[Dyra]
Aku masih ingat pertama kali aku menjadi seorang remaja. Maksudku, benar-benar remaja. Kalau wanita biasanya ditandai dengan datang bulan ya?
Saat itu hari Rabu. Aku yang duduk di bangku kelas satu sekolah menengah itu dengan semangat berlari ke tengah lapangan, dengan menenteng bola basket, diikuti beberapa kawan wanitaku yang akan ikut bermain bersama. Saat itu memang sedang pelajaran olahraga, seluruh siswa bebas melakukan kegiatan apapun yang penting judulnya: olahraga.
Aku masih ingat berdiri di tengah teriknya matahari, berulang kali menghapus keringatku yang mulai jatuh dan keluar di sisi-sisi wajahku. Hingga untuk beberapa saat aku mulai merasa pandanganku menggelap, padahal aku sedang berada di ruang terbuka. Kepalaku juga mulai sakit, seperti di hantam bola basket yang masih di hentakkan ke lapangan.
Yang aku ingat saat itu, aku berjalan ke tepi dengan sangat pelan dan nafas yang cukup tercekat. Hal terakhir yang aku ingat saat itu adalah tanganku yang bertumpu pada tiang ring dan suara temanku yang berteriak memanggil namaku. Setelahnya semua hitam, pekat, gelap. Hingga aku membuka mata lagi dan mendapati Ayah di samping tempat tidur.
Bukan tempat tidurku. Tapi tempat yang sisinya ditutupi penutup tirai putih.
Iya, aku di rumah sakit.
Saat itulah aku tahu bahwa aku sudah menginjak remaja, aku mengalami yang namanya menstruasi untuk yang pertama kalinya. Juga untuk pertama kalinya, aku tahu bahwa aku sakit. Anemia, kata dokter.
Aku menghabiskan seminggu penuh untuk beristirahat total. Aku tidak datang kesekolah, tidak ke tempat les, tidak main bersama temanku, tidak melakukan apapun. Hanya tidur, makan, dan mengikuti apapun yang Ayah suruh.
"Dyra harus banyak makan, harus minum obat." Aku masih ingat ayah yang bolos kerja hanya karena anak perempuannya ini sakit. Aku hanya mengangguk tanpa mengetahui apa itu anemia. Yang aku tahu, aku harus hidup di bawah peraturan ketat setelahnya.
Banyak makanan yang aku tidak makan, banyak momen yang aku sia-siakan karena ingat fisikku ini tidak akan kuat. Apalagi jika si tamu sedang datang, rasanya semua rasa sakit dari penyakit itu datang semua. Itu mengapa dulu aku suka hujan. Karena saat hujan itu turun dan aku ada di tengah-tengah mereka, aku merasa menjadi aku yang berbeda.
Rasanya ada bebanku yang sedikit hilang di bawa hujan, menjadikanku sedikit lebih bebas dari tekanan. Rasanya aku seperti ikut mengalir bersama butir-butirnya, atau bahkan terbang bersama hawa dinginnya. Aku suka bagaimana aku bisa merasakan sesuatu yang nyata, seperti hujan ini.
Aku membuka mataku perlahan, hanya untuk mendapati aku yang sudah berbaring di atas kasur. Hanya saja bukan tertutup tirai putih di samping-sampingnya. Aku ada di ruangan, bukan kamarku, tapi kamar rumah sakit. Perlahan aku mulai melihat ke sekitar, ke kanan lalu ke kiri, hingga mataku berhenti tepat pada figur laki-laki yang sedang berdiri menghadap jendela.
"...Iya, tolong di batalin aja, Sep. Gue minta soft copy nya lo email aja, bisa?" Suaranya terdengar samar untukku yang baru saja sadar. Tapi mungkin memang dia sengaja merendahkan volume suaranya, hingga aku lihat ia berbalik ke arahku, "Nanti gue telfon lagi."
Aku bisa lihat dia yang mulai berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa. Lalu rasa hangat bisa terasa di tangan kiriku, tangannya menggenggam milikku cukup erat.
"Hai." Bahkan aku yang masih pakai selang oksigen ini kalah terengah dengan nafasnya. "Masih sakit?" Tangan yang lain ia gunakan untuk membelai lembut kepalaku, yang faktanya masih sakit sekali.
Aku mengangguk, lalu ekspresinya berubah kurang ceria karena senyumnya yang berkurang. Ia duduk di kursi sebelah tempat tidurku, masih terus mengusapkan ibu jarinya di punggung tanganku, dan tangan lainnya di kepalaku. Sama seperti dulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Epoch [PJM]
Hayran Kurguep·och /ˈepək/ noun a particular period of time in history or person's life.