~Bahkan sebuah peristiwa terkadang lebih menyakitkan daripada terjebak dalam singularity blackhole walau kau tak pernah tau sesakit apa berada di sana, bayangkan saja~
***
Sang hazel melangkahkan kakinya menuju sebuah bangku di tengah taman. Cahaya dari lampu taman tidak mengurangi keindahan bulan purnama yang juga tak mau kalah terang. Ia menghirup udara malam kota Bandung di sebuah tempat yang tak jauh dari bau menyengat yang tak pernah ia sukai. Maniknya menatap lekat bulan yang menyamarkan beberapa bintang di dekatnya. Bukankah bumi memang hanya membutuhkan satu bintangnya, matahari? Bukankah matahari tak pernah benar-benar meninggalkan bumi? Bahkan, ia masih menitipkan sinarnya pada sang bulan, berusaha untuk terus menghilangkan kecemasan bumi akan kegelapan. Apa mungkin mereka yang berkelap-kelip saat malam adalah teman matahari yang sengaja hadir menemani setiap masa saat bumi tak bisa bertatap dengan matahari? Namun, apa matahari benar-benar menyayangi bumi atau semua hanya terjadi karena bumi yang berputar mengelilingi matahari layaknya planet yang lain? Apa selama ini bumi buta hanya tertarik pada bintang yang benar-benar dekat dengannya, tak peduli terhadap mereka yang mencoba menarik perhatian bumi hingga rela meledakkan dirinya? Jika benar, tolong katakan pada bumi untuk sekadar mengingatkannya bahwa matahari melakukan hal yang sama terhadap semua planet yang ada dalam tata surya ini.
Nata mengembuskan napas dan mengalihkan pandangannya saat sudut matanya menangkap sebuah burung yang masih terbang ketika seharusnya sudah beristirahat di salah satu dahan pohon. Sepertinya semesta membuat cowok yang masih betah duduk di tengah taman itu banyak berpikir malam ini. Apa yang dilakukan burung tadi di waktu istirahatnya? Gerakan sayap burung tadi juga menarik perhatian Nata, apa sayapnya terluka? Mengapa cara terbangnya terlihat berbeda? Sebuah pikiran tiba-tiba terbesit di benak Nata, apa ia juga masih bisa terbang walau dengan satu sayap? Lantas untuk alasan apa ia menyerah?
***
Gadis berambut cokelat itu menuruni tangga seraya menyampirkan ranselnya ke bahu kanan. Baru akan membuka mulutnya untuk sekadar bertanya kepada Bi Min apa menu sarapan kali ini, ia kembali mengatupkan bibir mungilnya saat netranya menangkap seseorang yang duduk di meja makan seraya mendekatkan sebuah gelas pada bibirnya.
"Berangkat," pamit gadis itu jauh lebih singkat dari biasanya dan tak berniat mendekati kedua insan yang sedang menikmati sarapan di meja makan.
"Sayang makan dulu," panggilan lembut dari seorang pria membuat gadis dengan netra abu-abu itu menghentikan langkah tanpa berniat memutar tubuhnya.
"Takut telat," jawabnya datar dan segera berhambur mendekati pintu, meninggalkan pria yang sedang menarik napas panjang di belakang sana. Senyum gadis itu mengembang saat melihat seorang cowok sedang duduk di motor hitam yang mereka beri nama eagle itu seraya memainkan jarinya untuk mengobati kebosanan.
"Loh, sudah? Kok cepet," komentar pemilik manik hitam itu sambil menaikkan kedua alisnya.
"Ya bagus dong daripada lu jamuran nungguinnya," balas gadis yang sekarang memakai helm yang baru saja disodorkan.
"Udah? Ayo naik," gadis itu menurut dan segera memosisikan tubuhnya di belakang cowok yang sekarang menutup kaca helmnya itu. Tak perlu menunggu lama, motor hitam itu melaju membuat derunya memecah suasana pagi kota Bandung yang masih belum terlalu ramai. Kecepatannya konstan membuat wajah gadis yang sedang membenarkan posisi helmnya itu tersapu angin. Gadis itu tersenyum sesekali merasakan kesejukan yang melandanya.
"Sudah sarapan?" tanya pemilik manik hitam itu menatap gadis yang sedang ia bonceng melalui kaca spionnya. Ia menangkap kepala gadis itu menggeleng, tatapannya malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
CIRCUMPOLAR [NEW VERSION]
Teen FictionIni bukan tentang aku dan dia. Ini bukan tentang aku yang dikenal sebagai most wanted. Ini bukan hanya tentang remaja yang dilanda asmara. Ini bukan tentang bahagia setelah duka, seperti kata orang, pelangi akan hadir setelah hujan lebat. ...