five; make it work.

179 28 2
                                    

[Dyra]

Dulu aku selalu punya imajinasi keren tentang menjadi seorang penuntut umum. Mengenakan toga lengkap dengan befnya selalu berhasil membuatku yang yang sudah hampir menyerah dan rasanya ingin pindah jurusan langsung semangat '45. Seperti ada bayangan film yang terputar sebagai perandaian di ruang sidang, bagaimana si penuntut umum membacakan tuntutan pada dakwaan dan membeberkan barang bukti yang akhirnya dapat memasukkan si kriminal ke penjara.

Apalagi jika di tambah dengan menonton drama, rasanya aku ingin cepat-cepat lulus dan mendapat togaku sendiri. Duduk di sebelah kanan depan meja hakim sungguhan pada sidang sungguhan dan membacakan tuntutan sungguhan. Berargumen sungguhan dengan kasus dan barang bukti sungguhan dan bukan settingan seperti ujian.

Hingga akhirnya aku lulus dan sekarang benar-benar ada di posisi yang dulu selalu aku reka dalam pikiran. Dulu yang aku tahu hanya betapa kerennya menjadi seorang jaksa, tapi sekarang aku baru tahu, mengenakan toga itu bukan hanya sekedar keren, tapi ada tanggung jawab berat yang harus aku tanggung dan selesaikan.

Sidang hari ini berjalan dengan sangat menegangkan. Ini pertama kalinya dalam sejarah jadi jaksa aku dihadapkan dengan kasus pembunuhan yang aku pikir hanya ada di film-film. Tapi ternyata benar-benar terjadi di dunia nyata dan lebih parahnya aku benar-benar melihat bukti nyatanya. Butuh waktu berminggu-minggu untuk terdakwa mengakui kesalahannya. Berminggu-minggu juga sakit kepalaku timbul karena dia.

Maklum ya, aku belum jadi jaksa senior yang sudah biasa menangani kasus begini. Aku masih junior yang sengaja didapuk menggantikan salah satu anggota si penuntut umum untuk membantu penyelidikan dan penyidikan yang ternyata lebih ribet dari sekedar maling toko sebelah.

"Dyra mau kemana? Nggak ikut makan?" Mba July tiba-tiba bertanya, setelah melihatku hampir keluar ruangan sendiri.

"Nggak deh mba, lain kali aja." 

"Terakhir kali juga bilangnya lain kali? Ayo lah sekali aja." Bujuknya tiba-tiba.

"Di tunggu pacarnya kali, Jul, maksa banget." Yang ini mas Arkan, si penuntut umum yang sudah memenangkan persidangan. 

"Emang punya pacar?" Nadanya lebih memelan. Lalu semuanya diam dan menatap ke arahku yang masih berdiri di depan mejaku. Membuat suasananya makin canggung.

Aku menggeleng sambil tersenyum, "Nah! udah makan aja sama kita. Dibayarin Arkan, kapan lagi dibayarin mas ganteng. Ayo ah." Katanya seraya menggandeng tanganku, menarikku ke luar.

"Ngelaba mulu lo." Aku bisa dengar mas Arkan terkekeh sebelum kita benar-benar keluar ruangan.

Sebenarnya ada beberapa alasan mengapa aku menolak untuk ikut makan bersama. Pertama, ini bukan kasus junior. Kedua, pasti banyak senior yang ikut makan, ah ralat, yang ikut makan bersama semuanya pasti senior, dan aku belum siap dengan keadaan makin canggung karena tidak ada satupun yang kukenal kecuali mba July dan mas Arkan. Bahkan mungkin aku tidak akan mengerti bahasan mereka karena ini kali pertama aku ikut makan bersama. Dan ketiga, aku merasa tubuhku ini sudah lemas. Sudah berteriak untuk di istirahatkan, mengingat jam tidurku yang hampir 0 jam saat menyelidiki kasus ini. 

Namun aku tidak punya pilihan lain hingga akhirnya aku duduk di salah satu bangku di meja panjang, dengan beberapa orang tak di kenal yang sudah asik bertukar candaan dan cerita. Yang aku lalukan dari tadi hanya duduk sambil melempar senyum, seolah menanggapi cerita mereka yang aku saja tidak mengerti dari mana awal dan akhirnya.

"Dyra? Bener?" Tanya seseorang yang duduk di seberangku, mba Zoya kalau tidak salah namanya. Aku mengangguk sambil tersenyum, "Gimana rasanya satu tim sama Arkan? Pasti bosen ya?" Aku menaikkan alisku sedikit terkejut.

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang