twelve; up all night.

134 17 1
                                    

[Dyra]

Setiap orang pasti punya sisi lain yang akan terus di benci, termasuk aku yang benci ketika akhirnya selalu mengalah dengan hati, selalu mengalah dengan keadaan yang akhirnya bisa merugikan diri sendiri.

Tidak peduli berapa kali otakku menolak, ujungnya hati itu akan terus memberi. Dan ketika masa jatuh itu datang lagi, tidak ada yang dapat aku salahkan kecuali diri sendiri. Dan aku benci.

I spent a whole month trying my best to help her.

but that was all for nothing.

dan saat seperti ini siapa lagi yang bisa ku salahkan? Tisa yang sedang hamil? Pacarnya yang tidak bisa ku temui? Atau orangtua nya yang dengan sengaja tega membangun tembok besar di antara keduanya?

bukan.

tapi aku.

Aku yang dengan lemah akhirnya jatuh dan tanpa sengaja membuat harapan untuk Tisa bahwa akhirnya, mungkin, akhir cerita hidupnya akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bahwa mungkin, nanti, bahagia lah yang akan jadi penutup harinya.

Memang harusnya aku teguh pada pendirianku untuk tidak ikut campur masalah hidupnya, karena also god knows, neither my problems are in the near ending.

Satu bulan aku habiskan meminta bantuan beberapa kenalan hanya untuk mencari alamat seseorang di negeri orang. Hingga akhirnya berhasil ditemukan. Namun bukan untuk menyelesaikan permasalahan, melainkan memaksa takdir untuk berjalan sama seperti yang sudah di jalankan sebelumnya.

"Maaf pak, bu, saya kesini untuk bertemu anak bapak dan ibu, bukan untuk duduk dan berdebat panjang akan hal yang kita semua tau bahwa ini bukan hanya salah Tisa."

"Kamu mau apa? Saya sudah tawarkan uang untuk Tisa, gugurkan saja kandungannya, selesai kan? memang dasar sombong nggak mau terima. Anak saya itu masih muda. Kamu nggak liat sekarang mereka masih kuliah, masa depan anak saya itu baik dan kamu berharap saya bilang apa? Mengiayakan pernikahan yang nantinya hanya merusak nama baik saja? begitu?"

"Lalu Tisa? Masa depannya juga baik sampai kejadian ini."

"Saya nggak peduli." Tukasnya, "Itu urusan dia, bukan urusan saya."

"Tante, ini juga urusan Farhan, dia ayahnya." Kali ini Tisa yang angkat bicara.

"Kamu yakin Farhan ayahnya?"

"Tante. Pacar Tisa itu cuma Farhan-"

"Bukan berarti kamu cuma melakukannya sama anak saya."

"Tan-"

"Cukup." Tisa sudah mulai menangis, "Ibu pikir adik saya se rendah apa? Farhan yang lebih pantas disalahkan."

"Maksud kamu apa?!"

"Dia yang lari dari kenyataan bahwa dia juga salah dalam mengambil keputusan." Tukasku, "oh, atau seharusnya orangtuanya? Mempertaruhkan nyawa demi kedudukan dan kehormatan yang kalau boleh saya jujur sama sekali nggak punya arti seperti yang seharusnya."

"Saya pikir dengan datang baik-baik dan mencoba mencari jalan keluar bersama akan berakhir dengan satu hal yang sama-sama disepakati, ternyata malah sebaliknya." Aku berdiri, menarik lengan Tisa untuk ikut berdiri, "kalau ibu ingin mempertahankan kehormatan yang nggak ada arti, silahkan. Saya tidak akan memaksa. Itu hak ibu sebagai manusia. Tapi sekali lagi saya tegaskan, Tisa memang salah tapi bukan berarti ibu bisa menjatuhkan tuduhan terhadap adik saya."

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang