"Kasian ya dia nggak punya ibu."
Aku masih nggak ngerti apa yang orang-orang pikirkan ketika dengan sadar mengucapkan kalimat itu di belakangku.
Atau bilang saja di depanku, hanya saja suaranya tidak keras dan tegas, karena ya telingaku ini fungsinya masih sempurna.
Walau nggak sedikit juga orang yang nggak langsung bilang kalau mereka kasihan. Karena setiap tanggal 22 Desember aku jadi yang selalu terlihat tidak punya rencana apapun untuk dilakukan, atau keharusan membeli barang untuk kejutan kecil untuk ibu lalu di ceritakan ke teman-teman.
Aku ingat pulang cukup larut tanpa memberi kabar pada ayah terlebih dahulu. Waktu itu aku masih jadi murid SMA yang sedang merasa sudah dewasa, dan anak perempuan yang rindu ibunya. Aku datang ke alun-alun Batu, hanya untuk berjalan-jalan santai sambil sesekali duduk memerhatikan sekitar.
Aku ingat merasa kesepian meskipun sekitarku itu ramai bukan main. Kebanyakan keluarga yang sengaja datang atau memang pasangan yang memilih tempat terbuka untuk bersantai berdua. Saat itu aku sadar, aku tidak punya keduanya. Tidak punya keluarga utuh karena isinya hanya aku dan ayah, juga pasangan yang belum ada.
Ayah pernah bilang, pertama kali mengajak ibu keluar malam itu ya ke alun-alun. Katanya ketan di sana enak, langganan ayah dan ibu saat masih jadi sepasang kekasih dulu. Katanya itu jadi tempat saksi bisu nya ayah melamar ibu.
"Tadinya ayah mau masukin cincin ke dalam ketannya Dy, tapi nanti kalo ketelen bahaya ya."
Aku juga ingat menggeleng heran akan ide ayah, tapi untung saja tidak dilakukan ya.
Aku juga ingat setelahnya bertengkar cukup hebat dengan ayah. Karena pulang larut dan tanpa kabar.
"Kamu tau ini jam berapa?! Nggak ada kabar berita mau kemana dengan siapa. Ayah telfon semua teman kamu pun nggak ada yang tau kamu kemana."
"Dyra cuma ke alun-alun, Yah."
"Cuma?! Alun-alun itu ramai Dyra. Kalau nanti ada yang jahat terus culik kamu gimana?! Ini sudah malam dan kamu perempuan."
"Yah, Dyra udah gede, udah bisa jaga diri sendiri."
Saat itu perdebatannya cukup panjang. Yang aku butuhkan hari itu hanya waktu untuk sendiri dan mencari pelarian, untuk itu aku pergi sendirian. Bukan bermaksud membuat siapapun khawatir, hanya saja egoku ini sedang tak mau minggir dan terus saja memikirkan diri sendiri.
Aku ingat mengunci diri di kamar hingga besok paginya. Dan ketika keluar, ayah sudah duduk di meja makan, dengan makanan untuk sarapan. Tapi bukan Dyra kalau akhirnya duduk dan makan, yang aku lakukan malah langsung pergi keluar untuk berangkat ke sekolah, tanpa sedikitpun menoleh ketika ayah mulai memanggil, memintaku untuk makan sebentar.
Malam harinya beberapa ketukan terdengar di depan pintu kamarku. Aku tahu itu ayah, karena rumah ini isinya hanya 2 orang.
"Dy, ini ayah. Buka pintunya sebentar dong, ayah mau bicara." Aku diam saja, pura-pura tidur dan nggak dengar hingga akhirnya pintu kamarku terbuka. Lalu kasurku bergerak turun menandakan ayah yang duduk di pinggir tempat tidur. Aku masih pura-pura tidur, mencoba se tenang mungkin hingga tangannya membelai kepalaku perlahan.
"Maafin ayah ya, kemarin ayah marah-marah. Ayah cuma khawatir." Tangannya masih membelai kepalaku, "Dyra satu-satunya anak ayah, ayah cuma takut kamu kenapa-kenapa. Ayah nggak bisa jagain kamu terus-terusan, Dy, ayahmu ini masih banyak lengahnya. Jadi tolong, bantu ayah ya? Bantu ayah jaga kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epoch [PJM]
Fanfictionep·och /ˈepək/ noun a particular period of time in history or person's life.