Circumpolar 17

311 19 3
                                    

~Semesta tak ingin kau membenci seseorang, semesta hanya ingin kau belajar dari apa yang kau terima~

***

Pemilik manik hitam itu mengembuskan napas lelah dan meletakkan ponselnya di sebelahnya. Ia menatap dinding kuning di hadapannya, seakan ada yang sedang mengganggu pikirannya. Pandangannya beralih pada jendela kamar yang berada di samping meja belajar milik sahabatnya itu. Gamma memilih bangkit dan melangkah mendekati jendela yang tertutup gorden itu. Tangannya menyibak kain putih yang menghalangi pandangannya. Maniknya menatap langit senja yang terlihat begitu memukau dari kaca bening di hadapannya itu. Suara pintu dibuka membuatnya menoleh sejenak.

"Lu yakin gak mau balik ke rumah?"

"Buat apa? Atau lu ngusir gue?" canda Gamma seraya mengembalikan posisi gorden dan melangkah pada sofa yang berada tak jauh dari tempat tidur.

"Salah mulu perasaan gue. Lu gak mikir tuh kepala udah hampir pecah?" tanya Alfa sarkas.

"Kalo gue balik malah pecah ni batok. Bego amat sih lu," jawabnya santai seraya memasukkan cemilan ke dalam mulutnya.

Hari ini Gamma memilih tidak masuk sekolah karena mendapat saran dari dokter. Ia juga memilih untuk tidak kembali ke rumahnya, ia terlalu malas di rumah itu. Bahkan, mamanya saja tidak menghubunginya selepas kepergiannya dengan wajah berdarah karena pria yang katanya mamanya itu cintai. Kadang ia tak paham kenapa mamanya lebih memilih laki-laki bejat itu daripada papanya yang begitu menyayanginya.

"Fa," panggil Gamma pada sahabatnya yang sekarang memainkan ponsel di sampingnya itu. Alfa hanya berdehem untuk merespons panggilan itu.

"Lu tadi ketemu dia gak?" Pertanyaan itu berhasil membuat Alfa menoleh dan mengabaikan ponselnya.

"Siapa?" tanyanya pura-pura tak tahu.

"Ih lu mah sok gak tau aja. Gemi,"

"Dih kan, apa gue bilang? Lu sih sok main-main sama api. Gak ada, gak ketemu."

Suara dering ponsel milik Gamma membuat keduanya menoleh. Cowok dengan manik hitam itu masih diam hingga Alfa memaksanya untuk mengambil benda pipih warna hitam miliknya yang berada di kasur sahabatnya itu. ia mendengkus sebelum bangkit dan meraih benda itu.

"Anjir!"

***

Langkah gadis itu begitu pasti, ia hanya ingin mengatakan apa yang ia rasa. Ia juga tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Tak bisa dimungkiri, ia tak bisa membenci seseorang yang masih ia cintai. Tak semudah itu, mungkin setidaknya ini bisa menemukan jawaban tentang pertanyaan mengenai hidupnya. Ia mengembuskan napas perlahan saat sudah sampai di ujung koridor kelas 12. Ia bersyukur tak banyak siswa di kelas itu atau pun sekitarnya, setidaknya tak akan ada yang tahu apa yang akan ia bicarakan dengan laki-laki pemilik manik hitam itu.

"Lu? Ngapain lu di sini?" Alfa tiba-tiba saja keluar kelas dan menyadari kehadiran gadis berambut cokelat itu di depan kelasnya.

"Gamma ada?"

"Heh, gaada. Dia gak masuk," jawabnya malas.

"Kenapa? Eh, maksud gue, tolong bilangin sama dia, kalau dia mau ambil bokapnya, ambil aja. Jemput aja sekalian ke rumah, gue juga gak suka ada dia." ujarnya setelah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kalimat itu.

"Gak semudah itu," Alfa tersenyum kecut.

"Kenapa? Itu kan yang dia mau?"

"Ya, memang. Tapi apa lu tau apa yang dia alami selama ini, apa lu tau seberapa jahat bokap dia yang sekarang? Dia bahkan sekarang di rumah gue, gak mau pulang. Kepalanya hampir pecah karena bokap barunya," Gadis itu diam.

CIRCUMPOLAR [NEW VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang