~Semesta tidak pernah merangkai cerita sederhana karena memang benar-benar tidak ada yang sederhana di dunia ini~
***
Gadis yang kesal pada rambut cokelatnya itu segera meraih karet rambut yang ada di laci nakas dan mengikat rambutnya dengan cepat. Tangan mungilnya kembali meraih sendok pada mangkuk yang terletak pada meja lipat di atas pahanya dengan laptop di hadapannya. Vani yang memaksanya untuk izin sekolah hingga menyebabkannya berakhir begini. Entah sudah berapa kali asisten rumah tangganya naik turun untuk mengantarkannya makanan dan entah sudah berapa judul film yang sudah ia tonton hari ini. Tangannya bergerak mengangkat mangkuk yang sudah hampir habis itu dan mendekatkan pada bibir mungilnya. Maniknya memejam ketika kuah bening itu melewati kerongkongannya.
"Gue mau masuk aja dah besok, apaan dah gendut gue kalo gini caranya," gumamnya seraya memindahkan mangkuk tadi ke meja nakas sebelum kembali memanggil Bi Min, asisten rumah tangganya untuk kembali mengantarkan makanan. Laptopnya juga kini ia pindahkan setelah berhasil mematikannya, begitu juga meja lipat yang tadi sempat ia gunakan. Tangannya menyingkap selimut yang menutupi setengah tubuhnya.
"Aw!" ringisnya saat jarinya terlalu kasar menyentuh lukanya yang dibalut kapas putih. Luka pada lututnya memang cukup lebar yang menyebabkan mamanya memaksanya untuk izin. Padahal gadis ini sendiri yakin masih bisa berjalan cukup baik, buktinya ia sempat bolak balik toilet tanpa bantuan siapa pun. Alibi Vani mengenai kekhawatiran terhadap Gemi mulai diragukan gadis ini, wanita yang ia panggil mama itu sekarang tidak ada di rumah. Ia ditinggal bertiga dengan Bi Min dan Bang Mamang.
"Katanya nggak mau kenapa-kenapa, tapi udah ilang dari subuh sampe nggak tau kapan," gerutu gadis yang sekarang sedang mencoba melepaskan plester luka yang melekat pada lutut kanannya.
"Neng Gemi kenapa nggak panggil Bibi kalo mau bersihin?" tanya wanita paruh baya yang baru saja membuka pintu kamar Gemi dan segera berlari mendekati gadis yang sekarang menatapnya geli.
"Gemi juga bisa sendiri kok, Bi. Kasian Bibi kudu naik turun," ucapnya melanjutnya gerakan tangannya. Wanita tadi segera mengambil sebuah kotak yang ada di meja belajar Gemi.
"Sini Bibi aja, Neng." Gemi yang melihat raut kekhawatiran di wajah wanita yang ia panggil Bibi itu mengalah dan memilih memerhatikan saja. Gerakan tangan wanita itu begitu halus hingga tak terasa sakit bagi Gemi.
"Masih basah, Neng. Maklum, baru kemarin." ujarnya seraya mengoleskan antiseptik pada luka yang masih menganga itu dengan hati-hati.
"Tapi udah nggak sakit lagi sih, Bi. Bilangin Mamah, dong. Bosen di rumah," pinta gadis pemilik rambut cokelat itu. Wanita yang sudah selesai menempelkan plester berwarna putih pada lutut gadis yang sudah ia temani sejak ia lahir itu kini menatap wajah Gemi yang masih terlihat memohon.
"Tinggal dipakein plester luka, Gemi berangkat sekolah deh. Gemi mau kok dianterin Bang Mamang," bujuk gadis itu masih tetap saja merayu.
"Ya, jangan bilang ke Bibi lah, Neng. Ngomong sama Nyonya coba," sahut wanita yang membereskan perlengkapan yang tadi ia gunakan.
"Ih, mama tuh nggak asik,"
"Neng Gemi mau Bibi buatin sesuatu lagi, nggak?" tawar Bi Min mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Nggak, makasih. Bibi ih, Gemi kan ...." ucap Gemi yang terpotong karena pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka.
"Wah, ada Neng Indah. Mau Bibi bawain sesuatu, nggak?"
"Nggak usah, Bi."
"Oh ya sudah Bibi tinggal dulu ya," pamit wanita yang melangkah mendekati pintu seraya membawa mangkuk bekas Gemi di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CIRCUMPOLAR [NEW VERSION]
Teen FictionIni bukan tentang aku dan dia. Ini bukan tentang aku yang dikenal sebagai most wanted. Ini bukan hanya tentang remaja yang dilanda asmara. Ini bukan tentang bahagia setelah duka, seperti kata orang, pelangi akan hadir setelah hujan lebat. ...