatku berhenti mengumbar senyum dan kekehan lemah yang dengan alaminya bisa keluar. Namun sekarang harus sembunyi lagi.

"Aku juga sama," balasku lalu menelan ludah, "suka aku yang banyak bicara."




Dan aku akan lebih suka jika kamu yang jadi lawan bicaranya.

***

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang