eleven; old cheap bottles of wine.

160 21 0
                                    

[Dyra] 


Ada yang bilang cinta dan benci itu bedanya tipis, aku mau bilang kalau senang dan sedih juga sama. Sama sama terbatas apapun itu yang tipis, karena bedanya hanya sedikit. Malam ini, aku merasa jadi si pembatas, berada di tengah senang dan sedih.

Senang karena akhirnya aku tahu kalau Agam masih jadi Agam yang dulu namun sedih karena aku jadi bingung, Apa aku juga masih jadi aku yang dulu?

Kalau iya, bagian mana aku? Bagian aku yang sama menyayangi Agam, atau bagian aku yang menolak mengenalnya untuk waktu yang lama? Aku masih tidak tahu, yang jelas aku takut. Takut kalau akhirnya aku salah menilai diri sendiri dan harus mengulangi hal yang telah terjadi.

Malam ini rasanya berat untuk bernapas. Meskipun aku sudah berhasil pulang tanpa ia dampingi, tapi rasa sesak karena terkejut itu masih ada. Bohong kalau aku bilang aku bisa menikmati jalan Jakarta di malam hari, karena nyatanya kepalaku ini penuh dengan seribu pertanyaan untuk diriku sendiri.

yang aku pikirkan hanya bagaimana caranya aku bisa cepat beristirahat di atas kasur meskipun aku tahu malam ini tidur tidak akan semudah dan senyenyak kemarin malam.

"Kak?" Suara perempuan terdengar tepat di depanku. Aku yang menunduk sambil memijat pelipis yang sakit ini akhirnya mendongak, mendapati perempuan yang sama sekali tidak asing berdiri tepat di depan pintu kamarku, itu Tisa.

"Boleh ngomong sebentar?" Tanyanya.

"Sekarang?" Ia mengangguk, lalu aku melihat jam yang melingkar di tangan. 11.05. It's late. "Besok aja bisa? Ini udah malem, kamu ngga di cariin ayah kamu?"

"Aku nggak bisa pulang." Suaranya mulai bergetar, "dan aku harus ngomong sekarang."

"Tapi saya-"

"Sebentar aja, Kak." Dia memotong kalimatku. Aku sedang tidak ingin berdebat, akhirnya membiarkannya masuk ke dalam.

Sebenarnya juga tidak ingin berfikir, karena jujur, rasanya hari ini badanku sangat lelah. Entah apa yang kulakukan hari ini, tapi rasanya seluruh tubuhku ini lelah. Luar maupun dalam. Tisa duduk di ujung sofa dekat pintu masuk, sedangkan aku berjalan terus ke dapur, melepas tas yang melingkar di bahu dan meletakkannya di meja bar, sebelum lanjut berjalan masuk. Mengambil 2 kaleng minuman dan meletakkan satu di atas meja di depan nya.

"Aku hamil." Tanganku berhenti untuk membuka kaleng minumanku, rasanya sendiku kaku hingga tidak bisa bergerak lagi. Mataku masih menatap kaleng tanpa berani mendongak ke arahnya. "Kak?"

Aku menelan ludah, lalu sekuat tenaga membuka kaleng minumanku untuk meminumnya. "Aku hamil." Begitu ia mengulangnya.

"Ayahnya?"

"Pergi ke Australia." Jawabnya yang sudah menangis sejak pengakuan pertamanya. "Dia bilang mau tanggung jawab, tapi sampai sekarang nggak ada kabar."

"Berapa bulan?"

"Empat." Lagi-lagi napasku tercekat, "Sebentar lagi besar, aku nggak tau harus gimana. Aku udah coba telfon orang tuanya juga tapi tetap nggak ada kabar."

"Ayahmu tau?" Dia menggeleng, lalu membenamkan wajahnya pada telapak tangannya. "Kasih tau ayahmu."

"Kakak gila?! Nggak mungkin aku kasih tau ayah-"

"Tapi kamu kasih tau saya? Sekarang yang gila siapa?" Kepalaku sudah sangat pening malam ini, kenapa juga dia datang? "Saya bukan orang tua kamu, ayah kamu lebih tau apa yang harus dilakukan. Bukan saya."

Epoch [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang